When The Wait Is Finally Over
Haris dan Gia kini sama-sama berdiri di depan gerbang. Sebagaimana ucapannya sendiri, Haris membiarkan Gia memilih waktu dan tempat yang paling nyaman untuknya berbicara. Maka ketika Gia mengatakan bahwa ia ingin bertemu di depan gerbang sehabis salat Jumat, Haris menepatinya. Sejujurnya Haris pun cukup kagum dengan ide Gia. Bertemu di depan gerbang saat pukul segini, membuat maksud sebenarnya dari pertemuan mereka tersamarkan. Keduanya dapat sama-sama beralibi sedang menunggu orang tua yang akan mengambil rapot bayangan.
Namun, sudah selang beberapa menit, tak ada satupun dari mereka yang bicara. Gia terus memandang ke arah gerbang, selalu berusaha menghindari Haris yang melirik gadis itu lewat ekor matanya. Bukannya Gia tak mau bicara, melainkan gadis itu sedang mengumpulkan secuil keberanian dalam dirinya untuk membahas semua hal yang seharusnya ia bahas dengan Haris. Di sisi lain, Haris sama sekali tak ingin menuntut apa-apa. Ia membiarkan Gia menggunakan waktunya sampai gadis itu benar-benar siap. Baginya, tak akan pernah ada waktu yang sia-sia untuk menunggu seorang Anggia. Kalaupun gadis itu ingin menunda lagi hingga esok hari, Haris tak masalah.
“Kak,” panggilnya. Haris refleks menoleh, namun dengan segera ia kembali memalingkan wajah. Setelahnya, pria itu menjawab melalui sebuah gumaman kecil dengan gestur senatural mungkin. Agar tak ada yang mengira keduanya sedang membicarakan sesuatu. “Hm?”
“Maaf ya waktu itu ninggalin Kak Haris gitu aja di lapangan,” ucap Gia pelan. “Maaf juga pernah menghindar dari Kak Haris, maaf juga baru sekarang aku berani nyamperin kamu lagi.”
Sudut bibir Haris berkedut menahan sebuah senyuman. “Nggak pa-pa. Mau satu tahun lagi kamu baru berani nyamperin saya juga saya tungguin, kok.”
Kini giliran Gia yang menahan senyumnya. Andai saja gadis itu tahu, betapa bersyukurnya Haris ketika ponselnya menampilkan notifikasi dari Gia setelah sekian lama. Bahkan ia sampai mengira layar ponselnya itu keliru, sebab sejujurnya Haris sudah hampir putus asa. Posisinya bagaikan terombang-ambing, tidak maju, tidak juga menyerah, namun yang jelas Haris cukup putus asa. Ia sudah hampir membiarkan Gia tenggelam begitu saja dalam pikirannya, membiarkan segalanya agar terkubur supaya dirinya tak lagi menuntut kejelasan apalagi balasan untuk perasaannya. Biarlah segalanya berakhir sebagaimana adanya.
Andai gadis itu tahu, betapa bersyukurnya Haris sekarang sebab Gia akhirnya akan meluruskan segalanya.
“Emangnya beneran, Kak?”
Haris menoleh pada gadis mungil di sebelahnya, “Apanya?”
“Omongan kamu yang waktu itu di lapangan,” balas Gia. Haris menatap lurus ke dalam netra kecokelatan milik Gia. Cukup lama hingga rasanya ia lupa untuk berkedip, sebelum akhirnya Haris memalingkan wajahnya lagi. Sekon berikutnya, tanpa bersuara, Haris mengangguk. Pelan, tapi terlihat yakin dan pasti.
Kini Gia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah nyaris bersemu mendapati jawaban Haris. “Itu—pertama kali di hidup aku ada yang nyatain perasaanya ke aku,” ucap Gia, yang sontak membuat Haris menoleh. “Jadi aku bener-bener nggak tau harus bereaksi kayak gimana. Maaf ya, Kak, refleks pertamanya waktu itu kabur. Soalnya malu banget. Selama ini aku selalu kabur kalo ada Kak Haris juga karena itu...”
Ah, begitu rupanya. Penjelasan Gia kali itu berhasil membuat Haris sedikit lega—juga sedikit berharap, bahwa kisah cintanya akan berakhir baik.
“Itu juga pertama kalinya saya bilang begitu. Maaf ya, Gi, kalo ngagetin,” balas Haris. Tepat setelah itu, tawa keduanya menyembur bersamaan. Entah apa yang lucu, yang jelas, keduanya merasakan kupu-kupu yang sama.
“Do you have any reasons to that? Maksudnya—look at you, you're—perfect, kenapa sukanya malah sama orang yang bukan siapa-siapa kayak aku?”
Haris lagi-lagi tersenyum tipis, “Kalo saya sempurna, saya nggak di sini, Gi.
Gadis itu menoleh, menunggu kelanjutan kalimat Haris yang sengaja ia gantung. “Bumi itu tempatnya orang-orang yang nggak sempurna, Gi. Tempatnya orang-orang yang punya kurang. Kalo kamu nemuin saya di sini, berarti kita sama aja. Nggak ada bedanya.”
“Suka sama kamu tuh—gampang, Anggia,” ucap Haris lagi. Kali ini pemuda itu berbicara seraya menatap kakinya yang bergerak memainkan kerikil kecil di jalanan. “Kalo nggak percaya, tanya aja sama Aghni. Dia aja yang perempuan, bilang kamu lovable. Katanya sekali liat langsung bikin pengen peluk—itu kata Aghni loh, bukan saya.”
