raranotruru

Haris tahu ketika ia pulang, kondisinya tak akan lebih baik dari ospek dan pemalakan dadakan dari teman-temannya di sekolah. Dan benar saja, pulang-pulang ia sudah dihadang di depan pintu. Dengan Adelia dan Hanum yang sudah bersandar pada dinding dengan pose selayaknya duo mata-mata yang siap menginterogasinya.

“Ngapain?” tanya Haris. Adel tak menanggapi, gadis itu memilih untuk melihat kuku-kukunya yang tumbuh panjang dengan bentuk cantik. Sementara Hanum melipat kedua tangannya di depan dada seraya memandangi Haris dari atas ke bawah.

“Jam segini baru pulang, ke mana dulu?” tanya Hanum galak. “Ada urusan dulu tadi di sekolah. Ini, kan, juga baru jam setengah lima. Nggak telat-telat banget Kakak pulangnya.”

Masih dengan tatapan garangnya, Hanum menyingkir dan memerintahkan Haris untuk masuk. Dan kini Adel menggiringnya ke meja makan. Menarikkan satu kursi untuk Haris dan menitahnya duduk. “Duduk!” titah Adel. Haris tak punya pilihan lain selain menurutinya, atau nyawanya melayang hari itu juga.

“Emang nggak bisa diomongin baik-baik aja, ya? Kenapa, sih, harus kayak gini, guys?” tanya Haris.

“Eh, kalo lu baru jadian kemaren, bisa diomongin baik-baik. KALO LU JADIAN TIGA BULAN YANG LALU, MENURUT LU MASIH BISA DIOMONGIN BAIK-BAIK!?” ucap Adel mencak-mencak. Haris hampir saja menyemburkan tawanya, namun mati-matian ia tahan. Mengingat dua gadis cantik di hadapannya menatapnya dengan tatapan membunuh.

“Iya, iya. Oke. Duduk dulu, duduk. Sini, gue ceritain dari awal semuanya.”

Mendengar penuturan Haris, dua gadis itu akhirnya duduk di hadapannya. Hanum adalah yang paling dominan bertanya. “Kamu kenapa nggak bilang sama aku, sih, Kak? Kak Anggi, kan, temenku! Kamu jadian sama temenku nggak bilang-bilang aku!?”

“Justru karena dia temen kamu, makanya Kakak mau bilangnya juga bingung, Num...”

“Kan ada gue, kenapa lo nggak bilang gue juga?” serobot Adel. Benar juga, mengapa Haris begitu keras merahasiakan semuanya dan menelannya sendiri mentah-mentah? Persetan. Yang lalu biarlah berlalu. Hari ini ia harus tanggung semua konsekuensinya.

“Gini, gue jadian sama Gia, tuh, nggak segampang yang lo kira. Meskipun sama-sama suka, tapi gue sama Gia harus ngelewatin banyak hal dulu sampe akhirnya bisa kayak sekarang,” jelas Haris. “Bahkan sebelum gue bisa nyatain perasaan gue ke Gia, banyak banget masalahnya. Waktu gue nonjokin orang sampe diskors, itu juga ada sangkut pautnya sama Gia. Setelah gue nonjokin Gio, Gia datengin gue dan somehow gue dengan emosi gue yang masih berapi-api itu jadi ngusir Gia—dari hidup gue. Abis itu kita jauh-jauhan dan baru baikan setelah LDKS, itu lama banget, jujur. Abis LDKS, belom lama deket lagi, gue keceplosan bilang kalo gue suka sama Gia. Gianya kabur, dia ngejauhin gue. Asal liat gue dia kabur, takut banget gitu mukanya. Terus gue coba deketin, seminggu Gia bener-bener gue pepet. Masih juga dia ninggalin gue gitu aja, akhirnya gue memutuskan buat nyerah. Sampe akhirnya lo ngomong sama gue, Del, waktu malem-malem itu.”

Haris menjeda bicaranya sejenak, ia juga perlu napas dan memupuk kekuatan untuk menceritakan situasi yang harus ia tempuh untuk pada akhirnya berhasil mendeklarasikan Anggia Kalila Maheswari sebagai kekasihnya. “Akhirnya gue memutuskan buat nunggu Gia. Long story short, Gia sendiri yang chat gue dan bilang kalo dia mau ngomong sesuatu. Ya udah, gue ajak dia ngomong pas ambil rapot bayangan biar nggak ketauan-ketauan amat. Dia minta kejelasan, apakah pernyataan tentang perasaan gue waktu itu bener atau enggak. Gue jelasin semuanya, terus dia bilang kalo dia suka juga. Ya udah, gue tembak. Udah kelamaan banget ketundanya, gue geregetan. Terus jadian, tapi Gia bilang untuk nggak bilang temen-temen gue dulu. Karena ya, lo tau sendiri temen-temen gue ramenya kayak apa. Akhirnya ya udah, gue putusin buat backstreet aja dulu dari semuanya. Sampe Gia bilang dia siap buat reveal semuanya. And here we are.

