Jealousy Kicks In
Anggia's POV
Today's a big day, untuk Kak Haris, sih—untuk kandidat-kandidat lain juga tentunya. Nantinya semua orang disuruh untuk ngumpul di lapangan. Kak Vio, dari tadi pagi kulihat udah sibuk mondar-mandir—gelar terpal untuk semua peserta didik duduk, mastiin sound system berfungsi dengan baik, mastiin kandidat semuanya terkumpul, jemput kepala sekolah dari ruangannya, dan lain-lain yang nggak aku saksikan.
Ya, gimana mau nyaksiin Kak Vio kalo mataku cuma tertuju ke satu orang? Seorang Kak Haris yang keberadaannya bener-bener terlihat bersinar even dari lantai tiga. Satu hal dari Kak Haris yang selalu berhasil bikin aku salut adalah—ucapannya selalu bisa dipegang. Kak Haris nggak pernah bohong. Kak Haris selalu konsisten sama ucapannya.
Kayak tadi pagi, Kak Haris tetep nemuin aku di gerbang sesuai yang dia bilang di chat semalam. Padahal, semua orang juga tahu, kalau semua kandidat pagi itu nggak boleh ke mana-mana dan harus stay di ruang OSIS. I'm not gonna lie, those things that he did, makes my heart flutter even more.
Seseorang membuat dirinya jadi pusat perhatian lewat suara yang tersalurkan dari sound system sekolah, memanggil semua peserta didik untuk kumpul di lapangan dan mengisi tempat di terpal yang kini menutupi lapangan. Sumpah, aku yang tadinya biasa aja jadi ikut deg-degan ngeliat audiens yang begitu banyak.
Got me thinking, Kak Haris harus orasi, nyampain visi misinya beserta slogan kampanyenya, di depan orang sebanyak ini? Tuhan, kalau aku jadi dia, mungkin warna asli kulitku udah nggak terlihat lagi karena pasti akan berubah sangat pucat.
But this is Kak Haris that we're talking about. Aku bahkan nggak tau apakah dia punya ketakutan dalam dirinya. Well, yeah, pasti ada, tapi berdiri di hadapan publik dan mengambil alih semua atensi—bukan salah satunya.
Sekarang aku duduk di sebelah Zahra, yang dari tadi bersikeras nyeret aku ke tengah—tepat di hadapan mimbar tempat pembina upacara biasanya memberi amanat upacara—yang hari ini akan jadi tempat kandidat memaparkan visi misinya. Kata Zahra, biar bisa liat Kak Haris dengan sangat-sangat jelas. Kata Zahra lagi, sayang kalo nggak diperhatiin dan dilihat secara seksama, soalnya pasti hari ini Kak Haris ganteng banget dengan almet OSIS-nya.
Kak Yuna memulai acara, membukanya dengan sapaan dan salam hormat untuk kepala sekolah dan guru-guru yang turut menyaksikan bibit-bibit unggul didikan mereka yang hari ini akan berebut menarik perhatian. Aku lihat sekilas guru-guru yang duduk di paling belakang, di bangku khusus yang disediakan sama para pengurus OSIS. Tatapan mereka berbinar banget, penuh harapan, penuh kebanggaan. Jelas, lah, siapa yang nggak bangga lihat 'anak-anak'-nya sampai pada tahap ini?
Kak Yuna melanjutkan bicaranya, ngejelasin sistematika pemaparan hari ini yang ternyata akan dimulai dari kandidat ketua OSIS, lalu MPK. Masing-masing terdiri dari empat kandidat ketua yang akan memulai pemaparan sesuai nomor urutnya.
Omong-omong soal Kak Haris, aku belum liat dia lagi. Kak Haris belum bergabung sama kandidat-kandidat lain yang sekarang udah terkumpul di koridor. Bikin aku penasaran about his look today karena dari tadi, dia belum pake almetnya. Masih pake seragam biasa.
