The First One To Tackle
Adelia's POV
Jujur, hari ini akan masuk ke dalam daftar bad days gue. Waktu bimbel yang seharusnya jadi masa ketika gue sama Dhimas punya momen, malah jadi runyam. Sayangnya, gue juga nggak bisa nyalahin siapa-siapa. Mungkin Dhimas emang lagi ada masalah di sekolahnya, dan jadi kebawa bad mood sampe sekarang.
By the way, karena Dhimas nggak ngomong sama gue, gue jadi merhatiin sekitar. Katanya mau ada anak baru lagi, cewek. Semua anak cowok otomatis excited, kecuali Dhimas. Anaknya diem aja, sibuk main HP. Nggak peduli mau ada anak baru, kek, presiden, atau siapapun yang dateng hari ini.
Karena bosen, akhirnya gue coba ajak ngobrol Dhimas lagi. “Dhim, nanti lo langsung pulang?”
Nggak ada jawaban. Jadi gue coba panggil sekali lagi. “Dhimas.”
“Hm.”
“Dhim,” panggil gue sekali lagi. Bodo amat, pokoknya harus nengok. Bener aja, dia nengok. Tapi mendadak gue deg-degan karena... I've never seen his face being this serious, i mean his jaws are clenching. Not to mention his eyebrows telling me 'you better have something important to tell me, otherwise i'd punch you in the face.'
“Apa?” katanya datar.
“Nanti pulangnya boleh bareng nggak?”
Dhimas otomatis memalingkan wajah dan buang napas kasar. Ih, dia sebel sama gue, kah?
“Liat nanti.”
Kayaknya bener, dia sebel sama gue. Kenapa, ya?
Belom sempet gue mikirin dosa yang mungkin gue perbuat itu, tiba-tiba Kak Rizqa masuk kelas dengan seseorang yang mengikutinya. De javu, huh? Feels like the very first time i met him—again. Tapi kali ini lain, ada seorang perempuan yang ngikutin Kak Rizqa. Seperti biasa, Kak Rizqa nyuruh kenalan dan yada-yada-yada, yang gue tangkep cuma namanya Nazma. Dan dia dari SMA yang sama dengan—Julian.
Nazma udah dipersilakan duduk sama Kak Rizqa and what on earth— kenapa bangku kosong hari ini cuma ada di depan Dhimas? Mau nggak mau Nazma ngobrol sama Dhimas.
“Ini kosong?”
Gue mendapati Dhimas mendongak sebelum akhirnya mengangguk. Wajahnya udah nggak segarang tadi, malah sekarang otomatis jadi ramah banget kayak waktu dia pertama kali duduk di sebelah gue. Gosh, i don't like it—the situation between them. Entah kenapa rasanya gue mau nge-claim prosesi perkenalan itu hanya buat gue sama Dhimas. Being possessive all of sudden, huh, Adelia?
“Kosong, kok. Duduk aja.” DHIMAS WIJAYA I SWEAR TO GOD ITU TERLALU RAMAH. AND WHO TOLD YOU TO SMILE? Ngapain juga segala narik kaki gitu!? Kalo mau selonjoran, ya selonjoran aja! Emangnya dia tuan putri apa!?
“Makasih ya—”
“Dhimas,” katanya sambil senyum.
Dhim, tolong, lah. Jangan biarin ada orang lain lagi yang kepincut sama muka lo. Please, gue aja.
“Nazma,” kata Nazma. And—for god's sake— mereka berjabat tangan. Bisa nggak, nggak usah lama-lama gitu?
“Dari SMA mana, Dhim?”
I don't wanna hear it any longer. Males. Bete. Sebel. Kesel. Marah. Tau gitu mendingan gue nggak usah les aja. Bodo amat nggak ketemu Dhimas juga, yang penting nggak liat dia sama Nazma kayak gini.
Seriously, insecurity hit me like a train. I mean look at her—LOOK AT HER! Rambutnya panjang bergelombang, dikuncir dengan rapi. Unlike me, kunciran asal-asalan dengan anak rambut yang—mungkin udah punya cucu. Mukanya masih bening banget meskipun udah jam segini, nggak kayak muka gue yang udah kayak ampas tahu. Nazma cantik, kalem, dan mukanya adalah muka-muka orang pinter. Pipinya tembam but not too much, hampir sama kayak pipi mochi Dhimas—ah, i hate that fact. Idungnya mancung dan bagus.
Sorry banget kalau gue terlalu merhatiin Nazma secara detail, tapi gue merasa perlu. I mean, girls, have you ever gotten some kind of feelings—guts, that a girl likes your crush or boyfriend? Because i'm getting that kind of guts on Nazma. Kayaknya dia suka sama Dhimas, atau paling tidak, pasti udah ada ketertarikan sama Dhimas.
Gimana enggak? Dhimas tadi maju ke depan kelas untuk nulis cara buat nomor 15 Matematika. Dan Nazma yang tadinya duduk tegak mendadak menopang dagu dengan tubuhnya yang dimajukan? Dan setelah Dhimas balik lagi ke tempat duduknya, which is di belakang dia, Nazma senyum-senyum dan ngasih Dhimas tepuk tangan kecil karena jawabannya benar. Dhim, gue bisa ngasih komando orang satu tribun buat ngasih lo tepuk tangan, Dhim.
Gue liat juga Nazma dari tadi cari-cari cara untuk ngobrol sama Dhimas. Itu badannya bener-bener udah kayak gangsing, MUUUUUTERRRRRR AJAH.
“Dhim, nomor 23 A, ya?” “Dhim, lo udah nomor berapa?” “Dhimas ngitungnya cepet banget, dulu pernah sempoa, ya?” “Dhim, tau cara nomor 30 nggak? Ini gimana ya? Gue udah sampe sini tapi bingung.”
STOP RIGHT THERE, YOU LITTLE WITCH! Jangan bikin cowok gue ngajar-ngajarin lo gitu, dong! Curang banget! Udah pinter juga, nyebelin banget. Gue nggak boleh kalah, gue nggak boleh membiarkan ini terjadiiii!!
“Dhim, ajarin gue, dong!”
Yes, akhirnya Dhimas noleh ke gue. Perhatiannya ke gue semua sekarang. “Kenapa? Yang mana yang nggak bisa?”
“Gue baru nyatet sampe nomor 15. Sambil coba gue baca gitu, tapi nggak ngerti,” ucap gue.
Dhimas berdecak, nggak kayak biasanya. “Kan gue bilang, catet dulu aja semuanya, Del. Pahaminnya nanti aja. Kalo lo sambil pahamin gitu nanti catetannya keburu ilang di papan tulis. Udah catet dulu, nanti gue jelasin semuanya kapan-kapan.”
Terus abis itu dia balik lagi munggungin gue. Asik banget ngulik soal sama Nazma. They have the same passion, i guess. Math, which i could never master.
Dulu, waktu kecil Haris bilang ke gue untuk belajar yang bener. He was right, harusnya gue dengerin Haris dari dulu. For maybe i could've been a better daughter to Papa, someone he could be proud of.
For maybe i could've been a better friend to Dhimas, someone who wouldn't burden him with long explanations of how to solve math.
Hari ini akan benar-benar masuk daftar hari buruk gue. Waktu les masih dua jam lagi, and i already wish i could turn into someone else. Someone smarter.
Maybe i could win over the pretty girls, but the smarter ones? I'd rather surrender.
Have fun, Mochiman.