Pandangan Haris kini beralih pada Hanum. Sepenuhnya ia pusatkan tatapannya pada sang adik. “Kakak minta maaf ya, Num, nggak cerita apa-apa. Bukannya nggak mau, tapi Kakak juga jadi banyak pertimbangan. Kakak tau kamu seneng banget sama yang namanya Anggia, kamu nggak bisa berhenti ngomongin dia sejak pertama kali kamu kenal dia. Jadi waktu Kakak sadar kalo Kakak suka sama dia, Kakak takut mau ceritanya. Apalagi situasinya juga banyak banget buruknya, Kakak nggak mau image dia di mata kamu jadi berubah. Kakak juga nggak mau kamu jadi nyalahin dia, emang situasinya aja. I was planning to tell you everything kalau situasinya udah lebih gampang buat kita semua. Kayaknya sekarang emang udah waktunya.”

Hanum mengerucutkan bibirnya. Tetap tidak terima karena merasa tertinggal banyak hal. Harusnya ia bisa membantu proses PDKT dua kakaknya ini, kan? Tetapi akhirnya ia memilih untuk tidak mempermasalahkan semuanya. Toh, Kak Haris-nya pun sudah menjelaskan semuanya.

“Kenapa Kak Anggi?” tanya Hanum. “After all of those girls, yang kamu tolak, yang nggak kamu anggep keberadaannya, kenapa Kak Anggi yang akhirnya bisa bikin kamu kayak gini?”

Haris menggendikkan bahu. “Nggak tau. Gia, tuh, refreshing aja. Suka sama dia, tuh, gampang banget. I can see why you adore her so much.

“Tau lo, Ris. Kenapa Anggia, sih?” tanya Adel lagi.

“Lah, kan itu barusan gue jawab?” balas Haris, “lu nyimak nggak, sih, Del? Mabok lu ya?”

“Kagaak, maksud guah—apa lu nggak kasian sama Gia punya cowok kayak lu? Gue rasa, sih, dia pantas mendapatkan yang jauh lebih kiyowo daripada lu,” balas Adel lagi. Mendengar itu, Hanum memberi respons setuju dengan heboh. “Iya, kan! Itu dia maksud aku. Dari dulu aku selalu nungguin siapa cowok beruntung yang bakal dapetin orang sebaik Kak Anggi, kenapa malah orang kayak gini, sih...”

“Lu pasang susuk ya, Ris?”

“Kagak, anj—”

“Kak, nggak usah sama Kak Anggi, lah. Cari aja orang lain, Kak Anggi deserves better.”

“Ngomong apa, Num? Coba sekali lagi—”

“Ris, udah, lah. Nyerah aja,” balas Adel lagi. Haris melayangkan tatapan tersinggung, “NYERAH GIMANA ORANG GIA UDAH JADI CEWEK GUE, ENAK AJA LU!”

“Kakak ke dukun ya? Aku bilangin Mama ya?!” tuding Hanum.

“Iya, ke dukun. Mau nyantet elu berdua!” balas Haris. Emosinya memuncak sudah. Di sekolah berhadapan dengan cecunguk, di rumah berhadapan dengan—entah apa lah mereka itu. Pria itu kemudian bangkit dan memilih untuk pergi ke kamarnya. Berganti baju, bersih-bersih, dan menghubungi marshmellow kecintaannya. Anggianya.

Kesal dan lelah dengan drama buatan teman-temannya yang setara dengan opera sabun, Haris memutuskan untuk menghampiri ketiga manusia merepotkan itu. Asumsinya, mereka masih di kantin. Haris berdecak malas, harusnya ia sudah mengantar Gia pulang. Namun ia tahu, jika tidak diladeni, teman-temannya itu bisa berulah lebih parah. Bisa-bisa biaya makan satu kantin itu tiba-tiba merobek sakunya.

“Weh,” sapa Haris, membuat ketiga cecunguk itu kompak menoleh melihatnya. “Udah, sih, jangan ngambek-ngambek nggak jelas gitu. Apa banget, dah, lu!”

“Is, kalo kita sebagai lelaki udah nggak boleh merasa, gue nggak tau, sih—di dunia macam apa kita hidup,” ucap Dhimas.

Dramatis, cibir Haris diam-diam.

“Iya, kan?” timpal Ojan. “Lagian ngapain, deh, ke sini? Masih nganggep temen emangnya?”

Haris menghela napasnya. Bicara dengan dua pemain telenovela seperti Ojan dan Dhimas, tidak akan ada habisnya. Maka Haris melihat ke arah Damar yang sejak tadi diam dengan wajahnya yang—minta ditampol. Haris tahu wajah asli Damar ketika marah tidak seperti itu. Pemuda itu hanya ikut-ikut mempermainkannya.

“Dam,” panggil Haris.

“Pulang, yuk. Udah sore,” ucap Damar tiba-tiba. Dhimas dan Ojan pun mengangguk setuju. Ketiganya kemudian kompak bangkit. Namun Haris berdecak. “Eh, udah, sih. Jangan ngambek gitu.”

Pergerakan teman-temannya berhenti. Haris lagi-lagi membuang napasnya. “Iya, gue minta maaf nggak bilang-bilang. Soalnya gue takut Gia kabur lagi,” ucapnya.

Haris menghentikan ucapannya kala mendapati gerakan teman-temannya terhenti. Dhimas menghampiri Haris, memutarinya selayaknya seorang kakak-kakak OSIS yang memeriksa atribut ketika LDKS. “Angkat celananya!”

