You're Worth It
Agung menelisik wajah keponakannya yang sedari tadi menatap kosong ke sembarang arah. Entah sudah berapa hari ia menemukan Anggia melamun di depan teras rumahnya sendiri. Gadis itu bahkan mengabaikan kedatangan Agung yang selalu memandanginya dari jarak dekat dengan kedua alis yang bertautan.
“Ngeliatin paan, s—”
“HOAH ASTAGHFIRULLAH!!”
Gia terlonjak ketika menemukan Agung kini memandanginya dari jarak dekat. Kedua matanya yang memang belo itu membuat Gia semakin bergidik ngeri mengingat betapa intensnya tatapan Agung.
“Ngapain sih, Om? Ngagetin aja!”
Agung mendelik tak suka, “Elu yang ngapain! Ngelamun aja kerjaannya. Masuk, cepet! Emang nggak ngeri kesambet lo ngelamun di sini?”
Raut wajah Gia berubah lemas, gadis itu memalingkan wajahnya. “Om Agung aja yang masuk, Gia masih mau di sini dulu.”
Bingung, Agung semakin menautkan kedua alisnya. Namun sedetik kemudian ekspresinya berubah jahil, diarahkannya telunjuk panjangnya pada sang kepobakan. Menjawil pipi kiri Gia, “Hayooo, mau mejeng ya? Kamu beneran naksir anaknya Pak RT, kan?? Naksir Mas Yudi, kaan?!”
“Apa sih? Enggakk!” balas Gia defensif.
Agung tak membalas, pria itu kini ikut duduk di sebelah Gia. Menemani gadis itu guna menepis khawatirnya akan terjadi sesuatu pada Gia jika ia membiarkan gadis itu sendirian di luar malam-malam. Agung bahkan membawa kopi hitamnya keluar bersamanya. Padahal biasanya, setelah pulang kerja begini pria itu lebih memilih untuk menikmati kopinya seraya menonton siaran langsung pertandingan bola sambil mengeluarkan suaranya yang menggelegar hingga membuat Gia tak bisa tidur.
“Lo tuh nggak sekali dua kali loh, ngelamun gini, Gi,” ucap Agung sehabis menyesap kopinya. Diletakkan kembali mug keramik itu di meja di hadapannya sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Lagi ada masalah?” tanyanya lagi. “Udah dari kapan ya, Om ngeliat Gia ngelamun mulu gini?”
Gia menoleh lesu, menatap Agung yang juga menatap ke arahnya penuh tanya. Setelahnya ia kembali memalingkan wajahnya. Gia menunduk, namun sedetik kemudian ia kembali mendongak. Setelahnya ia kembali menatap Agung dan mengulangi kegiatan yang sama.
Agung berdecak sebal, “Ngapa si?! Lagi pemanasan lo begitu?”
Gia tak menjawab, gadis itu mengembuskan napasnya gusar. Disugarnya surai legam yang ia biarkan terurai, membuatnya berantakan persis penampilan orang yang sedang frustrasi. Namun bibirnya masih sanggup berbohong, maka ia membalas Agung. “Nggak, nggak pa-pa, kok. Nggak ada masalah.”
Agung tertawa meremehkan. “Ya elah, Gi. Gue kenal lo tuh udah dari orok, dari masih bayi merah juga gue tau lo kayak gimana,” ucapnya. “Ngomong aja, lagi ada masalah kan? Kenapa? Berantem sama temen?”
Gia menggeleng pelan. Setelahnya ia membuang napas untuk kesekian kalinya. Gadis itu bersumpah bahwa dirinya pasti sudah menangis jika Agung tak ada di hadapannya sekarang. Akhirnya Gia menyerah, toh, sampai kapan disembunyikan pun pasti om-nya itu akan tetap nenagihnya sampai Gia membeberkan ceritanya.
“Ya udah, Gia cerita. Tapi jangan diketawain! Deal?” ucapnya. Menyodorkan jari kelingkingnya sebagai tanda janji kesepakatan antara keduanya yang kemudian disambut oleh Agung.
