What The Fuck's Love?

Minggu pagi, belum mandi, muka bantal, cepol berantakan, dan menonton konten Forky si garpu plastik dari film Toy Story bersama Haura. Setelah diiming-imingi ayam geprek, Adelia bergegas menuju rumah sang tetangga. Dan begitulah kondisinya sekarang. Raganya mungkin bersama Haura, namun pikirannya melayang sejak pertama kali membaca judul film pendek yang sedang terputar di layar televisi milik keluarga Haris. What Is Love?

Adel juga bingung, kenapa pertanyaan seperti ini dijadikan konten film anak-anak? Bahkan dirinya yang lebih dewasa pun tidak tahu jawabannya. But seriously, what the fuck's love? batin Adel.

Film dimulai dengan karakter garpu plastik itu memperkenalkan diri, kemudian bilang bahwa ia memiliki pertanyaan. Apa itu cinta? Karakter mainan berbentuk gajah yang pertama menjawab, ia bilang bahwa dirinya paling ahli soal cinta.

'How do you know you're in love?'

'No idea.'

Sudut bibir Adel berkedut, rupanya sang paling ahli pun tidak akan sadar ketika dirinya jatuh cinta. Well, rasanya memang tidak akan ada orang yang menyadari setangkai bunga mulai mekar sampai seluruh mahkotanya benar-benar terbuka.

Karakter kursi plastik kemudian membuka suara.

'Love is a flittery-fluttery feelings.'

Ah, Adel setuju untuk kali ini. Ia mengingat ketika pertama kali kedua matanya menangkap sosok Dhimas di depan pagar rumah Haris yang tertutup rapat. Sedang minum es teh dengan satu kaki terangkat di atas jok motor. She fell at the first sight—literally.

Terakhir, karakter mainan lain yang ada di film pun menambahkan bumbu pada definisi cinta.

'And something goes—BOOM!'

Ledakan. Adelia terdiam, itu bisa menjadi definisi yang ambigu. Akankah terjadi sebuah ledakan kemeriahan sebagaimana kembang api dan confetti pesta, atau justru sebuah ledakan kehancuran layaknya bom atom yang dijatuhkan di sebuah kota kecil?

Kemudian Forky bilang bahwa cinta itu membosankan, dan ia berharap agar ia tak pernah merasakannya. Benar, kah? Rasanya Adel ragu untuk setuju. Sebab sudah sehancur ini, pun, Adel masih mendambakannya sejak lama. Should she let it happen to her?

Film berakhir dengan kekacauan yang terjadi. Chaos. Is love gonna cause a chaos? Or is it a chaos?

“Kak, ganti,” ucap Haura, membangunkan Adelia dari lamunannya. Adel tersontak, beruntung mulutnya tidak mengeluarkan umpatan. Setelahnya kemudian ia membantu Haura memilih film lain untuk ditonton. Beruntung kali ini gadis kecil itu memilih film dengan durasi panjang, sebuah film tentang putri berambut panjang keemasan. Maka Adel menyimpulkan ia punya waktu melamun lebih lama.

Gadis remaja itu kembali lagi pada pikirannya yang ia lambungkan jauh-jauh. Apa itu cinta? Sebab sejak tadi Adel hanya menemukan definisi abstrak. Tidak akan pernah ada jawaban mutlak untuk pertanyaan itu. But love is a flittery-fluttery feelings and then something goes—BOOM!

Question is, which 'boom' will gonna happen? Will it destroy her someday?

Ah, Adel menepis pikiran buruknya. Sudah beberapa hari setelah Dhimas menyatakan perasaannya. Adel belum berkesempatan untuk bertemu dengan pemuda itu lagi karena les sedang libur. Dhimas pun tidak terlihat memiliki urusan untuk pergi ke rumah Haris. Dan tiba-tiba gadis itu merindukannya.

Mendadak perkataan Ivonne merasuki pikiran Adel.

Mungkin kali ini gilirannya. Mungkin kali ini gilirannya. Mungkin kali ini gilirannya.

Mungkin kali ini akan berhasil. Mungkin kali ini tak akan berakhir menyedihkan. Sakit, pasti. Tetapi mungkin kali ini tak akan sama seperti yang sudah sudah.

Adelia merapatkan bibir, membulatkan tekadnya dalam hati. Ia harus memperjuangkan yang satu ini. Toh, dirinya sendiri yang bilang pada Haris—they shouldn't give up on love. Maka ia pun tidak akan menyerah, meskipun ia mungkin masih harus mencari tahu apa itu cinta dan bagaimana cara menguasainya.

By the speed of light, sepenggal lirik lagu dalam ingatannya menambahkan bumbu pada definisi abstrak tentang cinta yang sebelumnya ia temukan.

All i know is love—when push comes to shove, i'll be the one around.

I wanna have him around, ucapnya dalam hati.

Entah sudah berapa lama gadis itu melamun. Pikirannya terasa lelah sampai-sampai ia membutuhkan peregangan. Di sofa empuk milik keluarga Haris, Adel meregangkan kedua tangannya ke atas, masa bodo jika ada bagian ketiaknya yang bolong. Toh, tidak ada siapapun di rumah selain dirinya dan Haura. Ia hanya ingin menguap sebesar-besarnya dan membiarkan segala ketakutan dan pikiran buruknya tentang cinta itu turut menguap ke luar angkasa.

“Assalamualaikum,” ucap seseorang tiba-tiba dari pintu.

“Wa'alaikumussalam,” balas Adel santai, masih mengulat dengan kedua tangannya di udara. Ia sudah hapal suara itu, suara bariton Haris.

“Assalamualaikum—loh, ada Deli?”

Suara itu, panggilan itu, sontak membuat Adel membulatkan matanya. Tubuhnya menegang. Pelan-pelan kepalanya menoleh dan menemukan sosok Dhimas yang selalu terlihat menawan di matanya. Belum lagi cahaya matahari yang masuk lewat pintu yang terbuka itu menambah kesan dramatis, seakan wajah Dhimas bersinar begitu terangnya.

Dhimas memang selalu ramah. Pemuda itu tersenyum sangat manis ketika menemui Adel. Ah, ini pertama kali keduanya bertemu setelah mengetahui perasaan masing-masing. Adelia merasakan dadanya menghangat. Gadis itu turut tersenyum simpul, love really is a flittery-fluttery feelings.

Di sebelah Dhimas, Haris terkekeh pelan. “Turunin itu tangan lu, nggak malu apa ketek lo bolong begitu?”

And something does go—boom!