The Heart He'll Always Choose

Haris sudah mengantarkan Gia sampai rumah. Namun ia tidak langsung pulang, keduanya kini duduk bersebelahan di sofa empuk ruang tamu Gia. Tak ada yang bicara. Gia cemberut, dan Haris gelisah sendiri. Memikirkan cara untuk menjelaskan semuanya, juga meminta maaf.

“Anggi...”

Tak ada jawaban.

“Kalila?”

Masih tak ada jawaban.

“Maheswari?”

Dan Gia masih bungkam.

“Lily?” panggil Haris ragu. Gia akhirnya melirik Haris singkat. Ah, setidaknya ada respons dari ucapannya. Haris mendekatkan tubuhnya ke arah Gia. Pemuda itu menelisik wajah Gia yang ditekuk sejak tadi. Haris menangkap jelas, ada amarah yang terbungkus oleh kesedihan.

“Gi,” panggilnya. “Anggia, boleh aku ngomong dulu? Atau kamu mau ngomong duluan?”

Gia menghela napas kasar. Mendadak air matanya menggenang di pelupuk mata. “Dia mantan kamu?” tanya Gia seraya menatap Haris.

“Bukan,” jawab Haris tegas. Setelahnya ia membuang napas panjang. “Gini, Vanessa dari dulu emang suka sama aku. Dari aku kelas tujuh, sampe aku lulus, dia suka sama aku. Tapi aku nggak pernah suka sama dia, Gi. Aku udah tolak dia berkali-kali, sampe aku dikatain gila sama tiga angkatan—”

“Kamu dikatain gila waktu SMP karena itu, Kak?” potong Gia.

“Kamu tau?”

“Dari Kak Ojan.”

“Wah, bangs—wah,” kesal Haris. Dipastikan esok hari ia akan mencelakakan Ojan hingga temannya itu tidak berdaya lagi mengumbar aibnya. Kemudian ia melanjutkan ucapannya. “Aku udah tolak dia, dan dia pacaran sama alumniku. Kupikir udah selesai, ternyata belum. Dia masih suka aku. Dia nyatain lagi perasaannya ke aku pas kita kelas 9. Aku tolak lagi, karena waktu itu aku belum siap untuk mulai apapun sama orang lain, apalagi perempuan. Aku punya banyak banget yang harus kutata ulang waktu itu, dan 'punya pacar' sama sekali nggak ada di dalam list aku.”

“Aku ke prom sama dia, ya, itu bener,” jelas Haris, memantik tatapan tidak suka dari Gia. “Waktu itu, setelah Nessa nyatain lagi perasaannya, aku bilang supaya dia berhenti. Aku minta dia tinggalin aku as soon as dia keluar dari gedung SMP itu. Aku minta dia lanjutin hidupnya tanpa bayang-bayang aku. Dia bilang iya, tapi dia minta tolong aku untuk jadi temennya ke prom sebagai perpisahan yang proper aja. Aku juga nggak bilang akan lanjut ke mana, makanya dia nggak pernah cari tau lagi tentang aku. Sayangnya, aku sama dia ketemu pas acara cup sekolah kita. Itu di luar kuasaku, Gi.”

Gia masih diam. Dan Haris mulai putus asa. Lagi-lagi embusan napas menguar dari Haris. Namun, ia belum menyerah menjelaskan semuanya. “Aku minta maaf, Anggi. Aku nggak bermaksud nutupin semuanya dari kamu. Waktu kamu bilang Nessa muncul di IG kamu, aku bingung. Waktu dia chat aku, aku makin bingung. Haruskah aku bilang sama kamu? Apa nggak usah? Bilang atau nggak bilang, aku takut kamu mikir macem-macem. Tapi aku tau aku lebih salah karena terkesan nyembunyiin ini dari kamu. The blame is on me.”

Gia memandangi Haris dengan seksama. Keduanya kini berhadapan, dan Gia enelisik setiap sudut wajah cintanya. Kak Haris-nya. Matanya penuh khawatir, pelipisnya penuh keringat jagung, dan bahunya tegap seakan berada dalam posisi siap. Pemuda itu jelas siap mengantisipasi segala bentuk amarah maupun kesedihan yang akan dilemparkan Gia padanya.

Namun Gia terkekeh. “Kak Haris, you do realize that was the longest sentence you've ever said to me, don't you?

I'll write down pages of essay if you want me to.

Hening sementara. Gia tersenyum sebelum akhirnya memutus kontak mata dengan Haris. Gadis itu menunduk dan memilih memainkan jari, ciri khas Gia ketika merasa gugup. “Ada yang suka sama kamu secantik itu, sekeren itu, seterkenal itu. Kenapa aku?”

Haris meraih sebelah tangan Gia, menghentikannya sebelum kuku-kukunya melukai kulit jarinya sendiri. “Simply because i don't need that,” jawab Haris enteng. “Tiga tahun aku liat Vanessa, aku berusaha temenan sama dia. I just knew bukan dia yang aku cari.”

“Tapi yang ini beda,” ucap Haris, membuat Gia mendongak lagi. “Yang ini, nih,” tunjuknya pada wajah Gia, “yang suka terlambat, yang suka cemberut kalo beli bakso nggak ada bihunnya, yang suka nangis kalo nonton Bluey, yang suka merem kalo ketawa, yang suka takut dimarahin Mama kalo kesiangan tapi tidurnya malem terus—”

“Kakak, ih!”

“Tuh, yang suka mukul kalo aku ledekin,” canda Haris. “Anggia Kalila Maheswari yang ini, beda. Aku bahkan menolak dengan keras waktu awal-awal aku suka kamu. But then i just knew, emang kamu orangnya. I wish i could tell you more about what's hidden inside my mind, Anggi. I do wish i could tell you.

Gia tak berdaya. Gadis itu tak bisa mengeluarkan respons apa-apa selain air mata yang menerobos pertahanannya. “Kakaak...”

“Apa?”

Thank you.

Haris menggeleng pelan. Jemarinya tergerak menghapus jejak air mata Gia yang menerobos membasahi pipi marshmellow-nya. Sekon berikutnya ia menepuk-nepuk kepala gadisnya pelan. “Aku nggak bisa kasih jaminan apa-apa. Tapi aku bisa bilang kalo buat aku, Vanessa nggak ada apa-apa dibanding kamu.”

“Mau ada berapapun Vanessa di dunia ini, aku akan tetep tungguin Anggia Kalila Maheswari di depan gerbang jam 6.15 pagi,” lanjut Haris. “I will always choose you.”

Gia terpaku cukup lama. Detik berikutnya senyumnya mengembang penuh. Pipinya berubah kemerahan, dan matanya berubah penuh binar. Cantik. Persetan jika satu dunia memuji Vanessa. Bagi Haris, Gia tetap pemenangnya.

“Udah, tidur sana. Anak bocah tidurnya, tuh, jam delapan.”

“Apaan, sih!?”

Haris terkekeh gemas. “Aku boleh pulang nggak, nih?”

“Dih, dari tadi juga kan disuruh pulang sama Papa!” balas Gia. “Mana bisa pulang kalo adek kelasku cemberut gitu.”

“DIH, KOK JADI ADEK KELASS?”

“Emang apa?”

“Ih?” balas Gia tersinggung. Namun Haris semakin gemar menjahilinya. “Apa? Coba bilang.”

“PAPAAA, KAK HARIS MAU PAMIT!”