Setelahnya Gia berdeham, membersihkan tenggorokannya sebelum bicara. “Jadi gini..” Gia memulai cerita. Di hadapannya, Agung siap mendengarkan—penasaran lebih tepatnya. Pria itu memang juara satu jika mendengar setiap gosip yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Bahkan Gia pun heran, om-nya itu bisa-bisanya mengetahui gosip tentang artis mana yang baru bercerai, artis mana yang baru terciduk memakai narkoba, bahkan tetangga mana yang digosipkan menggeluti pesugihan.
“Ada kakak kelas yang suka sama Gia—”
“Hah ada, Gi? Yang suka sama lo?” potong Agung cepat. Bukan iseng, melainkan pria itu benar-benar terkejut. Sebab Agung tahu bahwa seumur hidup Gia, temannya saja dapat dihitung jari. Gia juga tidak pernah bergaul dengan laki-laki hingga sedekat itu sampai-sampai membuatnya memikat hati.
Di hadapannya, alih-alih marah karena respon yang Agung berikan, Gia justru membulatkan bola matanya seraya menjentikkan jari. “IYA, KAN?! Kaget, kan?!”
“Iya, anjir! Ngarang nggak sih lo?” tanya Agung lagi. Mendengar respons Agung, Gia justru bertambah semangat sebab pada akhirnya ada yang mengerti kebingungannya.
“Sumpah enggak. Tapi, IYA, KAN? BINGUNG, KAN?”
Agung hanya terkekeh. “Terus, terus gimana? Apa yang jadi masalah selain si kakak kelas ini naksir lu? Ada yang nggak suka? Ada yang nyuruh Gia jauhin dia?” Agung menebak segala kemungkinan yang biasanya terjadi dalam kasus percintaan anak remaja. Sayangnya, tak satupun di antaranya yang benar.
Gia menggeleng cepat. “Bukan, Gia ceritain ya! Jadi, kakak kelas yang suka sama Gia itu—” ucapannya tergantung sesaat. Mendadak Gia merasakan kembali kupu-kupu di perutnya. Dadanya serasa berdesir tiba-tiba mengingat Haris juga menyukainya. Membuat senyuman tercetak jelas di wajahnya tanpa bisa tertahan.
“Nggak jelas, malah ketawa-ketawa! Cerita dulu!” ejek Agung.
“Kakak kelas yang suka sama Gia itu, namanya Kak Haris,” ucap Gia. Pada akhirnya mulai menceritakan tentang seorang pemuda yang entah sejak kapan berhasil menjajah hati kecilnya. Gia memulai ceritanya mengenai siapa itu Haris, bagaimana keduanya bisa saling mengenal hingga terjalin sebuah hubungan yang semakin erat. Seberapa sering Haris menolongnya, seberapa sering Haris ada di dekatnya, seberapa sering—semesta seakan secara sengaja membuat takdir keduanya bersinggungan dalam ruang dan waktu yang sama.
Agung manggut-manggut memahami alur cerita Gia. Berusaha menangkap setiap detail cerita yang Gia sampaikan padanya. Harus diakui, Agung memang pendengar yang baik meskipun ia bukanlah penjaga rahasia yang baik.
”..sampe akhirnya Kak Haris nyatain perasaannya tiba-tiba, terus.. Gia kabur..”
“Terus yang bikin lo bingung apa?” tanya Agung, kala Gia sudah selesai bercerita mengenai garis besar permasalahannya. “Lagian kamu kenapa kabur gitu, sih? Aneh-aneh aja! Gue kalo jadi dia juga males, lah!”
“Iyaaa, aku tau aku salah. Tapi Gia kaget banget, Om. Nggak tau harus ngomong apa juga. Kayak—tegang, deg-degan, takut,” ucapnya.
Lagi-lagi Agung mengangguk, “Iyaa, wajar sih. Gue ngerti juga kenapa lo kabur. Namanya juga pertama kali banget Gia denger ada orang yang suka sama Gia, apalagi sampe nyatain secara langsung gitu. Wajar, sih. Tapi, Om Agung mau nanya. Gia suka juga sama dia?”
Untuk kesekian kalinya, Gia membuang napasnya. “Malah kayaknya Gia duluan yang suka sama dia, Om. Sebenernya tuh, dari pertama kali Kak Haris masuk kelas Gia waktu MOS, Gia emang udah deg-degan banget ngeliat dia. Ya, gimana ya? Emang seganteng itu orangnya..”