Keduanya kini berpandangan seraya saling melempar senyum tipis. Hilang sudah rencana keduanya untuk berlagak seperti tidak sedang membicarakan apa-apa, sebab sekarang, siapapun yang melihat pasti tahu bahwa ada sesuatu di antara Haris dan Gia. “Tapi serius,” lanjut Haris. “It's easy to fall for you, i could even fell harder by seconds.“
“Setuju tapi, kamu emang biasa aja,” lanjut Haris lagi, yang sejujurnya membuat Gia terkejut dan merasa sedikit kecewa. Namun sebelum ia salah paham, Haris melanjutkan kalimatnya. “Tapi justru itu poin utamanya. Di dunia yang penuh persaingan dengan orang-orang yang selalu berusaha untuk terlihat menonjol, ketemu sama orang kayak kamu tuh—refreshing aja. Kamu nggak berusaha untuk bikin orang lain terkesan sama kamu, tapi justru itu yang bikin kamu punya kesan tersendiri buat setiap orang yang kenal kamu.”
Gia menghela napasnya. Cukup, jawaban Haris sangat cukup untuk menjawab semua pertanyaannya. Bahkan berhasil mengusir segala rasa rendah diri yang selama ini menguasainya begitu kuat. Sekon berikutnya Gia mengangguk, memantapkan diri akan keputusannya sendiri.
“Kak Haris,” panggilnya. Membuat Haris terfokus menatap ke arah Gia yang kini mendadak gugup. “I think i like you a little too much too.“
Di hadapan Gia, Haris terpaku pada posisinya. Kedua matanya tak berkedip seiring benaknya berusaha memproses apa yang barusan Gia ucapkan. Haris menemukan sesuatu yang lain, sebuah perasaan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Pemuda itu bahkan nyaris menitikkan air mata lantaran kekosongan dalam relungnya sirna seluruhnya. Hatinya menghangat, dadanya membuncah, seakan menyimpan sebuah confetti pesta yang siap meledak menyuarakan kebahagiaan.
“Kak?” panggil Gia.
“Ternyata gini ya rasanya?” ucap Haris setelah panggilan Gia menyadarkannya. “Pantesan kamu kabur,” ucapnya lagi. Kali ini, bersamaan dengan lolosnya sebuah kekehan dari bibirnya.
Gia mengerucutkan bibirnya, “Jangan dibahas lagi, dong... Malu banget, tau! Kan udah baikan...”
“Iyaa, iyaa, enggak!” balas Haris seraya tertawa. Selang beberapa detik, hening kembali menjadi penengah di antara keduanya. Hingga gadis mungil itu kembali memecah keheningan.
“Terus gimana?”
“Apanya?” balas Haris, iseng.
“Kita?”
Haris menipiskan bibir sebelum menjawab. Lesung pipinya yang samar dan sangat jarang terlihat itu kini bahkan turut hadir untuk menandakan betapa lebarnya senyuman Haris saat itu.
“Gia umur berapa, sih?”
Bingung, Gia mengerutkan alisnya sebelum menjawab pertanyaan Haris. “Lima belas tahun, kenapa?”
“Udah boleh pacaran belom sama Mama?”
Mendengar pertanyaan Haris, Gia membulatkan matanya. Sementara Haris sudah mengeluarkan gelak tawanya yang terdengar halus sebab terlalu gemas melihat ekspresi wajah Gia. Gadis itu tahu betul ke mana arah pembicaraan ini akan berlabuh.
“Nggak boleh,” balas Gia lesu. Membuat Haris otomatis menghentikan tawanya. Raut wajahnya pun kini berganti, memancarkan kekecewaan yang meskipun sedikit, namun tetap terbaca.
“Ohh, ya udah. Nggak jadi kalo gitu,” balas Haris.
Kini giliran Gia yang memasang seringai jahil di wajah cantiknya. “Nggak boleh kalo nggak sama Kak Haris, maksudnya.”
Keduanya lagi-lagi tergelak bersamaan sebelum Haris kembali bertanya. “Mau emang?”
“Mau,” balas Gia dengan raut wajah ceria. Lagi-lagi membuat Haris terpaku di tempatnya sementara Gia justru memalingkan wajahnya. Sudut bibir Haris melengkung membentuk sebuah lekukan tipis. Hari ini benar-benar tidak terduga. Dunia memang selalu curang, selalu mengganti aturan permainannya. Sebab ketika Haris hampir menang, dunia justru membuat Gia semakin jauh darinya. Namun ketika ia berniat untuk melepaskan dan menerima kekalahannya, dunia justru menjadikan gadis itu miliknya.
“Udah berapa lama ya, Kak, kita nggak ngobrol?” tanya Gia.
Haris menghela napasnya, sebelum akhirnya pria itu menjawab sedetail-detailnya. “Tiga bulan, dua minggu, lima hari,” ucap Haris pelan, tanpa memandang ke arah Gia. Mengabaikan tatapan terkejut gadis itu yang kini dilayangkan padanya.
“Kamu—ngitungin? Nungguin?”
Haris mengangguk lagi. “Maaf,” ucap Gia.
Sekon berikutnya, pria itu menggeleng dengan seulas senyum tipis. “Don't be sorry, it was worth the wait. Totally.“
Totally. Sebab akhirnya, penantiannya selama tiga bulan, dua minggu, dan lima hari itu berujung membahagiakan.