Entah kenapa Haris merasa sedikit takut. Diturutinya permintaan Dhimas, membuat Dhimas mengangguk-angguk. “Bagus, ya, kaos kakinya nggak pendek. Sepatunya juga item semua. Celananya juga nggak ngatung, nggak ketat—pernah kena gunting, kan, ya?”

“Pernah...”

Melihat sesuatu yang merah menyala menyembul dari saku celana Haris, Dhimas iseng. “Itu apaan? Keluarin, keluarin!”

Lagi-lagi Haris menurutinya. Dikeluarkannya tiga bungkus beng-beng dari saku celananya. Baru ia beli sepulang sekolah, simpanan amunisi untuk esok hari ketika menjumpai adik kelas favoritnya. Namun sayang, di hadapannya Dhimas sudah menadahkan tangannya. Meminta ketiga benda itu untuk diserahkan padanya. Dan Haris tak berani memberi perlawanan.

“Ngapain lu beli beng-beng sampe tiga biji? Sakit gigi ntar, tau rasa lu!” ujar Dhimas. “Nih, Dam, Jan. Pas, tuh, tiga. Satu-satu, yak!”

Haris memejamkan matanya, kesal sekaligus patah hati menyaksikan beng-beng yang ia siapkan untuk Anggia malah menjadi santapan para hyena. “Pelit ya dia. Punya makanan nggak pernah mau bagi-bagi, kuburan lu sempit, Ris, ntar!” ucap Ojan disela kunyahannya.

“Ya, kan—”

“Siapa suruh ngomong? Orang lagi diospek, nggak boleh ngomong tanpa izin!” ujar Damar. “Pernah ospek, nggak?” lanjutnya.

“Tau, nggak sopan, nih!” Ojan semangat mengompori. “Tapi atributnya lengkap, ya. Dasinya ada, ikat pinggang masih dipake, bajunya masih rapi, ganteng—ya, lumayan, lah. Kurangnya apa ya?”

“Kurang adab aja ini orang, pacaran nggak bilang-bilang temennya sendiri. Berbulan-bulan lagi,” ucap Damar.

“Duduk!” titah Dhimas. Sok kuasa, tapi biar, lah. Sekali-kali ia ingin merasakan power abuse terhadap Haris.

Haris duduk pada akhirnya. Di hadapannya kini duduk teman-temannya yang bersebelahan. Gayanya sudah seperti preman penguasa kantin. Satu kaki Ojan bahkan naik ke atas kursi, lengkap dengan tangan kirinya yang disampirkan di bahu Damar. Ketiganya menatap Haris tajam.

“Kenapa lu pacaran nggak bilang-bilang?”

“Gimana lu nembaknya? Kapan, dah?”

“Kok bisa Gia mau sama lu?”

“Satu-satu, dong!” ucap Haris. “Iya, gue jawab semua, gue jelasin semua.”

“Gue minta maaf karena ngumpetin semuanya dari kalian. Tapi, bukan cuma lo, kok. Adek gue juga nggak tau, mama gue juga nggak tau. Sama kayak lo semua, mereka cuma tau gue lagi suka sama Gia. Waktu itu gue bilang suka, Gia kabur gitu aja. Abis itu gue usaha banget, buat deketin dia lagi. Sampe gue ngerasa kalo Gia beneran takut sama gue, akhirnya gue memutuskan buat ngejauh aja. Gue bilang sama Gia, gue nggak minta jawaban dia, gue cuma mau bilang kalo gue suka sama dia. Habis itu gue beneran nggak interaksi sama Gia, sampe akhirnya Gia sendiri yang chat gue. Dia bilang ada yang mau diomongin,” jelas Haris. “Gue ngomong sama dia pas ambil rapot bayangan, sebelum orang tua kita semua dateng. Gue nunggu depan gerbang sama Gia.”

Ceritanya terhenti sesaat, mata Haris mendadak berbinar mengingat saat paling berkesan untuk dirinya yang sudah lama hancur. “Waktu itu Gia nanya kenapa gue bisa suka sama dia, gue jelasin semuanya. Gue suka sama Gia karena dia refreshing, habis itu gue bilang kalo suka sama dia, tuh, gampang banget. Abis itu dia bilang kalo sebenernya dia juga suka sama gue. Terus gue tembak, terus dia terima. Tapi ya, gitu, dia minta dirahasiain aja dulu,” jelas Haris. “Tindakannya ada benernya, karena as soon as gue reveal hubungan gue sama Gia, ada orang yang chat Gia nggak-nggak. Sejujurnya Gia juga takut sama lo semua, karena ngeliat balesan lo di reply section Twitter gue. Tapi udah gue jelasin, sih, lo semua emang nggak ada otaknya.”

“Maksud lu apa, jing?!” Ojan tersulut. “Bercanda,” balas Haris.

Sorry ya, gue beneran minta maaf. Tapi gue nggak pernah bermaksud buat boongin lo semua, kok,*” lanjut Haris lagi.

“Ya elaaaaaaaaaah, saaaantot*, Riss!” ucap Ojan.

Hus!” omel Damar. Sementara yang ditegur hanya nyengir kuda. “Santai total, Dam,” jelas Ojan.

“Nggak, sih, Ris. Kita, mah, nggak masalah sebenernya. Lo-nya aja drama banget,” timpal Dhimas.

