raranotruru

Dhimas's POV

Udah semakin sore, dan gue masih di rumah Haris. Kondisi ruang tamu Haris lebih ramai sekarang, ketambahan Damar dan Ojan, terus Adel juga akhirnya balik lagi buat nemenin Haura. Nggak lama kemudian, kebetulan Hanum pulang bareng sama mamanya Haris. Sebenernya, gue, Damar, dan Ojan udah berniat pulang. Kita masih tau diri untuk nggak ganggu waktu istirahat keluarga Haris di akhir pekan. Tapi, kayaknya pertemanan ini emang mulai berakar kuat karena setiap ketemu para mama, pasti nggak akan boleh pulang dan disuruh makan dulu.

Kata Ojan, sikat aja udah. Rejeki nomplok. Ya, ada benarnya juga, tapi konteks rejekinya beda buat gue. Rejeki Ojan adalah dia bisa isi perut karungnya, rejeki gue—bisa liat Adel lebih lama, kan?

Ini pertama kalinya gue ketemu dia lagi setelah beberapa hari lalu, di mana gue—secara tiba-tiba—punya dorongan untuk nyatain perasaan gue. Jujur, gue jadi malu sendiri. Gue yang marahin Haris karena dia nyatain perasaannya tiba-tiba, tapi gue sendiri juga melakukannya. Hari itu gue jadi paham kenapa Haris kayak gitu, you don't think straight when you're in love. Never.

Coba liat Haris, siapa yang pernah sangka raja demon kayak dia bisa pacaran sama anak peri kayak Gia? Coba liat Damar, siapa yang sangka orang sekalem dia pacaran sama ratu dangdut? Coba liat Ojan, siapa yang sangka orang se-ngaco dia bisa usaha banget buat bikin seorang perempuan seneng? Atau—coba liat gue, siapa yang sangka gue bakal suka lagi? Secepat ini? Bahkan gue sendiri nggak pernah menduga itu. But then again, you don't think straight when you're in love. Never.

Dari tadi gue di rumah Haris, sejujurnya geli sendiri. Lucu. Gue stay di ruang tamu sementara Adel dari tadi bolak-balik. Dari kamar Haura, terus turun lagi ke dapur, nanti balik lagi. Asumsi gue, si 'Kakak' ini mencoba memenuhi kebutuhan asupan Haura yang labil dan nggak habis-habis. Salut, sih. Sama pertemanan Adel-Haris dan kesungguhan Adel ngurusin Haura kayak adeknya sendiri.

Entah udah berapa kali gue ke-gep sama Damar karena curi-curi pandang ke arah Adel, cowok itu udah berkali-kali ngingetin gue lewat lirikan matanya buat tetap waspada. Ini raja demon depan mata gue soalnya. Ketahuan sekali mungkin masih aman, ketauan berkali-kali mungkin besok nyawa gue taruhannya.

Tapi kayaknya Tuhan emang sayang banget sama gue yang super baik hati ini. Mamanya Haris baru selesai masak dan kita semua disuruh ngumpul di meja makan. Sumpah, gue mendadak sayang banget sama Damar. Waktu Ojan mau dudukin bangku yang berhadapan sama Adel, si tua ini ala-ala minta tolong sama Ojan buat ambilin gelas. Alhasil, gue duduk berhadapan sama Adel. Canggung? Nggak usah ditanya.

“Eh, Dhimas sama Adel katanya satu les-an, ya?”

Apa, nih? Belom apa-apa gue sama Adel udah jadi topik pembicaraan. “Iya, Tante,” jawab gue.

“Titip-titip Adel ya, Dhimas. Bilangin jangan telat-telat makannya.”

“Tenang aja, Ma. Adel udah jinak banget tau sama Dhimas,” sambar Haris. Emang ini orang paling tai sejujurnya.

“Ya, Dhimas ngebilanginnya enak kali? Nggak marah-marah kayak kamu, Kak.”

Mampus, kan. Mamanya aja mihak gue. Emang gue idaman semua ibu di dunia ini.

“BETUL, TANTE! HARIS, MAH APAAN!”

“Tapi, Del, ada juga elu yang jagain Dhimas nggak, sih? Kayaknya lebih sangar lu dibanding Dhimas.” Ojan juga ikut menimpali dengan mulutnya yang penuh nasi dan ayam goreng itu. Ucapannya itu langsung dapat ancaman tusukan garpu dan pelototan dari Adel. Wah, bener kayaknya. Lebih sangar dia.

“Tapi, Adel kaget nggak pas ketemu Dhimas di les-an? Maksudnya kan kamu nggak tau kalo Dhimas temennya Haris?”

Pandangan gue otomatis terarah pada Adel, dia udah syok banget kayaknya. Sementara Damar sama Ojan tengok-tengokan, dan Haris ketawa paling kenceng. Gue sumpahin keselek aja itu orang. “BWAHAHAHAHAH, ORANG PERTAMA KALI KETEMUNYA DI DEPAN RUMAH SITU, MAAA! ADEL KECEBUR GOT, itu si Dhimas yang nolongin.”

“OH? Interesting,” ucap mamanya Haris. Iya, menarik Tante. Tapi, udah sampe situ aja bahasnya. Sisanya tolong jangan dibahas lebih lanjut, kami belom siap ketauan kalo emang ada apa-apa.

Untung aja Ojan langsung bawain topik lain. Jadi, gue sama Adel aman dari ceng-cengan warga dan protesan si satpam komplek yang menyeramkan itu. Setelah itu, gue sama Adel cuma berani interaksi tipis-tipis. Walaupun emang nggak bisa bohong, mata gue kayak kekunci di dia. Dan jujur, gue udah lupa banget kalo suka sama orang ternyata seseru ini. My heart flutters just by seeing her cheeks become chubby for chewing. Belom lagi gue harus mati-matian nahan senyum karena inget kejadian di mana gue lihat dia dengan kaos ketek bolong. Lucu banget.

Sesekali Adel juga ngeliat ke arah gue, tapi beda dari biasanya. Adel jadi lebih pendiem dan pemalu. Kayak beberapa menit yang lalu misalnya, dia mau sambel, tapi malu-malu banget mau minta tolongnya ke gue. Akhirnya dia minta tolong Hanum. Padahal, sambelnya bener-bener di sebelah gue. Alhasil gue hanya pura-pura nggak tau dan berusaha tetep fokus sama obrolan Damar dan Haris yang mendadak berbobot—tetep dibumbui ucapan asal Ojan.

Selesai makan, Adel bantuin Hanum dan mamanya Haris cuci piring. Perempuan-perempuan itu stay di dapur. Sementara gue dan Damar menunjukkan sikap sebagai tamu yang tau diri, beresin meja makan biar nggak ada noda yang tersisa. Nggak lama, Damar nyusul Haris dan Ojan ke ruang tamu lagi.

Saat gue rapiin kursi, samar-samar gue dengar percakapan Adel dan mamanya Haris dari dapur.

“Dhimas gimana, Del, anaknya? Baik, kan?”

“Iya, baik. Baik banget.”

*“Dari semua temennya Kak Haris, sejujurnya aku paling suka Kak Dhimas. Soalnya auranya emang beda aja, dia kayak prince charming banget gitu, deh.”*

Gue berasumsi itu ucapan Hanum, emang dia adek gue banget. Kapan-kapan gue jajanin nih anak. Gue sengaja lama-lamain beresin meja makan untuk dengar respons Adel. Tapi dia masih diem aja. Sampai Hanum bilang—

“Kak Adel nggak suka apa sama Kak Dhimas?”

