The Happiness That He Deserve

“Udah biasa begini, Kak?” Papa berbisik ke arah Haris ketika mendapati seluruh mata tertuju pada keduanya ketika langkah pasangan ayah-anak itu membelah koridor.

Haris tersenyum bangga seraya mengangguk, “Iya. Keren, kan?”

Halah,” cibir Papa. Setelahnya Haris hanya terkekeh. Tetapi pemuda itu memang tidak berbohong. Haris memang sering jadi pusat perhatian meskipun dirinya tidak meminta. Lebih-lebih ketika Mama datang setiap kali menghadiri acara di sekolahnya. Namun Haris tak ambil pusing, pria dengan kadar kepercayaan diri paling tinggi di antara ketiga temannya yang lain itu memang sangat-sangat paham bahwa keluarganya memang memiliki visual di atas rata-rata. Dan tentu saja Haris mensyukurinya dengan sangat.

“Papa masuk aja, Haris tunggu di sini. Nanti kalo udah gilirannya panggil aja, ini tadi udah Haris ambilin nomor biar duluan,” ucap Haris kemudian menyerahkan selembar kertas bertuliskan nomor urut ke-17 yang segera diterima oleh Papa.

Setelahnya Haris menunggu di luar, bergabung dengan ketiga temannya. “Tumben diambilin bokap?” tanya Damar yang sedang bersandar di teralis.

“Mama gue lagi sibuk banget, mau launching koleksi baru jadi dia di butiknya mulu. Makanya pas ketemu bokap kemaren gue sekalian aja minta ambilin rapot,” balas Haris.

“Lo fotokopian bokap lo banget,” balas Damar lagi, kali ini disertai sebuah kekehan ringan. Di sebelahnya, Haris ikut tertawa. “Emang, Haura aja awalnya bingung pas ketemu Papa. Tapi cepet banget akrabnya, kata Hanum gara-gara Papa mirip banget sama gue. Jadi Haura nggak canggung walaupun baru pertama kali ketemu.”

“Eh, itu giliran gue. Duluan ye,” ucap Damar. Setelahnya pria itu melenggang masuk ke dalam kelas, meninggalkan Haris yang tak lama kemudian dihampiri oleh Ojan dan Dhimas.


Selesai menerima hasil rapot bayangannya, Haris dan Papa melipir keluar kelas. Langkah keduanya terhenti di pinggir koridor seraya Papa mengecek lebih teliti nilai-nilai Haris yang tertera pada selembar kertas laporan nilainya.

“Anak-anak Papa IPA-nya pada bagus-bagus, deh. Tadi Hanum juga bagus, ini kamu Biologi-nya bagus, pada mau jadi dokter?” tanya Papa. Haris tertawa, sekon berikutnya ia menggeleng. “Haris sih enggak, nggak tau kalo Hanum. Belom cerita apa-apa anaknya.”

“Nggak apa-apa. Nanti juga cerita sendiri, Kak,” balas Papa. Sebelum membalas perkataan Papa, Haris menganggukkan kepalanya setuju dengan seulas senyum tipis terukir di wajahnya. “Nanti kalo cerita, Haris kasih tau Papa.”

Sekon berikutnya tak ada lagi yang bicara sebab Haris mendapati ketiga temannya datang menghampiri. Maka dengan senang hati ia memperkenalkan mereka semua. “Pa, ini temen-temen Haris.”

Damar menjadi yang pertama memberi salam, disusul dua orang lainnya. “Yang ini Damar, ini Dhimas, ini—”

“Jauzan, Om. Paling keren,” balas Ojan seraya menyalami tangan Papa. Ucapannya tentu saja langsung membuat Ojan menerima cibiran dari Haris, lebih-lebih Dhimas.

“Boong, Om. Namanya Ojan, tapi kalo malem ganti jadi Yolanda,” ucap Dhimas.

“HEH, ngarang! Sembarangan banget lu Yolanda Yolanda—” protes Ojan. Setelahnya ia berlagak seakan sedang menyelipkan rambutnya sendiri ke telinga. “Azizah kalo malem!” koreksinya. Yang spontan membuat tawa ketiga temannya—termasuk Papa—menyembur bersamaan.

“Papa langsung pulang?” tanya Haris setelah tawanya mereda. Papa mengangguk, “Iya, ini mau langsung ke bandara.”

“Hah ke bandara? Ngapain?” tanya Ojan bingung.

“Balik, lah? Rumahnya di Makassar dia sekarang,” balas Haris merujuk kepada sang ayah.

“Hah? Udah pindah, Om? Kirain masih di Jakarta makanya Haris minta ambilin rapot?” sahut Dhimas. Papa tersenyum menanggapi keterkejutan ketiga teman anak sulungnya. “Udah pindah. Abis ketemu Haris waktu itu, malemnya berangkat.”