Gue? Drama? Nggak ngaca ini orang.

“Iya. Kita mau iseng aja. Udah lama nggak ngerjain orang, sekali-kali lu yang jadi korban nggak masalah, kan?” tambah Damar.

Ketiganya nyengir, kecuali Haris yang kini menahan kesal. Namun pria jangkung itu hanya bisa pasrah. Sekon berikutnya, Damar, Dhimas, dan Ojan bersiap-siap untuk pulang. Ketiganya bangkit meninggalkan Haris yang masih duduk dengan bingung. Kemudian Damar menepuk-nepuk bahu Haris. “Udah, santai aja. Yang tadi bercanda doang. Kita ikut seneng kalo lo seneng. Yang bener sama Gia, gue doain langgeng.”

“Makasih, Dam.”

“Sama-sama,” serobot Ojan. “Btw, Ris, tadi kita makan mie. Tolong bayarin, ya! Pake telor semua tadi, sama gue nambah nasi,” ucap Ojan lagi. Dan setelahnya, Damar, Dhimas, dan Ojan kompak meninggalkan Haris yang masih mencerna ucapan terakhir Ojan.

“SEMPRUL LO SEMUA!”

I once heard that love is the strongest feeling on earth. Well, maybe it is indeed the strongest feeling. But what is love anyway?

I'd say love is a battlefield. No wonder why some people didn't make it till the end.

Love is a battlefield. Sometimes you have to take, but also having what's yours been taken. Sometimes you have to give, but also not having what should be given to you.

Someone said that love is about take and give. But with this man alone, i learned something new about love no one has ever told me.

Sacrifice.

“Oh, honey, but you're a home with majestic pillars & luxurious interiors.”

“The oxygen to my lungs, the ATP to my cells, the glia to my neurons.”

“You're my palm sugar latte in those times when life gave me shots of espresso.”

“You're the lamella to my hillum.”

“Honey, you're the pop quiz i never prepared but i'd blow my brain to figure you out.”

I'd never get the answer of what is love, but those words up there—are how i've been describing it.

Long story short, i couldn't be more grateful that love comes in the form of him.

I once heard that love is the strongest feeling on earth. Well, maybe it is indeed the strongest feeling. But what is love anyway?

I'd say love is a battlefield. No wonder why some people didn't make it till the end.

Love is a battlefield. Sometimes you have to take, but also having what's yours been taken. Sometimes you have to give, but also not having what should be given to you.

Someone said that love is about take and give. But with this man alone, i learned something new about love no one has ever told me.

Sacrifice.

“Oh, honey, but you're a home with majestic pillars & luxurious interiors.”

“The oxygen to my lungs, the ATP to my cells, the glia to my neurons.”

“You're my palm sugar latte in those times when life gave me shots of espresso.”

“You're the lamella to my hillum.”

“Honey, you're the pop quiz i never prepared but i'd blow my brain to figure you out.”

I'd never get the answer of what is love, but those words up there—are how i've been describing it.

Long story short, i couldn't be more grateful that love comes in a form of him.

Sepanjang perjalanan, Dhimas benar-benar ber-multitasking. Pemuda itu mengendarai motor seraya menggunakan kemampuan otaknya untuk memikirkan tempat di mana kira-kira Adelia berada. Belum lagi ia harus mengesampingkan detak jantungnya yang tidak karuan. Dhimas menggali ingatannya perihal ucapan-ucapan Adel tentang kebiasaannya. Ke mana gadis itu biasanya mampir sepulang sekolah, ke mana gadis itu biasanya membeli makanan kesukaannya, ke mana gadis itu biasanya pergi untuk sekadar jalan-jalan, dan—ke mana gadis itu biasanya melipir dari kalutnya dunia. Mendadak Dhimas teringat akan sebuah taman tak jauh dari tempat bimbel. Tempat di mana keduanya pertama kali berbincang secara akrab sambil makan cimol dan tahu. Adel bilang ke sana-lah ia 'bersembunyi'. Maka dengan segera Dhimas tancap gas menuju tempat yang ada di benaknya itu.

Sesampainya di sana, taman sangat sepi. Wajar, siapa yang mau ke taman pukul sepuluh malam? Matanya memindai setiap sudut taman. Hingga ia menangkap sosok perempuan dengan cepol asal-asalan, sedang memegang plastik berisi es teh manis dengan tatapan kosong. Dhimas menghampirinya. Dengan sengaja ia berdiri di hadapan Adelia, menghalangi cahaya lampu taman menerpa wajahnya. Adel mendongak, namun tak merespon apa-apa. Gadis itu masih sibuk menyedot es teh manis yang masih lumayan banyak.

“Kenapa nggak pulang?”

“Kenapa ke sini?”

“Lo tau nggak sekarang jam berapa?” tanya Dhimas.

“Tau, jam sepuluh. Mungkin lebih, tadi gue nanya sama tukang nasi goreng,” jawab Adel. Dhimas melirik sekilas pada tukang nasi goreng di sisi jalan lain. Hatinya sedikit lega, setidaknya Adel sudah makan.

“Kenapa diteleponin nggak diangkat? Mama lo nyariin, Haris nyariin,” ucap Dhimas. “Gue nyariin,” tambahnya.