Bull's eye. Pertanyaan yang... Tepat sasaran. Meskipun gue udah tau jawabannya, tapi gue tetep penasaran. Apa yang kira-kira akan keluar dari mulutnya?

“Apaan, sih, Num? Orang kenalnya aja baru.”

Gue terdiam sesaat. Namun, cukup lega rasanya. Adelia nggak berbohong. Dia hanya memberi jawaban ambigu, tanpa bilang iya atau enggak. But i guess i wouldn't mind kalau dia bohong. Sometimes we have to lie in order to protect our little secret, aren't we?

Dhimas's POV

Minggu pagi, belum mandi, muka bantal, cepol berantakan, dan menonton konten Forky si garpu plastik dari film Toy Story bersama Haura. Setelah diiming-imingi ayam geprek, Adelia bergegas menuju rumah sang tetangga. Dan begitulah kondisinya sekarang. Raganya mungkin bersama Haura, namun pikirannya melayang sejak pertama kali membaca judul film pendek yang sedang terputar di layar televisi milik keluarga Haris. What Is Love?

Adel juga bingung, kenapa pertanyaan seperti ini dijadikan konten film anak-anak? Bahkan dirinya yang lebih dewasa pun tidak tahu jawabannya. But seriously, what the fuck's love? batin Adel.

Film dimulai dengan karakter garpu plastik itu memperkenalkan diri, kemudian bilang bahwa ia memiliki pertanyaan. Apa itu cinta? Karakter mainan berbentuk gajah yang pertama menjawab, ia bilang bahwa dirinya paling ahli soal cinta.

'How do you know you're in love?'

'No idea.'

Sudut bibir Adel berkedut, rupanya sang paling ahli pun tidak akan sadar ketika dirinya jatuh cinta. Well, rasanya memang tidak akan ada orang yang menyadari setangkai bunga mulai mekar sampai seluruh mahkotanya benar-benar terbuka.

Karakter kursi plastik kemudian membuka suara.

'Love is a flittery-fluttery feelings.'

Ah, Adel setuju untuk kali ini. Ia mengingat ketika pertama kali kedua matanya menangkap sosok Dhimas di depan pagar rumah Haris yang tertutup rapat. Sedang minum es teh dengan satu kaki terangkat di atas jok motor. She fell at the first sight—literally.

Terakhir, karakter mainan lain yang ada di film pun menambahkan bumbu pada definisi cinta.

'And something goes—BOOM!'

Ledakan. Adelia terdiam, itu bisa menjadi definisi yang ambigu. Akankah terjadi sebuah ledakan kemeriahan sebagaimana kembang api dan confetti pesta, atau justru sebuah ledakan kehancuran layaknya bom atom yang dijatuhkan di sebuah kota kecil?

Kemudian Forky bilang bahwa cinta itu membosankan, dan ia berharap agar ia tak pernah merasakannya. Benar, kah? Rasanya Adel ragu untuk setuju. Sebab sudah sehancur ini, pun, Adel masih mendambakannya sejak lama. Should she let it happen to her?

Film berakhir dengan kekacauan yang terjadi. Chaos. Is love gonna cause a chaos? Or is it a chaos?

“Kak, ganti,” ucap Haura, membangunkan Adelia dari lamunannya. Adel tersontak, beruntung mulutnya tidak mengeluarkan umpatan. Setelahnya kemudian ia membantu Haura memilih film lain untuk ditonton. Beruntung kali ini gadis kecil itu memilih film dengan durasi panjang, sebuah film tentang putri berambut panjang keemasan. Maka Adel menyimpulkan ia punya waktu melamun lebih lama.

Gadis remaja itu kembali lagi pada pikirannya yang ia lambungkan jauh-jauh. Apa itu cinta? Sebab sejak tadi Adel hanya menemukan definisi abstrak. Tidak akan pernah ada jawaban mutlak untuk pertanyaan itu. But love is a flittery-fluttery feelings and then something goes—BOOM!

Question is, which 'boom' will gonna happen? Will it destroy her someday?

Ah, Adel menepis pikiran buruknya. Sudah beberapa hari setelah Dhimas menyatakan perasaannya. Adel belum berkesempatan untuk bertemu dengan pemuda itu lagi karena les sedang libur. Dhimas pun tidak terlihat memiliki urusan untuk pergi ke rumah Haris. Dan tiba-tiba gadis itu merindukannya.

Mendadak perkataan Ivonne merasuki pikiran Adel.

Mungkin kali ini gilirannya. Mungkin kali ini gilirannya. Mungkin kali ini gilirannya.

Mungkin kali ini akan berhasil. Mungkin kali ini tak akan berakhir menyedihkan. Sakit, pasti. Tetapi mungkin kali ini tak akan sama seperti yang sudah sudah.

Adelia merapatkan bibir, membulatkan tekadnya dalam hati. Ia harus memperjuangkan yang satu ini. Toh, dirinya sendiri yang bilang pada Haris—they shouldn't give up on love. Maka ia pun tidak akan menyerah, meskipun ia mungkin masih harus mencari tahu apa itu cinta dan bagaimana cara menguasainya.

By the speed of light, sepenggal lirik lagu dalam ingatannya menambahkan bumbu pada definisi abstrak tentang cinta yang sebelumnya ia temukan.

All i know is love—when push comes to shove, i'll be the one around.

I wanna have him around, ucapnya dalam hati.

Entah sudah berapa lama gadis itu melamun. Pikirannya terasa lelah sampai-sampai ia membutuhkan peregangan. Di sofa empuk milik keluarga Haris, Adel meregangkan kedua tangannya ke atas, masa bodo jika ada bagian ketiaknya yang bolong. Toh, tidak ada siapapun di rumah selain dirinya dan Haura. Ia hanya ingin menguap sebesar-besarnya dan membiarkan segala ketakutan dan pikiran buruknya tentang cinta itu turut menguap ke luar angkasa.

“Assalamualaikum,” ucap seseorang tiba-tiba dari pintu.

“Wa'alaikumussalam,” balas Adel santai, masih mengulat dengan kedua tangannya di udara. Ia sudah hapal suara itu, suara bariton Haris.

“Assalamualaikum—loh, ada Deli?”

Suara itu, panggilan itu, sontak membuat Adel membulatkan matanya. Tubuhnya menegang. Pelan-pelan kepalanya menoleh dan menemukan sosok Dhimas yang selalu terlihat menawan di matanya. Belum lagi cahaya matahari yang masuk lewat pintu yang terbuka itu menambah kesan dramatis, seakan wajah Dhimas bersinar begitu terangnya.

Dhimas memang selalu ramah. Pemuda itu tersenyum sangat manis ketika menemui Adel. Ah, ini pertama kali keduanya bertemu setelah mengetahui perasaan masing-masing. Adelia merasakan dadanya menghangat. Gadis itu turut tersenyum simpul, love really is a flittery-fluttery feelings.

Di sebelah Dhimas, Haris terkekeh pelan. “Turunin itu tangan lu, nggak malu apa ketek lo bolong begitu?”

And something does go—boom!

You're the lamella to my hilum. We're standing hand in hand, Becoming long chain of glucoses. Till the time's right, you crystallized. My shield, My shelter from the outside world.

Polygonals, circular. Compounds, and singular. Honey, you keep me safe from those crash downs.

Manihot, maydis, titrici, Darling, we decide what the outcomes be. It's in our hands, how'd we want it to be?

Let's stand hand in hand, With you being the lamella to my hilum, Oryzae, solanum, or whatsoever, Let's aim for a bigger granule, together.