“Ini ke Jakarta ngambilin rapot Haris doang Om?” tanya Damar. Sementara yang ditanya hanya menjawab melalui sebuah anggukan. Sekon berikutnya yang terjadi adalah terdengarnya protes Haris sebab Ojan dan Dhimas terus mengatainya sebagai anak durhaka karena tega-teganya meminta sang ayah jauh-jauh datang dari Makassar hanya untuk urusan seperti ini.

“Durhaka banget, anak kurang ajjjjjjjyar!” celetuk Dhimas.

“Anak durhaka nih Om emang! Kutuk aja Om!!! USIR DIA DARI KAMPUNG INI!!!” Ojan menimpali dengan semangat. Setelahnya Haris membalas candaan teman-temannya dengan langsung menyeret Papa untuk menjauhi ketiganya. Agar Papa tidak terprovokasi oleh 'ujaran-ujaran kebencian' yang diutarakan Ojan dan Dhimas.

Haris mengantar Papa hingga depan gerbang. Sebab setelah ini Papa akan langsung diantar ke bandara oleh supir yang dikirimkan kantor lamanya di Jakarta. “Udah sampe sini aja, Kak. Mobil jemputan Papa nunggu di sana kok, nggak jauh. Papa jalan aja.”

Haris menipiskan bibir, “Ya, hati-hati, Pa. Makasih banyak udah mau ngambilin rapot Haris sama Hanum, makasih juga udah nganterin Hanum pulang tadi sebelum ke sini.”

Papa mengibaskan tangannya di depan wajah, “Ah, bukan apa-apa. Pokoknya kalo butuh apa-apa jangan sungkan-sungkan untuk hubungi Papa, ya?”

Haris hanya mengangguk sebelum Papa benar-benar mengucapkan pamitnya. Setelahnya pemuda itu hanya memandangi punggung Papa yang mulai menjauh dari hadapannya. Dalam benaknya kini terbayang sudah bagaimana setelah ini, ia akan kembali berjauhan dengan Papa. Tapi tak apa, setidaknya kondisi mereka kali ini sudah berbeda dengan yang dulu. Kali ini Papa tidak meninggalkannya dengan melukainya. Justru, Papa meninggalkannya dengan luka yang sudah berhasil disembuhkan.

“Pa!” panggil Haris, sebelum Papa berjalan lebih jauh. Sang ayah menghentikan langkahnya dan menoleh. Namun, belum sempat ia menanyakan maksud Haris, anak sulungnya itu sudah berlari dan menghamburkan diri ke dalam pelukannya.

Haris memeluk Papa begitu erat—sebelum ia kembali harus melepaskan Papa. Pemuda itu memejamkan mata kala merasakan usapan lembut tangan Papa yang sudah lama tak ia dapatkan pada surai hitamnya. “Thank you, really.

Papa tertawa pelan, setelahnya ia hanya membalas ucapan Haris dengan tepukan pelan pada punggung yang selama ini selalu Haris usahakan untuk berdiri tegak dengan tumpuannya sendiri.

Dekapan hangat keduanya terlepas, Haris menjadi yang lebih dulu melepaskannya. Tentu saja karena Haris tak ingin membuat Papa terlambat untuk mengejar jadwal penerbangannya—lebih tepatnya, tak ingin lagi. Mengingat sudah dua kali Haris membuat Papa membatalkan penerbangannya. Ia tak ingin lagi menjadi anak kurang ajar sebagaimana yang disebut-sebut Ojan dan Dhimas tadi.

“Papa pergi ya?”

“Ya. Live happily,” Balas Haris.

“Kamu dulu, baru Papa.”

Tak ada jawaban dari Haris, jawaban Papa berhasil membuatnya termangu di tempat. Sekon berikut, Papa menepuk pelan sebelah pipi Haris sebelum akhirnya ia masuk ke dalam mobil. Benar-benar meninggalkan Haris yang terus memandangi mobil tumpangan Papa melaju menjauhinya.

Tapi tak apa, hal itu sama sekali bukan masalah. Bukan kesedihan yang kini hinggap dalam relung Haris, melainkan sebuah perasaan lega—puas. Haris menghela napasnya seraya tersenyum hingga kedua pipi tirusnya turut mengembang. Memang tak pernah ia deklarasikan sebelumnya, tapi hari ini, adalah hari yang paling bahagia yang pernah Haris jalani.

Mulai dari Gia, Papa, Petantang-Petenteng, semuanya. Hari ini, Haris akhirnya mendapatkan kebahagiaan yang pantas ia dapatkan.

Haris menoleh ketika merasakan seseorang menepuk pundaknya dengan raut wajah khawatir yang begitu kentara. Itu Ojan, “Ris! Demi Allah tadi gue kira bokap lo itu elo! Untung nggak langsung gue toyor kepalanya ya Allah.... Bisa dosa tujuh turunan gue, Ris....”

Benar, kan? Haris mendapatkan kebahagiaan yang pantas ia dapatkan. Termasuk teman-teman yang selalu dapat menjadi sumber tawanya.