“Ya udah, terima aja, Gi! Sama-sama suka juga, kan? Lagian Gia juga udah boleh pacaran, kan sama Mama Papa? Waktu itu kan perjanjiannya kalo udah SMA.”
Sepertinya hari ini tujuan hidup Gia terfokus pada buang-buang karbondioksida. Gadis itu kembali menghela napas, membuat Agung paham betapa frustrasinya seorang Anggia saat ini. Pria itu terkekeh, “Kenapa?”
“Nggak semudah itu deh, Om, kayaknya,” ucap Gia, putus asa. “Kak Haris tuh.. terlalu keren buat Gia yang biasa aja, Om.”
Hening, tepat setelah Gia meloloskan sebuah kalimat yang ia ucapkan dengan suara pelan. Kepala gadis itu kini tersandar pada sandaran kursi teras yang menampung dirinya dan Agung. “Gia sama Kak Haris tuh jaauh banget. Kayak, Duh, nggak pantes banget aku buat dia. Pasti dia bisa dapetin yang lebih dari aku, kenapa aku? Gitu-gitu. Aku juga ragu jadinya, dia tuh beneran apa enggak gitu.”
Agung mengangguk paham. Sekon berikutnya, justru giliran pria itu yang menghela napasnya. Untuk kasus ini, Agung benar-benar paham.
“Gia inget mantan Om Agung?” tanyanya. Gia sontak menoleh, setelahnya ia mengangguk sebelum akhirnya keningnya berkerut mendapati raut wajah yang lain dari Agung. Pria itu menatap nanar ke sembarang arah sebelum akhirnya tertawa miris.
“Om Agung sama dia, putusnya karena isi kepala dia waktu itu persis kayak isi kepala Gia sekarang,” ucap Agung. “Dia selalu ngerasa nggak pantes jadi pacar Om Agung, berkali-kali bilang kalo harusnya gue bisa dapetin yang jauh lebih baik dari dia. Masalahnya, Gi, yang lebih baik itu belom tentu kerasa pas di hati. Padahal gue ngerasa beruntung banget bisa jadi pacarnya, sedih karena ternyata dia malah ngerasa nggak pantes.”
“Om Agung kasih tau ya, Gi. Pemikiran kayak gitu, kalo diturutin nggak akan ada abisnya. Dan malah akan ngelukain orang yang bener-bener sayang sama Gia, karena Gia jadi nggak percaya sama perasaannya,” ucap Agung. “Lagian hubungan itu berhasil bukan karena pantes atau enggak kok, Gi. Tapi karena sama-sama mau berjuang buat bikin hubungan itu berhasil.”
Harus Gia akui, kali ini ucapan Agung berhasil membuatnya terpana. Namun, masih ada satu yang membuatnya merasa tidak yakin. “Tapi, emang menurut Om Agung, Kak Haris beneran suka sama Gia? Bukan cuma bercanda?” tanyanya.
Agung tertawa kecil, “Kalo bercanda doang ngapain dia repot-repot berantemin orang yang ngatain Gia sampe diskors segala? Gia nyari apa lagi, sih? Nunggu apa lagi? Nunggu Haris capek terus nyerah sama perasaannya terus nanti Gia nyesel selamanya?”
Pecah sudah. Gia tak lagi dapat menahan air matanya yang tertahan semenjak pertama kali ia mulai bercerita pada Agung malam itu. Benar, ia hanya akan jauh lebih menyesal dari ini jika dirinya terus menghindari Haris. Ini semua seakan Tuhan pada akhirnya memberi Gia sebuah pena dan menyuruhnya menulis sendiri kisah cintanya akan berakhir seperti apa. Gia tak pernah yakin sebelumnya. Namun, gadis itu pada akhirnya meyakini satu hal. Bahwa perkataan Agung sangat akurat.
Untuk seorang Haris yang selalu sempurna di matanya, Gia yakin tak ada yang mampu menggeser posisi Haris.
Agung tersenyum tipis seraya mengelus surai Gia. Setelahnya pria itu membawa Gia ke dalam dekapannya. Berusaha membuat tangisannya mereda.
“Go for him, Anggia. You're worth it. Always worth it.”