You're the lamella to my hilum. We're standing hand in hand, Becoming long chain of glucoses. Till the time's right, you crystallized. My shield, My shelter from the outside world.

Polygonals, circular. Compounds, and singular. Honey, you keep me safe from those crash downs.

Manihot, maydis, titrici, Darling, we decide what the outcomes be. It's in our hands, how'd we want it to be?

Let's stand hand in hand, With you being the lamella to my hilum, Oryzae, solanum, or whatsoever, Let's aim for a bigger granule, together.

Haris sudah mengantarkan Gia sampai rumah. Namun ia tidak langsung pulang, keduanya kini duduk bersebelahan di sofa empuk ruang tamu Gia. Tak ada yang bicara. Gia cemberut, dan Haris gelisah sendiri. Memikirkan cara untuk menjelaskan semuanya, juga meminta maaf.

“Anggi...”

Tak ada jawaban.

“Kalila?”

Masih tak ada jawaban.

“Maheswari?”

Dan Gia masih bungkam.

“Lily?” panggil Haris ragu. Gia akhirnya melirik Haris singkat. Ah, setidaknya ada respons dari ucapannya. Haris mendekatkan tubuhnya ke arah Gia. Pemuda itu menelisik wajah Gia yang ditekuk sejak tadi. Haris menangkap jelas, ada amarah yang terbungkus oleh kesedihan.

“Gi,” panggilnya. “Anggia, boleh aku ngomong dulu? Atau kamu mau ngomong duluan?”

Gia menghela napas kasar. Mendadak air matanya menggenang di pelupuk mata. “Dia mantan kamu?” tanya Gia seraya menatap Haris.

“Bukan,” jawab Haris tegas. Setelahnya ia membuang napas panjang. “Gini, Vanessa dari dulu emang suka sama aku. Dari aku kelas tujuh, sampe aku lulus, dia suka sama aku. Tapi aku nggak pernah suka sama dia, Gi. Aku udah tolak dia berkali-kali, sampe aku dikatain gila sama tiga angkatan—”

“Kamu dikatain gila waktu SMP karena itu, Kak?” potong Gia.

“Kamu tau?”

“Dari Kak Ojan.”

“Wah, bangs—wah,” kesal Haris. Dipastikan esok hari ia akan mencelakakan Ojan hingga temannya itu tidak berdaya lagi mengumbar aibnya. Kemudian ia melanjutkan ucapannya. “Aku udah tolak dia, dan dia pacaran sama alumniku. Kupikir udah selesai, ternyata belum. Dia masih suka aku. Dia nyatain lagi perasaannya ke aku pas kita kelas 9. Aku tolak lagi, karena waktu itu aku belum siap untuk mulai apapun sama orang lain, apalagi perempuan. Aku punya banyak banget yang harus kutata ulang waktu itu, dan 'punya pacar' sama sekali nggak ada di dalam list aku.”

“Aku ke prom sama dia, ya, itu bener,” jelas Haris, memantik tatapan tidak suka dari Gia. “Waktu itu, setelah Nessa nyatain lagi perasaannya, aku bilang supaya dia berhenti. Aku minta dia tinggalin aku as soon as dia keluar dari gedung SMP itu. Aku minta dia lanjutin hidupnya tanpa bayang-bayang aku. Dia bilang iya, tapi dia minta tolong aku untuk jadi temennya ke prom sebagai perpisahan yang proper aja. Aku juga nggak bilang akan lanjut ke mana, makanya dia nggak pernah cari tau lagi tentang aku. Sayangnya, aku sama dia ketemu pas acara cup sekolah kita. Itu di luar kuasaku, Gi.”

Gia masih diam. Dan Haris mulai putus asa. Lagi-lagi embusan napas menguar dari Haris. Namun, ia belum menyerah menjelaskan semuanya. “Aku minta maaf, Anggi. Aku nggak bermaksud nutupin semuanya dari kamu. Waktu kamu bilang Nessa muncul di IG kamu, aku bingung. Waktu dia chat aku, aku makin bingung. Haruskah aku bilang sama kamu? Apa nggak usah? Bilang atau nggak bilang, aku takut kamu mikir macem-macem. Tapi aku tau aku lebih salah karena terkesan nyembunyiin ini dari kamu. The blame is on me.”

Gia memandangi Haris dengan seksama. Keduanya kini berhadapan, dan Gia enelisik setiap sudut wajah cintanya. Kak Haris-nya. Matanya penuh khawatir, pelipisnya penuh keringat jagung, dan bahunya tegap seakan berada dalam posisi siap. Pemuda itu jelas siap mengantisipasi segala bentuk amarah maupun kesedihan yang akan dilemparkan Gia padanya.

Namun Gia terkekeh. “Kak Haris, you do realize that was the longest sentence you've ever said to me, don't you?

I'll write down pages of essay if you want me to.

Hening sementara. Gia tersenyum sebelum akhirnya memutus kontak mata dengan Haris. Gadis itu menunduk dan memilih memainkan jari, ciri khas Gia ketika merasa gugup. “Ada yang suka sama kamu secantik itu, sekeren itu, seterkenal itu. Kenapa aku?”

Haris meraih sebelah tangan Gia, menghentikannya sebelum kuku-kukunya melukai kulit jarinya sendiri. “Simply because i don't need that,” jawab Haris enteng. “Tiga tahun aku liat Vanessa, aku berusaha temenan sama dia. I just knew bukan dia yang aku cari.”

“Tapi yang ini beda,” ucap Haris, membuat Gia mendongak lagi. “Yang ini, nih,” tunjuknya pada wajah Gia, “yang suka terlambat, yang suka cemberut kalo beli bakso nggak ada bihunnya, yang suka nangis kalo nonton Bluey, yang suka merem kalo ketawa, yang suka takut dimarahin Mama kalo kesiangan tapi tidurnya malem terus—”

“Kakak, ih!”

“Tuh, yang suka mukul kalo aku ledekin,” canda Haris. “Anggia Kalila Maheswari yang ini, beda. Aku bahkan menolak dengan keras waktu awal-awal aku suka kamu. But then i just knew, emang kamu orangnya. I wish i could tell you more about what's hidden inside my mind, Anggi. I do wish i could tell you.

Gia tak berdaya. Gadis itu tak bisa mengeluarkan respons apa-apa selain air mata yang menerobos pertahanannya. “Kakaak...”

“Apa?”

Thank you.

Haris menggeleng pelan. Jemarinya tergerak menghapus jejak air mata Gia yang menerobos membasahi pipi marshmellow-nya. Sekon berikutnya ia menepuk-nepuk kepala gadisnya pelan. “Aku nggak bisa kasih jaminan apa-apa. Tapi aku bisa bilang kalo buat aku, Vanessa nggak ada apa-apa dibanding kamu.”

“Mau ada berapapun Vanessa di dunia ini, aku akan tetep tungguin Anggia Kalila Maheswari di depan gerbang jam 6.15 pagi,” lanjut Haris. “I will always choose you.”

Gia terpaku cukup lama. Detik berikutnya senyumnya mengembang penuh. Pipinya berubah kemerahan, dan matanya berubah penuh binar. Cantik. Persetan jika satu dunia memuji Vanessa. Bagi Haris, Gia tetap pemenangnya.

“Udah, tidur sana. Anak bocah tidurnya, tuh, jam delapan.”

“Apaan, sih!?”

Haris terkekeh gemas. “Aku boleh pulang nggak, nih?”

“Dih, dari tadi juga kan disuruh pulang sama Papa!” balas Gia. “Mana bisa pulang kalo adek kelasku cemberut gitu.”