Adel lagi-lagi mendongak. Pucat. Wajah pemuda itu sangat pucat. Kekhawatiran tercetak jelas pada setiap inci raut wajahnya. Mendadak Adel ikutan panik, “Lu kenapa, anjir!? Sakit!? Pucet banget muka lu!”

“Gue nyariin lu!”

“Lah? Ngapain?”

“Kok ngapain!? Ya nyariin! Ke mana aja dari tadi jam delapan sampe jam sepuluh belom pulang? Mana nggak bilang siapa-siapa, emang lo pikir orang nggak khawatir!? Mama lo nyariin!”

Adelia tercengang. Setelah sekian lama, ada orang selain Mama dan Haris yang memarahinya karena menghilang tanpa kabar. Keduanya saling menatap lurus. Dhimas dengan tatapan tajamnya dan napas tersengal, sementara Adelia dengan tatapan tercengangnya. “Lo—tau dari mana gue di sini?”

“Gue inget lo pernah bilang kalo lagi males sama semuanya lo ke sini. Kayak gue ke Lapangan Banteng.”

“Lo inget?”

“Ayo pulang. Udah malem, emang nggak takut setan apa lo?” ujar Dhimas. Adel terkekeh, “Terlalu sedih buat takut setan.”

“Sini duduk,” ucap Adel seraya menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Banyak tempat kosong lain, tapi Dhimas harus di sebelahnya. “Muka lu pucet banget gitu,” lanjut Adel. Setelahnya gadis itu menarik lengan Dhimas pelan. Lengannya saja bahkan terasa dingin. Entah sepanik apa seorang Dhimas Wijaya malam itu.

Dhimas kini duduk di sebelahnya, pemuda itu mengatur napas dan detak jantungnya yang sedari tadi tidak beraturan. “Kenapa sedih?” tanyanya kemudian.

“Lo kenapa tadi nyuekin gue kayak gitu? Gue tanya juga galak banget jawabnya. Lo marah sama gue?”

Benar-benar tidak ada yang segila Adelia. Mana jawaban 'nggak pa-pa'-nya? Mengapa ia malah semudah itu menjawab pertanyaan Dhimas? Bukankah harusnya Dhimas menerima tebak-tebakan yang lebih sulit lagi?

“Iya. Sebel aja, sih. Lo tadi keluar gerbang sama siapa? Gue nungguin lo panas-panasan, silau, sampe diusir satpam lo karena ada mobil mau keluar. Lo malah keluar sama cowok lain. Mana ganteng banget lagi.”

Sontak Adel menoleh. Didapatinya wajah Dhimas yang cemberut, menggemaskan. “Hah? AHAHAHAHAHAHAHAH! DIHH, KENAPA NGGAK BILANG?”

“Males, kan, malah diketawain.”

“Iya, iyaaaa, bercanda. Itu sepupunya Koh Gil, namanya James. Tadi dia nanyain tugas gambar aja, kok. Gue deket sama dia juga karena sering main biasa aja. Karena dia sepipunya Koh Gil, jadi sering main juga sama Cipon. Gituuu!! Nggak ada apa-apa,” jelas Adel. Membuat Dhimas malu. Benar kata Damar, didaftarin bimbel mahal-mahal masih tetep bodoh.

“Maaf ya,” ucap Dhimas. “Maaf gue jadi nyuekin lo gitu. Harusnya gue tanya langsung dari tadi, tapi gue sebel duluan.”

“Lo sedih karena gue cuekin? Atau karena gue main sama Nazma?” tanya Dhimas lagi. “Dua-duanya,” kata Adel sedih. “Gue sedih karena lo cuekin dengan cara lo main sama Nazma. Gue serius waktu bilang dia suka sama lo, pasti dia udah tertarik sama lo. Matanya, tuh, keliatan, Dhim!”

“Ya udah biarin aja, lah, Del. Kan lo udah duluan bikin gue suka. Lagian, kan, gue bilang, nggak semua orang gila kayak lo. Nazma enggak, makanya gue nggak suka.”

Adel memandang Dhimas skeptis. “Idih, idih.” Keduanya kemudian tertawa bersama.

“Tapi Nazma pipinya juga sama kayak lo tau,” ucap Adel lagi. “She could be your mochigirl.

Dhimas berdecak pelan, “Gue, kan, pernah bilang. Gue lebih suka rosemary.

Kedua alis Adelia bertaut, “Rosemary?

“Nanti gue kasih tau,” ucap Dhimas jahil. Setelahnya pemuda itu bangkit dan menepuk-nepuk celananya agar tidak kotor. “Pulang dulu, dari tadi Haris udah marah-marah. Nanti lo makin dimarahin kalo pulangnya makin malem.”

Adel akhirnya memilih pasrah. Gadis itu mau tak mau ikut bangkit dan membereskan sampahnya. Namun sekon berikutnya ia menghela napas. “Sama Haris aja takut. Dia, mah, emang kerjaannya marah-marah. Biarin aja, nggak usah dikabarin. Biarin aja dia panik sampe besok.”

Mendengar itu, Dhimas tersenyum dalam hati. Benar-benar tidak ada yang segila Adelia.

