7/7
Hari ini adalah hari terakhir Haris mengizinkan dirinya untuk tetap mengusahakan hubungan baik dengan Anggia. Pria itu bahkan sengaja berangkat pagi-pagi buta untuk menunggu Gia di depan gerbang, berusaha agar tak melewatkan kedatangan gadis yang beberapa waktu ini sengaja berangkat sangat pagi untuk menghindarinya.
Namun Haris berencana untuk tetap beraksi natural. Setelah rela berangkat sebelum mentari terbit, Haris rela untuk memarkirkan motornya di parkiran luar yang terletak di belakang bangunan sekolah—membuatnya harus jalan kaki memutar hingga sampai kembali ke sekolah. Biarlah seragamnya sudah bercampur keringat meski masih pagi. Ini adalah hari terakhir ia mencoba peruntungannya, maka totalitas adalah yang menjadi tekadnya.
Setelah menunggu selama kurang lebih setengah jam dari jarak yang cukup jauh dengan gerbang agar tubuh jangkungnya tetap tersembunyi, bola mata Haris akhirnya menangkap sosok yang ia nantikan. Gia akhirnya tiba di sekolah. Haris melirik jam digital di layar ponselnya sebelum akhirnya berlari menuju gerbang. Kedua alisnya bertautan, “Buset, dah! Jam 6 kurang udah dateng dia sekarang!”
Diam-diam Haris berjanji dalam hati, akan lebih sering bersyukur dan memuja Tuhan yang memberinya kaki super jenjang sehingga ia dapat mengikis jarak lebih cepat. Haris berhenti berlari ketika sudah mendekati gerbang, kemudian otomatis berjalan cepat seraya merapikan seragamnya yang entah sudah seperti apa wujudnya sekarang.
Pemuda jangkung itu menyugar rambutnya karena gerah. Kemudian memilih untuk menjinjing ranselnya agar tak memberatkan bahunya supaya ia bisa berjalan lebih cepat. Fokusnya hanya satu sekarang, mengejar Gia agar setidaknya dapat berbicara dengan gadis itu.
Haris mempercepat langkahnya. Sengaja mendekatkan dirinya dengan Gia, memotong jalan gadis itu dengan berjalan ke arah berlawanan dengan yang ingin dituju Gia. Membuat keduanya otomatis bertabrakan dan langsung menghentikan langkah masing-masing.
Gia sempat berjengit sesaat sebelum mendongak dan mendapati yang di hadapannya kini adalah Haris, seseorang yang selama ini ia hindari. Lagi-lagi Gia terpaku di tempatnya, memandangi Haris yang juga menatap ke arahnya. Gadis itu pun mengernyit keheranan, mengapa pria di hadapannya sudah dibanjiri peluh disaat bahkan kegiatan sekolah belum ada satupun yang dimulai.
Suara dehaman Haris yang kembali memecah keheningan di antara keduanya membuat Gia kembali tersadar dari lamunannya. “Maaf,” ucap Haris.
Alih-alih membalas, Gia justru mengalihkan wajahnya. Memutus kontak mata dengan Haris yang tak melepaskan pandangan darinya sedikitpun. Menutupi kecanggungannya, Gia menyingkirkan helaian anak rambutnya yang menghalangi wajah. Namun Haris tak kenal kata menyerah, setidaknya untuk hari ini.
“Kamu datengnya pagi banget, ada tugas yang mau dikumpulin?” tanya Haris, basa-basi.
Tahu tak akan mendapat jawaban, Haris merogoh saku celananya guna mengambil satu bungkus biskuit cokelat yang biasa ia berikan pada Gia. Namun entah gerakannya terlalu lama atau gadis itu yang tak ingin menunggu, Gia melenggang pergi sebelum Haris sempat menyelesaikan gerakannya.
Haris hanya diam ketika Gia kembali menghindarinya. Tangan kanannya menganggur di udara, memegangi sebungkus biskuit cokelat yang hendak ia serahkan pada Gia. Kedua matanya menatap nanar Gia yang kini berjalan terburu-buru menjauhinya. Haris mengembuskan napasnya kasar, terasa nyeri di dadanya yang sebelumnya tak pernah ada.
Haris menatap ke arah biskuit cokelat di tangannya. Seharusnya ia bisa menyelundupkan biskuit itu ke dalam tas Gia seperti biasa, namun tidak hari ini. Haris memilih untuk melangkahkan kakinya, kemudian melemparkan biskuit cokelat yang biasanya menjadi hadiah kecil darinya untuk Gia itu ke tempat sampah.
Persetan. Terserah akan ada kepastian atau tidak.
Haris menyatakan usahanya selesai sampai di sini.