“DIH, KOK JADI ADEK KELASS?”

“Emang apa?”

“Ih?” balas Gia tersinggung. Namun Haris semakin gemar menjahilinya. “Apa? Coba bilang.”

“PAPAAA, KAK HARIS MAU PAMIT!”

Haris adalah tipe manusia sok misterius. Ia ingin segalanya menjadi kejutan, termasuk ketika Gia bertanya tujuan keduanya pergi hari ini. Pemuda itu hanya tersenyum dan menjawab, “Keliling dunia.” Dan setiap Gia mengernyit bingung, tawanya justru kian menguar. “Nanti juga kamu tau, Anggi,” katanya.

Gia tampak cantik hari ini. Gadis mungil itu mengenakan gaun putih bermotif bunga daisy yang cantik pada setiap sudut gaunnya, dipadukan sneakers dengan warna senada. Rambutnya dibiarkan tergerai, namun bertengger sebuah scrunchie pada lengan kecilnya. Antisipasi, agar rambutnya tetap rapi meski angin kencang menerpanya di jalan.

Gia hari ini—manis sekali. Sampai-sampai Haris lupa bahwa alisnya sempat berkerut marah akibat pesan masuk dari orang yang tidak ia harapkan. Entah sudah berapa lama, Haris dan Gia memilih untuk tak berfokus pada hitungan hari atau bulan. Keduanya sepakat bahwa yang paling penting, keduanya masih bersama. Dan semoga waktu terus berdetik memihak keduanya.

Haris dan Gia kini berjalan beriringan di tempat wisata outdoor. Hari sudah sore setelah keduanya selesai menonton bioskop dan makan. Ramainya orang tentu membuat Haris berada dalam setelan mode penjagaan untuk Gia-nya yang mungil. Sela-sela jarinya tak pernah kosong, selalu ia eratkan dengan milik Gia agar gadis itu tidak hilang.

“Katanya keliling dunia. Kok, ke sini, Kak?” tanya Gia. Masih penasaran dengan ide Haris. “Nanti juga kamu tau,” balas Haris.

“Kenapa, sihhh, gitu terus? Gimana aku tau kalo kamu nggak ngasih tau, Kaak!?”

Haris terkekeh gemas. Akhirnya menyerah sebelum gadis di hadapannya berubah semakin gemas. “Apa?”

“Katanya keliling dunia, kenapa ke sini?”

“Lho, setiap inci jalanan ini juga bagian dari dunia, Gi. Kamu keliling di sini juga sama aja keliling dunia namanya,” balas Haris. Membuat Gia memutar matanya malas seraya terkekeh. Biarlah, Haris memang selalu punya caranya sendiri.

Seiring berjalannya waktu, langkah kaki Haris dan Gia berjalan semakin jauh. Kanan dan kiri tangannya perlahan mulai penuh, namun tak cukup untuk membuat Haris melepas tangan Gia begitu saja. Perlahan-lahan Gia mulai mengerti mengapa Haris mengatakan mereka akan keliling dunia. Sebab sesaat berikutnya, Gia menemukan restoran dengan plang nama Hawaii.

“Tuh, Gi, kita jalan kaki sampe Hawaii. Lurus lagi dikit nanti ke Cina.”

“Kaak, ih!” ucap Gia tertawa. “Loh, bener, kan? Itu liat, tuh, Cina di depan mata,” balas Haris. Dan lagi-lagi Gia tertawa.

Gadis itu ceria hari ini, sangat. Namun, Gia menangkap sesuatu yang lain dari Haris. Seakan pria itu sedang memikirkan sesuatu. Tetapi tak sopan rasanya jika Gia menanyakannya hari ini. Sebab Haris sudah susah payah mengesampingkan perasaannya sendiri demi kelancaran hari ini, dan Gia tentu tak ingin merusaknya.

Sudah sampai 'Cina', keduanya kini memutar balik dan memilih untuk pergi ke seberang jalan. Di mana lebih banyak jajanan yang, menurut Haris, lebih Gia-friendly. Dari sekian banyak, kakigori rasa stroberi dengan ukuran besar menjadi pilihan Gia. Satu mangkuk yang disantap berdua, karena perut Gia terlalu kecil untuk menampung semuanya.

Sepanjang waktu, Haris lebih banyak diam. Kedoknya adalah mendengarkan Gia bercerita, padahal benaknya masih bertarung. Haruskah ia mengatakan bahwa ada perempuan lain yang menghubunginya? Haris masih melamun, hingga tiba-tiba matanya menangkap sesosok yang sepertinya ia kenali. Vanessa.

Gadis yang baru-baru ini menjadi topik pembicaraannya dengan Gia dan Ojan karena kemunculannya. Juga yang membuat benaknya memerangi Haris sejak tadi. Benar, kah, itu Vanessa? Kalau iya, sedang apa gadis itu di sini? Kebetulan, kah?

“Kamu kenapa, Kak?” Pertanyaan Gia otomatis memecah lamunan Haris. Pemuda itu berjengit, kemudian menggeleng setelahnya. “Nggak.”

“Beneran? Dari tadi kayak ada yang dipikirin gitu? Kamu sakit?”

“Enggak,” tegas Haris. “Gia abis ini masih mau jalan-jalan?”

Seraya menyuapkan sesendok kakigori dingin ke mulutnya, Gia menggeleng. Haris tersenyum simpul, “Pulang aja, ya? Udah jauh banget mainnya sampe ke Cina, nanti dicariin Mama.”

Sesaat kemudian Gia menyetujuinya. Lagipula ada Papa di rumah, beliau bisa-bisa menjadikan Haris santapan malam kalau belum memulangkan Gia di atas jam 8 malam. Sementara Gia fokus memakan es di hadapannya, seseorang menyapa Haris dari sembarang arah.

“Haris? Haris! Hai!”

Haris terpaku, sementara Gia memandangnya bingung. Gadis itu menatap curiga pada perempuan yang terus menyapa Haris dengan riang, juga pada Haris yang bolak-balik menatap ke arahnya dan gadis itu. “Kamu di sini juga? Ini siapa?” tanya gadis itu.

Mendadak napsu makan Gia hilang. Harusnya ia yang melontarkan pertanyaan itu lebih dulu, kan? Haris masih diam, seakan memproses kejadian yang hadir layaknya kuis dadakan. Sementara Gia memperhatikan sosok di sebelah Haris dengan seksama. Seorang perempuan dengan tinggi semampai, berambut lebat nan bergelombang, dengan wajah yang seperti boneka. Cantik. Bahkan Gia tak berani menatapnya lama-lama. Tetapi rasanya Gia bisa menebak siapa perempuan ini.

“Lo ngapain?” Ah, akhirnya Haris memecah keheningan. Gadis itu mengerjap lugu, “Aku? Lagi iseng aja, Ris. Hang out sendirian. Tadinya mau sama temen-temenku tapi mereka pada sibuk,” jawabnya.

Gia diam-diam memutar matanya malas. Kekesalannya perlahan memuncak, begitu juga dengan napsu makannya. Tanpa sadar gadis itu melahap kakigori-nya dengan satu sendok yang menggunung. Persetan dengan ngilu atau sakit gigi. Gia bahkan bisa menelan mangkuknya hingga tak bersisa.

“Eh, by the way, kita belom sempet ngobrol lagi semenjak acara cup sekolah kamu. Aku DM kamu di IG, deh, Ris, nggak kebaca ya?”

“Mungkin ada di requested message tapi gue nggak pernah buka itu, sih,” ucap Haris. Sekon berikutnya pemuda itu menatap ke arah Gia. “Gue buka DM dari dia doang,” ucap Haris.