Pulang bimbel, Adelia mencoba kembali peruntungannya. Gadis itu meraih ranselnya sebelum memberanikan diri menghampiri Dhimas yang melangkah lebih dulu menuruni tangga. Membuat Adel menjadi yang paling terakhir keluar kelas. Namun, Adelia otomatis menahan suaranya ketika mendapati Dhimas lagi-lagi bersama Nazma. Keduanya berbincang entah apa.

Gadis itu tahu Dhimas memang seorang yang mudah bergaul. Dhimas bisa berteman dengan satu dunia jika ia mau, saking supelnya. Tapi Nazma? Adelia baru tahu bahwa selain cantik dan super pintar, Nazma juga seorang dengan selera humor yang sama dengan dirinya dan—Dhimas? Sungguh pemandangan yang tidak mengenakan tersuguh di depan matanya. Dhimas dan Nazma bercanda berdua sembari menyusuri anak tangga. Sesekali gadis itu memukul bahu Dhimas pelan seraya tertawa. Apa yang lucu?

Adel memberanikan diri, ia meraih lengan Dhimas seraya memanggil namanya pelan. “Dhim,” ucapnya. Dhimas sedikit berjengit, begitu juga Nazma. Keduanya menoleh dan menjadikan Adelia pusat perhatian. Namun tatapan Adelia berpusat hanya pada Dhimas. Mendadak lidahnya kelu. Sejujurnya Adel pun tak tahu apa alasannya memanggil Dhimas. Haruskah ia menanyakan alasan perubahan sikap pemuda itu? Tapi—haruskah ia menanyakannya di depan Nazma?

Sadar bahwa dirinya menjadi penghalang, Nazma tahu diri. “Dhim, gue duluan ya,” ucapnya. “Duluan ya, kamu,” ucapnya lagi—pada Adelia. Membuat Adel otomatis berdecih dalam hati. Sok baik.

“Iya, hati-hati ya, Naz.”

Satu kalimat dari mulut Dhimas membuat mata Adel melirik tajam pada sang pemuda. Namun mulutnya tetap bungkam menahan protes yang sedari tadi sudah hampir meledak. Hampir saja ia marah, namun berhasil redam lantaran tatapan Dhimas yang dingin kini terarah kepadanya. “Kenapa?”

“Kayaknya dia suka, deh, sama lo,” ucap Adel spontan. Dhimas, di hadapannya, mengernyitkan dahi. Bingung, sekaligus tak percaya akan apa yang baru saja diucapkan Adel. “Apaan, sih, Del?”

“Ya, orang gue perhatiin dari tadi dia nempel banget sama lo? Tadi juga pas lo maju dia merhatiinnya gitu banget? Dia senyum-senyum ngeliatin lo, Dhimas. Jelas banget itu, tuh, dia suka sama lo. Kalopun enggak, pasti udah ada sedikit ketertarikan gitu!”

“Gila kali, ya?” balas Dhimas. “Gue sama dia aja baru ketemu hari ini, Del. Mana mungkin, sih, dia suka sama gue? Jangan aneh-aneh!”

Malas ribut lebih jauh, Dhimas memutuskan untuk meninggalkan Adel sendirian. Namun gadis itu pantang menyerah. Adelia masih membuntutinya. Pokoknya ini harus dibahas hingga tuntas. “Gue juga naksir lo pas baru liat lo! Pasti dia juga!”

Dhimas memandang Adel tidak percaya. Setelahnya terkekeh pelan. “Lo kenapa, sih, Del?”

“Lo yang kenapa, Dhim? Dari tadi gue ajak ngomong lo kayak menghindar gitu!”

“Nggak pa-pa,” balas Dhimas singkat. “Udah, ya, Del. Gue capek, mau balik. Gue duluan.”

“Dhim, gue belom selesai ngomong.”

Pemuda itu berbalik. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari Adelia yang berada di anak tangga lebih tinggi. Tangan kanannya memegang sebelah strap ransel yang disampirkan di pundak agar tak jatuh. “Apa lagi, Del? Lo masih mau bilang Nazma suka sama gue? Cuma gara-gara gue ngobrol sama dia hari ini? Cuma gara-gara gue bercanda sama dia hari ini?”

Adelia terdiam.

“Del, gini, ya,” ucap Dhimas lagi. “Just because it happened to you, bukan berarti orang lain juga sama.”

“Nggak semua orang gila kayak lo, Del.”

Dan Dhimas pergi melanjutkan langkahnya. Pemuda itu benar, tidak semua orang segila itu, Adelia.

But if only he knew, Nazma adalah Adelia. Keduanya cantik, dengan selera humor yang sama.

Nazma adalah Adelia— . . . —If she was smarter.

Pulang bimbel, Adelia mencoba kembali peruntungannya. Gadis itu meraih ranselnya sebelum memberanikan diri menghampiri Dhimas yang melangkah lebih dulu menuruni tangga. Membuat Adel menjadi yang paling terakhir keluar kelas. Namun, Adelia otomatis menahan suaranya ketika mendapati Dhimas lagi-lagi bersama Nazma. Keduanya berbincang entah apa.