Funny thing is, ini akan jadi kejutan banget buat aku. Karena aku bener-bener nggak tau visi-misinya Kak Haris itu apa, gimana slogannya, gimana bentuk posternya, urutannya nomor berapa, bahkan penampilannya kayak apa aja, aku nggak tau. I'm totally clueless. Alwan juga pelit—nggak mau ngasih tau apa-apa, mungkin disuruh Kak Haris.
Sejujurnya aku ngerasa bersalah banget karena nggak bantu apa-apa. Kak Haris juga tau itu, tapi tadi pagi dia bilang kalau perkampanyean ini urusan dia dan anak-anak OSIS—tim suksesnya, lebih tepatnya. He said that i just have to be there, as his serotonin booster and that's more than enough. Aaaand guess who's devastated by those saying? Yep, me!”
Speaking of the devil, aku denger bisik-bisik dari kanan, kiri, depan, bahkan belakang ketika seseorang memasuki koridor dan menyerahkan gulungan kertas sisa ke tangan Alwan. Itu Kak Haris, baru turun dari tangga—mungkin baru selesai nempelin posternya sendiri. Gosh, he got me smiling from ear to ear just by—being there.
Kak Haris akhirnya gabung ke barisan kandidat ketua OSIS sambil memakai almetnya yang ternyata dari tadi dititipin ke Kak Dhimas. Those two besties, aku bener-bener nggak tau apa yang ada di kepalanya. Bahkan pada saat menegangkan untuk keduanya kayak hari ini, mereka masih bisa bercanda. But i'm glad, soalnya Kak Haris selalu nunjukin senyum terbaiknya kalau lagi sama temen-temennya.
Sekarang giliran kandidat pertama yang memaparkan visi misinya. Bukan Kak Haris, tapi aku tetep merhatiin. Lumayan buat pertimbangan pilihan kandidat walaupun udah jelas juga aku akan milih siapa, hehehe. Di sebelahku, Zahra nggak berhenti-henti ngomentarin kandidat pertama ini. Terlalu kaku, lah, visinya terlalu biasa, lah, otoriter, lah. Kayaknya bener kata Alwan, Zahra emang ratu gosip.
Kandidat pertama selesai dengan pemaparannya, selanjutnya Kak Yuna ambil alih lagi untuk mempersembahkan kandidat selanjutnya. Nomor dua, yang ternyata.... Kak Haris.
Suasana di lapangan langsung berubah as soon as Kak Haris naik ke mimbar. Terdengar sorakan-sorakan dari hampir semua orang yang hadir di lapangan hari ini, apalagi Kak Ojan dan Kak Aghni. Dua-duanya terus-menerus neriakin dukungan buat Kak Haris.
“HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA SATU—EH SALAH, HARISNYA SATU PENDUKUNGNYA BANYAK!!”
“HARIS, I LOVE YU PUOOLL!!!”
“HARIS, JAYA JAYA JAYA!!”
“WE LOVE YOU HAAAARISSSS, WE DOOOO!!!”
Barusan itu Kak Ojan, yang nggak pernah berhenti bikin siapapun yang denger ucapannya atau lihat tingkahnya ikutan ketawa. Bahkan Kak Haris yang tadinya udah siap buat bicara di depan aja jadi harus nundukin kepala karena nggak bisa nahan ketawa ngeliat ulah temennya yang satu itu. “Makasih, makasih, tapi boleh di-stop dulu aja ya, kayaknya. Saya pemaparan dulu,” ucap Kak Haris dari mimbar yang langsung tertuju ke Kak Ojan di sisi kanan lapangan—yang selanjutnya dibalas acungan jempol sama Kak Ojan.
“Oke, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Kak Haris mengawali orasinya. Membuat semua mata tertuju ke arahnya. Ah, i swear to God, nothing comes close to this spesific view i'm seeing right now. Kak Haris with his slick back hair, bright handsome face, not to mention tubuhnya yang tinggi tegap—makin gagah dengan almet OSIS yang tersemat rapi, tatapannya nyalang membalas semua mata yang menatap ke arahnya, suara baritonnya—nggak bergetar sama sekali. I told you, Kak Haris nggak pernah takut.