“Ah, gituu...” balas Nessa. “Aku tau dari Ojan juga, nomor kamu nggak ganti ya? Aku ada chat kamu juga tau. Masuk nggak?”

Haris menghela napas gusar. “Abisin, Gi.” Entah merujuk pada es yang Gia makan, atau pada perempuan yang kini berdiri di sebelahnya.

Gadis jelmaan boneka itu tersenyum ke arah Gia. “Oh, sampe lupa. Haii, aku Vanessa. Temen SMP-nya Haris dan dulu sempet deket juga. Dulu aku sama Haris prom bareng, loh. Kakak kamu waktu SMP galak banget!”

Vanessa. Mendadak Gia teringat satu nama. Sebaris nama yang sama dengan yang pernah muncul di notifikasinya. Sebaris nama yang pernah menjadi pembahasan dengan teman-temannya. Seseorang yang mereka curigai—mantan Kak Haris. Mendengar segala hal yang dipamerkan Vanessa, dan segala ke-sok tahu-an-nya, Gia hanya diam dan menatap bingung. Gia mengusahakan senyum simpul seraya membalas perkenalan Vanessa. “Aku Gia.”

“Gia?” Vanessa mengulangi.

“Iya. Tapi Kak Haris suka panggil Kalila, kadang-kadang Lily. Kalo yang dipake buat nama jersey-nya Maheswari.”

Kini giliran Vanessa yang menatap bingung. “Kenapa?”

Gia mengendikkan bahu seraya tersenyum simpul. “You can ask him yourself, Kak Nessa.”

Di hadapan Gia, Haris tersenyum miring menyambut umpan. “Nggak ada salahnya, kan, suka nama pacar sendiri?” ucap Haris. Setelahnya mereka tertawa bersamaan.

Haris menoleh, kembali melihat ke arah Vanessa. “Maaf, ya, Nes. Gue nggak pernah bermaksud kasar tapi menurut gue aneh aja lo tiba-tiba di sini. Apalagi gue tau fakta kalo lo stalk cewek gue, kemungkinan besar lo tau gue di sini karena liat SG-nya Gia,” Haris menjeda ucapannya. “In case lo lupa, gue pernah bilang kalo lo harus ninggalin perasaan lo buat gue ketika kita udah lulus SMP. Lanjutin hidup lo tanpa gue, Nes. Kenapa, sih?”

“Kita udah ketemu sebelumnya, gue yakin lo juga udah pernah liat gue sama Gia. Salah kira kalo dia adek gue won't do, Nessa. Lo cuma mau manas-manasin cewek gue, tapi lucunya lo pamerin hal-hal yang bahkan nggak pernah ada,” sambung Haris. “So with all due respect, jangan ganggu gue lagi, dan jangan ganggu Anggia!”

“Anggia pacar gue,” tegas Haris.

Nonsense.” balas Nessa. “Kamu nolak aku berkali-kali, cuma buat pacaran sama orang kayak dia, Ris?”

Haris bangkit berdiri. Seakan menunjukkan siapa yang berkuasa di antara ketiganya. Pemuda jangkung itu memandang Nessa yang lebih pendek darinya. Matanya setajam elang, dan suara baritonnya kian mengerikan. “Berhenti. Sebelum lo jadi perempuan pertama yang lebam sama gue.”

Kemudian, seakan berubah 180 derajat, Haris menoleh ke arah Gia dengan tatapan teduh. “Udah abis? Yuk, pulang! Buang sampahnya, Anggi.”

Gia hanya menurut. Sebagai anak yang diajarkan sopan santun, Gia menundukkan kepala singkat guna menghormati Vanessa yang lebih tua. Tak lupa Gia tersenyum simpul. Segemetar apapun hatinya, lawannya tak boleh tahu. Ia harus menang—atau setidaknya, ia harus terlihat menang.

In a land far, far away, In a place where our time ticks differently, With yours faster as how it has been, Someone might've loved you in the same way.

In a land far, far away, In a place where the sun shines differently, With your skyblue's brighter than mine, Someone might've loved you in the same way.

In a land far, far away, In a place where our clouds condense differently, With yours happier than mine, Someone might've loved you in the same way.

To a land far, far away, The sun, the moon, the stars, With planes passing by with its blinking lights, Darling, i hope they assure you enough of how much i love you.

To a land far, far away, The breeze, the wind, the waves, With those dusts you brought home through your clothes after work, Darling, i hope they assure you of how i wouldn't turn my back against you.

“Let's make ourselves our very own brigade, this love's our shield our blades.” Come sharpen it, For we let the distances became our battlefield. Go take the lead, i will cover you.

I hope we will come to a long way, comrade. Let the heart strengthen its bond, For maybe someday our chemical compounds will modify itself to a grenades, Contains of exploding laughter to share where our time ticks in the same way.

“Don't cross the line.” Honey, look at how far we've crossed this line. We've reached a land of far, far away. Take a good rest, love. For this battle might've been exhausting. It's time to let the clock does its work. I hope the sacrifices will not be in vain.

For in a land far, far away, Where our time ticks differently, Where your skyblue's brighter than mine, Where the distance became our battlefield, Someone might've loved you in the same way.

I, love you in the same way.

Adelia mengetuk-ngetukkan kakinya gelisah. Entah sudah berapa menit berselang, Haris tak kunjung datang. Perutnya sudah meronta, asam lambungnya mulai bergejolak lantaran makannya tertunda akibat si motor jadul yang mogok mendadak. Segala cara sudah ia kerahkan, beberapa orang pun sempat berhenti dan membantunya. Namun tetap saja tak membuahkan hasil. Berujung ia kembali ditinggalkan sendirian.

“Mana lagi si Haris? Lama banget, berangkatnya dari Ujung Kulon apa, yak!?”

Speaking of the devil, lelaki dengan tinggi menjulang itu tiba. Tetapi ia tidak sendiri, melainkan kompak dengan teman-temannya. Termasuk Dhimas. Rasanya Adel ingin mengumpati Haris tepat di wajahnya. Bisa-bisanya ia membawa Dhimas untuk kembali menemui Adel di tengah situasi memalukan seperti ini.

Haris datang dengan wajah penuh sumringah, pasti besar niatnya untuk mengejek Adel habis-habisan. “AHAHAHAAA, kasian banget, sih, di pinggir jalan. Kenapa, Neng, motornya, Neng?”

PLAK! “ANJING LU! LAMA BANGET DARI MANA, SIK!? TOLONGIN GUE DULU!” ujar Adel setelah satu pukulan mendarat di lengan Haris. Pemuda itu masih setia tertawa geli. “Kenapa lagi, sih? Mati? Bensinnya ada nggak?”

Full, anjir! Gue selalu isi bensin dengan benar!”

“Perasaan udah gue bawa ke bengkel dengan benar,” balas Haris. “Abang bengkelnya kali nggak bener, tuh! Muka lu jangan kayak orang kaya banget makanya, nanti dikadalin mulu!” sahut Adel.

“Goblok!” umpat Haris. “Ya udah lu balik sana! Ini gue yang urus nanti,” usulnya lagi.

Adel mendelik tajam pada Haris, memandanginya dari atas ke bawah. “Lah, gue pulang pake apa, Ris? Motor gue—”

“Sama gue, Del,” potong Dhimas. Otomatis Adel menoleh ke arah Dhimas. Gagal sudah upayanya untuk mengabaikan Dhimas. Gadis itu memandangi Dhimas bingung seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Melihat Adel terpaku, Dhimas kembali bersuara. “Mau langsung pulang apa nyari tempat buat lo makan dulu? Sakit banget nggak perutnya? Asam lambung beneran?”