Gadis itu tahu Dhimas memang seorang yang mudah bergaul. Dhimas bisa berteman dengan satu dunia jika ia mau, saking supelnya. Tapi Nazma? Adelia baru tahu bahwa selain cantik dan super pintar, Nazma juga seorang dengan selera humor yang sama dengan dirinya dan—Dhimas? Sungguh pemandangan yang tidak mengenakan tersuguh di depan matanya. Dhimas dan Nazma bercanda berdua sembari menyusuri anak tangga. Sesekali gadis itu memukul bahu Dhimas pelan seraya tertawa. Apa yang lucu?

Adel memberanikan diri, ia meraih lengan Dhimas seraya memanggil namanya pelan. “Dhim,” ucapnya. Dhimas sedikit berjengit, begitu juga Nazma. Keduanya menoleh dan menjadikan Adelia pusat perhatian. Namun tatapan Adelia berpusat hanya pada Dhimas. Mendadak lidahnya kelu. Sejujurnya Adel pun tak tahu apa alasannya memanggil Dhimas. Haruskah ia menanyakan alasan perubahan sikap pemuda itu? Tapi—haruskah ia menanyakannya di depan Nazma?

Sadar bahwa dirinya menjadi penghalang, Nazma tahu diri. “Dhim, gue duluan ya,” ucapnya. “Duluan ya, kamu,” ucapnya lagi—pada Adelia. Membuat Adel otomatis berdecih dalam hati. Sok baik.

“Iya, hati-hati ya, Naz.”

Satu kalimat dari mulut Dhimas membuat mata Adel melirik tajam pada sang pemuda. Namun mulutnya tetap bungkam menahan protes yang sedari tadi sudah hampir meledak. Hampir saja ia marah, namun berhasil redam lantaran tatapan Dhimas yang dingin kini terarah kepadanya. “Kenapa?”

“Kayaknya dia suka, deh, sama lo,” ucap Adel spontan. Dhimas, di hadapannya, mengernyitkan dahi. Bingung, sekaligus tak percaya akan apa yang baru saja diucapkan Adel. “Apaan, sih, Del?”

“Ya, orang gue perhatiin dari tadi dia nempel banget sama lo? Tadi juga pas lo maju dia merhatiinnya gitu banget? Dia senyum-senyum ngeliatin lo, Dhimas. Jelas banget itu, tuh, dia suka sama lo. Kalopun enggak, pasti udah ada sedikit ketertarikan gitu!”

“Gila kali, ya?” balas Dhimas. “Gue sama dia aja baru ketemu hari ini, Del. Mana mungkin, sih, dia suka sama gue? Jangan aneh-aneh!”

Malas ribut lebih jauh, Dhimas memutuskan untuk meninggalkan Adel sendirian. Namun gadis itu pantang menyerah. Adelia masih membuntutinya. Pokoknya ini harus dibahas hingga tuntas. “Gue juga naksir lo pas baru liat lo! Pasti dia juga!”

Dhimas memandang Adel tidak percaya. Setelahnya terkekeh pelan. “Lo kenapa, sih, Del?”

“Lo yang kenapa, Dhim? Dari tadi gue ajak ngomong lo kayak menghindar gitu!”

“Nggak pa-pa,” balas Dhimas singkat. “Udah, ya, Del. Gue capek, mau balik. Gue duluan.”

“Dhim, gue belom selesai ngomong.”

Pemuda itu berbalik. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari Adelia yang berada di anak tangga lebih tinggi. Tangan kanannya memegang sebelah strap ransel yang disampirkan di pundak agar tak jatuh. “Apa lagi, Del? Lo masih mau bilang Nazma suka sama gue? Cuma gara-gara gue ngobrol sama dia hari ini? Cuma gara-gara gue bercanda sama dia hari ini?”

Adelia terdiam.

“Del, gini, ya,” ucap Dhimas lagi. “Just because it happened to you, bukan berarti orang lain juga sama.”

“Nggak semua orang gila kayak lo, Del.”

Dan Dhimas pergi melanjutkan langkahnya. Pemuda itu benar, tidak semua orang segila itu, Adelia.

But if only he knew, Nazma adalah Adelia. Keduanya cantik, dengan selera humor yang sama.

Nazma adalah Adelia— . . . —If she was smarter.

Pulang bimbel, Adelia mencoba kembali peruntungannya. Gadis itu meraih ranselnya sebelum memberanikan diri menghampiri Dhimas yang melangkah lebih dulu menuruni tangga. Membuat Adel menjadi yang paling terakhir keluar kelas. Namun, Adelia otomatis menahan suaranya ketika mendapati Dhimas lagi-lagi bersama Nazma. Keduanya berbincang entah apa.

Gadis itu tahu Dhimas memang seorang yang mudah bergaul. Dhimas bisa berteman dengan satu dunia jika ia mau, saking supelnya. Tapi Nazma? Adelia baru tahu bahwa selain cantik dan super pintar, Nazma juga seorang dengan selera humor yang sama dengan dirinya dan—Dhimas? Sungguh pemandangan yang tidak mengenakan tersuguh di depan matanya. Dhimas dan Nazma bercanda berdua sembari menyusuri anak tangga. Sesekali gadis itu memukul bahu Dhimas pelan seraya tertawa. Apa yang lucu?