Di depan sana, Kak Haris terlihat bersinar. Nampak seperti seorang karakter utama dalam kisah cinta remaja yang suka Zahra gembar-gemborkan dan rekomendasikan ke aku. Dengan lancar Kak Haris memaparkan visi misinya, nggak kecepetan, nggak terlalu lama juga. Semuanya jelas disampaikan dengan bahasa dan tutur kata yang apik. Aku.... Bangga banget. Aku tau Kak Haris capek banget nyiapin ini semua dalam waktu singkat. Dia ngorbanin banyak hal untuk nyiapin ini aja. Bahkan Kak Haris bilang dia sampe nggak sempet pegang HP, sampe Hanum aja nggak bisa dia jemput selama persiapannya untuk kampanye.
But seeing him doing this great—perfect, makes me so proud. Feels like those sleepless night and exhausting days for him have been paid off. Kalaupun Kak Haris nggak menang pada akhirnya, i would still be proud. Tapi—dengerin semua sorakan dari fans-fans-nya Kak Haris yang mendadak merajalela hari ini, mungkinkah dia nggak menang?
Pemaparan visi-misi Kak Haris akhirnya selesai juga. Kalau aku yang jadi Kak Haris, pasti nggak akan fokus. Soalnya suasana bener-bener ramai saat Kak Haris pemaparan, semua orang bersorak setiap Kak Haris selesai membacakan satu poin visi-misinya. But then again, this is Kak Haris that we're talking about. He obviously nailed it.
Kak Haris basa-basi sedikit sebelum mengakhiri pemaparannya. Minta dukungan ke semua audiens untuk milih dia—aku yakin yang satu ini cuma pencitraan, karena dia bilang sendiri kalau sebenernya dia nggak pernah berniat jadi ketua OSIS. Dan sebelum benar-benar menutup kampanyenya, nggak lupa Kak Haris mengucapkan slogannya.
“Buka mata, buka telinga. Ini nyata, hanya saya yang bisa. Saya Muhammad Haris, kandidat ketua OSIS nomor urut dua. Terima kasih, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!”
Sumpah, aku yakin nggak ada yang bisa nandingin betapa kerennya Kak Haris saat ini. Bahkan seluruh audiens pun setuju, terdengar dari sorakan dan tepuk tangan yang semakin riuh tepat saat Kak Haris menyelesaikan kalimatnya. Kak Yuna bahkan sampai harus turun tangan untuk menghentikan sementara semua dukungan yang tercurah untuk Kak Haris hari ini.
“Iya, iya, cuma Haris yang bisa nih, emang. Cuma Haris yang bisa bikin satu sekolah berisik kayak gini, ya?” canda Kak Yuna.
Setuju, cuma Kak Haris yang bisa.
“Ini mah, kayaknya nggak perlu ada pemilihan ketua OSIS lagi, Gi. Udah pasti Kak Haris yang menang nggak, sih?” pungkas Zahra, “gue kalo jadi kandidat ketua OSIS nomor tiga, mending pulang.”
“Nggak boleh gitu, ih!” Otomatis aku menegur Zahra. Selain ratu gosip, Zahra ini memang ratunya julid.
“Dih, malu kali, Gi? Saingan gue se-sangar Kak Haris gitu. Lu liat aja ni satu lapangan berasa udah di-booking sama dia untuk dukung dia.”
Nggak salah. Apa yang dibilang Zahra barusan itu nggak salah, tapi nggak ada salahnya juga, kan, paying some respect ke orang yang juga menyalonkan diri?
Duh, tapi maaf banget, kakak kandidat nomor tiga, aku bener-bener nggak bisa fokus dengerin kamu ngomong. Soalnya di sebelah aku ada gerombolan cewek-cewek yang ngomongin Kak Haris. Mama nggak pernah ngajarin aku untuk nguping, tapi—situasi ini rasanya perlu jadi pengecualian.