“Kalo belom kebakar perutnya, mah, masih santai dia, Dhim,” cibir Haris. Membuat Adel memukulnya sekali lagi.

Damar ikut nimbrung dengan kekehan halusnya. “Cari tempat buat makan aja dulu, Dhim. Takutnya nanti keburu parah. Lo juga tadi belom sempet makan, kan?” ucap Damar, kode. Dan berhasil membuat sudut bibir Dhimas berkedut. Andai saja tidak ada Adel, mungkin Dhimas sudah bilang i love you terang-terangan.

“Dam, gue bawa motornya. Lu yang stut, ya!” ujar Haris. “Lah, terus gue ngapain? Ikut Dhimas?” tanya Ojan menunjuk diri sendiri.

Haris berdecak. “Duduk manis aja lu, mah. Jangan merusak tatanan alam semesta,” ucap Haris. Memancing tinju dari Ojan pada bahu kirinya. Tak ingin berlama-lama, ketiga pemuda itu kemudian melakukan aksinya. Meninggalkan Dhimas yang masih terdiam di posisinya, sama dengan Adel.

“Ayo, Del,” ajak Dhimas. Tak ingin terdampar sendirian di jalan raya lagi, Adel segera menjawab ajakan Dhimas. Keduanya kemudian melaju pelan setelah memakai helm dengan benar. Bukan modus, melainkan jalanan cukup ramai sore itu. Mungkin karena jam pulang kerja.

“Lo tadi lagi maen, Dhim?” tanya Adel. “Hah?” sahut Dhimas. Kali ini sengaja, agar Adel tak duduk terlalu jauh.

“LO TADI LAGI MAEN?”

“HAH?”

“NGGAK JADI!”

Dhimas membalasnya dengan tawa pelan. “Iya, lagi maen. Terus tiba-tiba Haris bilang lo terdampar di tengah jalan.”

Sorry ya, Dhim. Jadi ganggu lo semua. Gue nggak tau mau minta tolong siapa lagi soalnya selain Haris,” balas Adel. Pemuda itu lagi-lagi tertawa. “Santai, Del. Itu juga tadi udah pada mau pulang, cuma kebetulan Haris bilang gitu. Ya udah, sekalian.”

“Mau makan di situ aja nggak, Del?” tanya Dhimas lagi. Memecah lamunan Adel. Seketika Adel menyadari keduanya melewati sebuah taman yang cukup ramai, dengan banyak tempat duduk mumpuni untuk menghabiskan makanannya. Sontak Adel mengangguk, menyetujui inisiatif Dhimas.

Efisiensi waktu, Dhimas memarkirkan motor dan segera mencarikan tempat duduk untuk Adel. Keduanya kini duduk berhadapan. Lampu gantung taman yang mulai menyala di tengah langit yang mulai menggelap itu membuat keduanya diam-diam meromantisasi hidup. Untuk sesama pejuang cinta yang berakhir kalah, sesekali memenangkan hari tak apa, kan?

“Makan, Dhim,” tawar Adel. Gadis itu kemudian meng-unboxing makanannya setelah Dhimas mengangguk. “Makan aja, gue nantian.”

Sekon berikutnya Dhimas memilih untuk memainkan ponsel. Membalas pesan Haris yang meracau posesif. Sesekali Dhimas tertawa membaca pesan Haris yang terlihat seperti bocah. Dan tentu saja tawanya mengundang rasa penasaran Adel. “Kenapa lu ketawa-tawa sendiri? Lagi chat-an sama cewek lu ya? Eh, marah nggak dia lu jalan sama gue begini? Nanti gue dikata-katain lagi.”

“Hah? Cewek apaan? Ini gue membalas pesan satpam lu,” sahut Dhimas seraya menunjukkan bukti ucapannya. Adel ikut tertawa, “Satpam banget?”

“Abis posesifnya nggak ketulungan. Kayak gue mau ngapa-ngapain lo aja,” balas Dhimas. “Tadi juga pas mau nyamperin lo, malah gue dilarang ikut. Akhirnya boleh gara-gara Damar menjabarkan logikanya.”

Lagi-lagi Adelia tertawa seraya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Emang begitu orangnya. Sorry, ya.”

Dhimas menggeleng pelan, “Santai. Gue juga tau, kok, Haris kayak gimana.”

“Dia sama ceweknya gitu juga nggak, sih, kalau di sekolah?”

“Menurut lo?”

“Iya, lah. Apalagi ceweknya lebih muda juga. Gue yakin nanti kalau udah lulus juga Haris masih rela bolak-balik ke sekolah cuma buat ceweknya. Not that i don't like Gia, tho. She seems sweet. Sayang gue belom sempet ketemu dan kenalan langsung,” ucap Adel. “Tapi, gue kaget, sih, pas tau Haris tiba-tiba pacaran sama adek kelasnya.”

“JUJUR, IYA! ITU TAI BANGET!” sambar Dhimas. “Del, trust me, kita-kita temennya aja nggak tau.”

“HEH, GUE JUGA ENGGAK!! EMANG KURANG AJAR DIA TUH!!”

“LAH, LU JUGA NGGAK DIKASIH TAU!?”

Keduanya kini bertukar pandang. “Lu berani bakar rumah Haris nggak, Del?”

Seketika Adel menggebrak meja. Tubuhnya mundur dan tangan kanannya melepas genggaman sendok plastiknya. Ia menyelesaikan kunyahannya sebelum bicara. “Nggak berani. Nggak sanggup ganti ruginya,” balas Adel. “Kalau rusakin engsel pintu kamarnya gue berani.”

Keduanya lalu tertawa receh. Entah setelah ini keduanya harus meminta maaf atau berterima kasih pada Haris. Bagaimanapun, keberadaannya bisa menjadi topik yang kian mengikis jarak. “Tapi Gia cantik banget,” ucap Adel spontan, “manis anaknya. Lo kenal, kah, Dhim?”

“Kenal. Emang manis banget anaknya. Keliatan anak baik-baik gitu, sejujurnya gue kasian dia pacaran sama demon macem Haris.”

“YAHAHAHAH, DEMON, ANYING KESELEK!”

Dhimas ikut melepas tawanya. “Gue kenal Gia, tuh, karena gue kakak pembimbing kelompoknya pas LDKS. Barengan sama Haris. Sebelum itu gue juga tau Gia, sih. Dia temenan sama tetangganya temen sebangku gue. Ah, gitu, deh. Rumit. Intinya dunia ini sempit banget ternyata.”

I see. Ini, kita berdua juga bukti dari dunia yang sempit banget. Gue kenal lo karena lo temen Haris, ternyata kita satu lesan,” balas Adel. “Rumit kalo dipikirin, tapi sejujurnya itu menarik.”

“Setuju,” balas Dhimas.

“Tapi, lo sama sebangku lo, tuh, pacaran?”

Bull's eye. Adelia menembakkan panahnya, tepat sasaran. Matanya menatap Dhimas tanpa berkutik. Mengharap jawaban yang tidak mengecewakan. “Enggak!” Pria itu menggeleng agresif, “temenan doangg. Temen sebangku gue itu pacarnya Damar.”

“OH? INTERESTING! Seru, ya, pacarannya kayak dari channel gitu berarti. Tapi, Damar nggak marah lu sebangkuan sama ceweknya gitu?” ucap Adel non-stop.

“Pernah, gue pernah berantem sama Damar. Tapi masalah eksternal aja, abis itu udah, sih. Nggak pernah berantem lagi. Damar bestie gue sekarang,” sahut Dhimas.

“Terus musuh lu siapa sekarang?”

“Haris, mungkin?”

“Kenapa?”

“Kenapa ya? Menurut lo kenapa?” balas Dhimas, sok penuh teka-teki. Namun Adel menyukainya. Sudut bibir gadis itu berkedut, matanya memincing seakan menangkap sesuatu yang lain. Namun keduanya hanya diam, membiarkannya tersimpan dalam diri masing-masing. Belum waktunya.

“Di sekolah, lo OSIS juga, Dhim, bareng Haris?”

“Gue MPK,” sahut Dhimas, “tadinya bareng tapi tiba-tiba dipindahin pas regenerasi. Beberapa temen gue juga ada yang dipindahin.”

“Ohh, keren. Apakah lu adalah kakak-kakak idaman masyarakat?” ucap Adel. Lagi-lagi Dhimas tertawa. “Enggak, Del. Gue orang biasa.”

“APAAN, SIHH, HAHAHAHAH. Kenapa, yaa? Tiap gue liat lo kayaknya vibes lo sedih banget, Dhim,” ujar Adel. Sementara menunggu jawaban Dhimas, Adel memilih untuk membereskan sampah makanannya. Di sisi lain, Dhimas mengerutkan keningnya. “Emang keliatan banget, kah!?” kesalnya. “Semua orang kayaknya bilang gitu ke gue, deh.”

“Ya... Keliatan...” Adel kini melipat tangannya di atas meja, duduk rapi dan bersiap mendengar cerita Dhimas lebih serius. “Besok gue totok aura aja apa ya, Del? Biar aura wajah gue makin cerah gitu.”

Adel terkekeh geli, sekon berikutnya ia melempar bola tisu kecil hasil karyanya ke wajah Dhimas. “NGARANG! Emang kenapa, sih? Maksudnya apa yang membuat lo dibilang begitu mulu? Ada legenda masa lalu, kah?”

“Ya... Ada...”

“Apa? Kenapa?”

Dhimas menghela napas pelan. Tubuhnya kini bersandar pada kursi. Kedua tangannya memainkan bola tisu yang tadi Adel lemparkan ke wajahnya. “Dulu, tuh, pas gue kelas sepuluh. Gue suka sama orang, Del, ceritanya. Ada, lah, namanya. Terus yaa, gue memulai pergerakan. Nah, dia, nih, terlihatnya menyambut pergerakan gue gitu. Terus gue jadi makin semangat dong? Gue pikir dia juga suka sama gue. Terus makin deket, makin deket, gue dapet kabar kalo dia mau pindah sekolah. Nah, gue jadi memanfaatkan momen yang tersisa gitu, lah, Del. Terus gue nyatain perasaan gue tapi ditolak. Ya, gue nggak marah, itu biasa, lah. Tapi yang bikin gue kesel banget, sakit hati banget, tuh, dia ternyata udah punya pacar, Del. Dia selama ini bukan menyambut pergerakan gue tapi cuma manfaatin gue doang, itu juga dia pindah sekolah karena nyusul pacarnya. Gue bener-bener merasa kayak orang bego. Gitu, deh. Sampe sekarang gue males ngurusin gituan. Awalnya, sih, nggak pa-pa. Tapi lama-lama suntuk juga, ye. Apalagi temen-temen gue sekarang semuanya punya pacar gitu.”

“Paham. Gue juga suka ngerasa gitu. Temen gue cuma dua, Haris sama Cipon. Dua-duanya sekarang punya pacar, kadang gue juga kesepian, sih.”

“Lo kenapa nggak pacaran? Boong banget, lah, kalo nggak ada yang suka sama lo.”

Kini giliran Adel yang menghela napasnya. “I don't trust men. I hate them, kecuali Haris.”

“Kenapa? Lo juga nggak suka gue, dong?”

“Sebentar, gue cerita dulu. Baru gue jawab pertanyaan lo,” ucap Adel. Butuh sedikit waktu untuk Adel menyiapkan diri mengungkit lukanya. “It all started with my father. Papa sama Mama cerai. Beda sama alasan pisah orang tuanya Haris yang emang dari internal, papa gue pisah sama mama karena dia nemu orang lain. Papa—selingkuh sama sahabatnya mama dari jaman kuliah. Mereka kenalannya di rumah gue btw, kocak banget, kan? Sahabatnya Mama ini emang udah lama sendiri, anaknya seumuran kita, perempuan juga. Gue suka main sama dia dulu, tapi emang nyebelin, sih. Apa yang gue pegang pasti direbut, tapi gue nggak nyangka dia juga rebut papa gue.”

I'm sorry to hear that, nggak usah diterusin kalo lo nggak mah cerita, Del.”

Adelia menggeleng, ia masih kuat. “Terus gue jadi tumbuh dengan penuh kebingungan, kekosongan, tapi untung ada Haris. Nah, terus gue SMP, nih. Cakep banget gue pas SMP, lu pasti naksir, soalnya gue aja naksir. Gue deket sama cowok, Dhim, namanya Julian. Dia baik banget, bener-bener green flag pada masanya. Pokoknya dia berhasil bikin gue percaya kalo di dunia ini masih ada cowok baik-baik ceunah. Tapi kayaknya emang dunia ini nggak suka aja sama gue, tiba-tiba Julian kenal sama—itu, anaknya temen mama. Dan ternyata mereka emang udah pacaran lama, beda sekolah makanya nggak ketauan. Julian deketin gue kalo lagi berantem sama ceweknya aja. Sampe sekarang gue jadi memilih untuk jauh-jauh dari cowok. Gue jadi anti banget sama cowok.”

Dhimas masih diam dan menyimak. Sementara Adel melanjutkan bicaranya. “But it's different with you. Alarm gue, benteng gue, pager gue, semua yang membatasi diri gue dari apa yang seharusnya gue jauhi itu—ilang mendadak. They were never there. Gue juga nggak tau kenapa, i'm happy having you around.

“Gue nggak sebaik itu, Del,” sanggah Dhimas. “Pasang aja alarm lo, pager lo, benteng lo. Buat jaga-jaga. Takut gue jadi bagian yang ikut bikin lo makin sakit lagi.”

We'll see.”

Dhimas mengangguk pelan. “Jadi, lo nggak akan pernah mau pacaran, kah?” tanyanya.

Gadis di hadapannya itu mengerucutkan bibirnya. “Actually—i wanna be someone's pretty girlfriend too,” sahut Adel. Dan Dhimas tahu, gadis itu mengucapkannya dengan penuh harap.

Masih bersisa senyum kecil di ujung bibir Dhimas setelah ia membaca pesan terakhir Adelia. Pemuda itu bahkan tak tahu apa yang diwakili seulas senyumnya barusan. Kepuasannya karena berhasil menjahili Adel, atau justru perasaan yang kini terus menggelitik perutnya. Dhimas terkekeh setelahnya, menertawakan dirinya sendiri. Mungkin benar kata Ita, apa yang sedang berusaha ia hindari itu sama sekali tak bisa ditampik keberadaannya.

Mendadak wajahnya murung. Banyak elemen tanda tanya merasuki otaknya sekarang. Ucapan Aghni yang ia terima lewat ponselnya itu membuat Dhimas berpikir lebih keras.

Yang biasanya ahli dalam beginian kan elu, kenapa skrg lu malah kayak clueless gini?