Samar-samar aku denger kegakuman mereka terhadap Kak Haris yang.... Menurutku, berlebihan. Aku pura-pura nyari seseorang, supaya gestur penasaranku nggak terlalu keliatan. Oh, ternyata mereka juga temen sekelasku. Gaby, Olivia, Atika, sisanya nggak ketangkep mataku karena aku noleh terlalu cepat.
“Sumpah, lo pilih Kak Haris nggak sih?” tanya Atika
“Jelas, lah! Gila, ya, dia keren banget, anjir! Nge-fans nggak sih? Gue pikir dia cuma galak doang terus songong gitu, nggak taunya dia keren banget,” timpal Olivia.
“Diem deh, Liv, Tik, kalian nggak ada apa-apanya dibanding gue. Gue tuh udah sadar Kak Haris sebenernya baik semenjak kasus Gio itu, loh! Gue denger-denger dia nolongin berantem sama Gio juga karena Gio ngomongin hal yang nggak-nggak ke perempuan! Sumpah, Kak Haris tuh keren banget, gue naksirrr!!!!”
“Ya elah, Gab, lu naksir naksir! Orang seganteng Kak Haris gitu mana mungkin nggak punya pacar?” balas Olivia, tepat. Aku nggak liat ekspresi Gaby kayak gimana, tapi aku tau dia sebel. Terdengar dari decakan yang dia keluarkan sebelum membalas Olivia, “Yeee, orang kayak Kak Haris tuh biasanya nggak mikirin pacar-pacaran. Gue juga stalking semua sosmednya Kak Haris, nggak ada tuh tanda-tanda dia pacaran.”
That's because we're keeping it lowkey, Gaby.
“Siapa tau dia backstreet?” jawab Olivia lagi. Oliv, kamu sebenernya peramal atau gimana, sih? Tebakan kamu selalu tepat. Aku—cukup ketar-ketir....
Tapi ucapan Olivia lagi-lagi dibantah sama Gaby. “Tch, mana mungkin! Buat dapetin hatinya Kak Haris, tuh, pasti susah! Kalaupun udah punya pacar, pasti pacarnya bukan orang sembaragan, lah! Harus yang setara sama dia. Yah.... Paling enggak yang sama terkenalnya kayak Kak Haris. Gue, contohnya,” ucap Gaby.
Aku. Dongkol. Banget. Tapi, nggak mungkin juga aku bales ucapan Gaby saat itu juga. Lagian, hari ini fokusku adalah Kak Haris. Bukan orang-orang yang berusaha dapetin hatinya Kak Haris. Jadi, untuk saat ini aku akan mencoba untuk mengabaikan Gaby dan teman-temannya yang masih nggak berhenti ngomongin Kak Haris.
Aku kembali mengarahkan tatapanku ke depan, ya, ke Kak Haris, sih... Ternyata dia udah lebih dulu ngeliat ke arahku, membuat tatapan kita bertemu pada akhirnya. Kak Haris melayangkan senyum simpul—kayak biasa kalau kita ketemu di gerbang setiap 06.15 pagi. Senyum tipis yang cuma kita berdua yang tau. Setelahnya aku balas senyumnya dengan senyum yang sama. Habis itu, Kak Haris nunduk—menyembunyikan seringainya yang semakin lebar.
Sayangnya, senyum tipis Kak Haris yang barusan itu juga terlihat oleh Gaby dan kawan-kawannya. Dan sekarang mereka jadi makin berisik, teriak-teriak dan makin terang-terangan menggaungkan kalau mereka suka sama Kak Haris. Mereka bahkan ngeluarin HP-nya untuk foto Kak Haris diem-diem.
“Sumpah, Kak Haris ganteng banget ya Tuhan, please jadi pacar gueee!!”
Wow, easy on that, ladies. That's my boyfriend you're talking about!