Benar juga. Harusnya Dhimas tidak berbangga ketika teman-temannya menyematkan predikat dokter cinta—atau bahkan ahlinya dalam masalah percintaan, sebab nyatanya, ia pun sama bodohnya. Bahkan mungkin lebih bodoh dibanding yang lain.

Helaan napas menguar dari satu-satunya insan di ruangan. Matanya terpaku pada layar ponsel yang kini hitam sebab terkunci otomatis. Asik melamun, dunia pun jahil membawakannya seorang Haris yang datang menggebrak pintu sekaligus kesadaran Dhimas.

BRAK!

“Woi, ketumpek! Tanda tangan lagi, dong! Yang kemaren direvisi lagi. Gue sebel banget, anjing! Om lu, tuh!” umpat Haris. Pria jangkung itu dengan tergesa meraih kursi kosong di sebelah Dhimas, tak lupa melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Emosi jiwa raganya, pening kepalanya sehabis berdiskusi dengan kesiswaan perihal proker melantik anggota OSIS/MPK yang baru. Mengernyit adalah respons pertama lawan bicaranya, “Siapa om gue?”

“Indra.”

“AMIT-AMIT!” sahut Dhimas spontan, memantik kekehan ringan milik Haris. “kenapa lagi emangnya yang kemarin?”

“Suruh ganti tema, coba! Orang gila emang, tuh. Untung Pak Asep sekarang bae sama kita, Pak Asep yang bilang nggak usah ganti tema. Suruh kembangin lagi aja penjabaran tema yang kemarin, lagian mana cukup, sih, waktunya kalo harus ngulang lagi dari awal anjir!”

Freak, anjir, si Indra. Ada dendam apa ya itu orang sama kita?” balas Dhimas, “lagian lu aneh juga, sih, Ris! Ngapain ngajuin proposal pas ada dia?”

“Jeeh, tadinya gue cuma mau diskusi sama Pak Asep. Nanyain udah bener apa belom sekalian minta tanda tangan, biar besok pagi udah bisa langsung ke Bapak. Tapi tiba-tiba Pak Indra dateng terus ikut-ikutan. Sebel banget gue jadinya,” kesal Haris lagi. “Itu barusan gue kerjain lagi langsung pake komputer kesiswaan, untung aja file-nya ada di HP gue. Gue kirim e-mail terus langsung gue edit, gue print.

“Buru-buru banget apa?” tanya Dhimas seraya matanya fokus memindai setiap baris huruf yang tercetak di proposal. Di sebelahnya Haris mengangguk, “Iye. Mau nggak mau ngajuin ke Bapak harus besok, soalnya abis itu Bapak nggak ke sekolah sampe hari Kamis. Takut molor lagi, makanya disuruh selesain sekarang sama Pak Asep.”

Dhimas mengangguk paham. “Ya udah. Ini udah bener, kan, kata Pak Asep?” tanyanya yang disambut anggukan oleh Haris. “Gue tanda tangan, nih. Bae-bae jangan sampe ilang, mahal, nih! Besok-besok gue jadi artis lu akan gue kenain tarif satu tanda tangan maratusrebu

“Makin liar aja imajinasi lu gue liat-liat,” canda Haris. Dhimas terkikik seraya menandatangani berkas di hadapannya. Otomatis Haris menampar bahu sahabatnya itu pelan, “Jangan ketawa mulu, anjir, muncrat ituu! Jorok lu!”

“Mane—ngarang, lu!”

Selesai membubuhkan tanda tangannya, Dhimas menyerahkan kembali proposal ke tangan Haris. Bersamaan dengan itu, ponsel Dhimas yang tergeletak di meja itu bergetar. Layarnya kembali menyala, menampilkan notifikasi dari sebuah nama yang lantas membuat Haris menatapnya tajam.

Delia Dhimmmmm Ini koma berapaaa kurang keliatan heuheuehe

Takut-takut, Dhimas menatap Haris yang menatapnya intens. “Sejak kapan lo chat-an sama Adel? Rutin lo ngobrol sama dia?”

“Tuker-tukeran soal doang—eh, maksudnya gue bantuin dia ngerjain soal MTK. Terus di les-an gue jelasin, gitu.”

Haris tak menanggapi, pria dengan wajah dingin itu masih enggan menerima alasan Dhimas begitu saja. Sepersekian detik Haris memalingkan wajahnya, kemudian kembali menatap Dhimas seiring otaknya mengingat sesuatu. “Gue mau nanya, deh,” ucap Haris. Membuat Dhimas otomatis meneguk ludahnya sendiri.

“Lo suka sama Adel?” tembak Haris, “apa enggak?”

Tak ada respons langsung dari Dhimas. Pemuda itu hanya diam dan mati-matian menghindari tatapan Haris. Dhimas bahkan berkali-kali mengubah posisi duduknya, persis seperti orang yang sedang gelisah. Melihat gelagat itu, Haris otomatis tersenyum miring. “Gue ganti, deh, pertanyaannya. Lo suka, ya, sama Adel?”

“Nggak.”

Haris tertawa meremehkan, “Kalo lo beneran nggak suka, lo nggak akan gelisah milih jawaban untuk pertanyaan gue yang pertama.”

Shit. Haris dengan mulut tajamnya itu akan selalu ampuh memecut kesadaran siapapun yang mendengarnya. “Apa, sih, yang bikin bingung?”.

”.... Banyak.”

Sontak Haris mengangguk. Sejahat apapun mulutnya, Haris masih punya hati nurani. Si antagonis ulung itu pun menangkap sorot mata Dhimas yang berubah sendu. “Emang lo pikir ini masuk akal, Ris?” tanya Dhimas tiba-tiba. “Gue aja nggak paham. Kayak—maksud gue, gue aja baru banget kenal dia? Apa ya, Ris—” ucapannya terhenti sesaat ketika empunya membasahi bibir, pula memilah kata dan resah yang ingin ia utarakan, “nggak tau. Bener-bener nggak masuk pikiran gue. Gue juga jadi takut salah langkah, lagi.”

“Paham,” ujar Haris. “Gue cuma mau bilang—jangan deketin Adel kalo lo sendiri masih unsure sama perasaan lo. Karena... Pasti ujungnya juga nggak akan bagus buat lo berdua, ini gue ngomong sebagai temen lo, juga temen Adel.”

Dhimas terdiam menyimak setiap tutur Haris. “Kalo soal nggak masuk akal—ya, emang lo pikir, gue suka sama Gia itu sebelumnya pernah terpikirkan di otak gue, kah? Sampe sekarang aja kadang gue masih suka amazed kalo pacar gue, tuh, orang kayak Gia,” lanjut Haris, “nggak semuanya perlu masuk akal, ege, Dhim. Tapi lu jadi cowok, tuh, kalo mau ya mau. Kalo enggak, ya enggak! Jangan maenin temen gue lu ya! Gue bom rumah lo ntar!”

“Apaan, sih? Galak lu!”

“Ya, iya, lah! Orang klemar-klemer kayak lu itu emang pantes digalakin!” ucap Haris. Setelahnya ia bangkit seraya merebut kembali proposal yang tergeletak di meja. “Udah, ah! Gue mau ke Pak Asep lagi. Jangan kebanyakan bengong, apalagi mikirin temen gue. Kesambet lu!”

“Paan, sih.”

Haris menampilkan senyum jahil, “Halah, suka kan lu sama Adel?”

“Paan, sih?” elak Dhimas. Sedetik kemudian ia kembali memanggil Haris, membuat temannya itu mengurungkan niatnya meraih kenop pintu.

“Ris,” panggilnya. . . . . . . . “Kalo iya, gimana?”