Adel memberanikan diri, ia meraih lengan Dhimas seraya memanggil namanya pelan. “Dhim,” ucapnya. Dhimas sedikit berjengit, begitu juga Nazma. Keduanya menoleh dan menjadikan Adelia pusat perhatian. Namun tatapan Adelia berpusat hanya pada Dhimas. Mendadak lidahnya kelu. Sejujurnya Adel pun tak tahu apa alasannya memanggil Dhimas. Haruskah ia menanyakan alasan perubahan sikap pemuda itu? Tapi—haruskah ia menanyakannya di depan Nazma?

Sadar bahwa dirinya menjadi penghalang, Nazma tahu diri. “Dhim, gue duluan ya,” ucapnya. “Duluan ya, kamu,” ucapnya lagi—pada Adelia. Membuat Adel otomatis berdecih dalam hati. Sok baik.

“Iya, hati-hati ya, Naz.”

Satu kalimat dari mulut Dhimas membuat mata Adel melirik tajam pada sang pemuda. Namun mulutnya tetap bungkam menahan protes yang sedari tadi sudah hampir meledak. Hampir saja ia marah, namun berhasil redam lantaran tatapan Dhimas yang dingin kini terarah kepadanya. “Kenapa?”

“Kayaknya dia suka, deh, sama lo,” ucap Adel spontan. Dhimas, di hadapannya, mengernyitkan dahi. Bingung, sekaligus tak percaya akan apa yang baru saja diucapkan Adel. “Apaan, sih, Del?”

“Ya, orang gue perhatiin dari tadi dia nempel banget sama lo? Tadi juga pas lo maju dia merhatiinnya gitu banget? Dia senyum-senyum ngeliatin lo, Dhimas. Jelas banget itu, tuh, dia suka sama lo. Kalopun enggak, pasti udah ada sedikit ketertarikan gitu!”

“Gila kali, ya?” balas Dhimas. “Gue sama dia aja baru ketemu hari ini, Del. Mana mungkin, sih, dia suka sama gue? Jangan aneh-aneh!”

Malas ribut lebih jauh, Dhimas memutuskan untuk meninggalkan Adel sendirian. Namun gadis itu pantang menyerah. Adelia masih membuntutinya. Pokoknya ini harus dibahas hingga tuntas. “Gue juga naksir lo pas baru liat lo! Pasti dia juga!”

Dhimas memandang Adel tidak percaya. Setelahnya terkekeh pelan. “Lo kenapa, sih, Del?”

“Lo yang kenapa, Dhim? Dari tadi gue ajak ngomong lo kayak menghindar gitu!”

“Nggak pa-pa,” balas Dhimas singkat. “Udah, ya, Del. Gue capek, mau balik. Gue duluan.”

“Dhim, gue belom selesai ngomong.”

Pemuda itu berbalik. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari Adelia yang berada di anak tangga lebih tinggi. Tangan kanannya memegang sebelah strap ransel yang disampirkan di pundak agar tak jatuh. “Apa lagi, Del? Lo masih mau bilang Nazma suka sama gue? Cuma gara-gara gue ngobrol sama dia hari ini? Cuma gara-gara gue bercanda sama dia hari ini?”

Adelia terdiam.

“Del, gini, ya,” ucap Dhimas lagi. “Just because it happened to you, bukan berarti orang lain juga sama.”

“Nggak semua orang gila kayak lo, Del.”

Dan Dhimas pergi melanjutkan langkahnya. Pemuda itu benar, tidak semua orang segila itu, Adelia.

But if only he knew, Nazma adalah Adelia. Keduanya cantik, dengan selera humor yang sama.

Nazma adalah Adelia— . . . —If she was smarter.

Adelia's POV

Jujur, hari ini akan masuk ke dalam daftar bad days gue. Waktu bimbel yang seharusnya jadi masa ketika gue sama Dhimas punya momen, malah jadi runyam. Sayangnya, gue juga nggak bisa nyalahin siapa-siapa. Mungkin Dhimas emang lagi ada masalah di sekolahnya, dan jadi kebawa bad mood sampe sekarang.

By the way, karena Dhimas nggak ngomong sama gue, gue jadi merhatiin sekitar. Katanya mau ada anak baru lagi, cewek. Semua anak cowok otomatis excited, kecuali Dhimas. Anaknya diem aja, sibuk main HP. Nggak peduli mau ada anak baru, kek, presiden, atau siapapun yang dateng hari ini.

Karena bosen, akhirnya gue coba ajak ngobrol Dhimas lagi. “Dhim, nanti lo langsung pulang?”

Nggak ada jawaban. Jadi gue coba panggil sekali lagi. “Dhimas.”

“Hm.”

“Dhim,” panggil gue sekali lagi. Bodo amat, pokoknya harus nengok. Bener aja, dia nengok. Tapi mendadak gue deg-degan karena... I've never seen his face being this serious, i mean his jaws are clenching. Not to mention his eyebrows telling me 'you better have something important to tell me, otherwise i'd punch you in the face.'

“Apa?” katanya datar.

“Nanti pulangnya boleh bareng nggak?”

Dhimas otomatis memalingkan wajah dan buang napas kasar. Ih, dia sebel sama gue, kah?

“Liat nanti.”

Kayaknya bener, dia sebel sama gue. Kenapa, ya?

Belom sempet gue mikirin dosa yang mungkin gue perbuat itu, tiba-tiba Kak Rizqa masuk kelas dengan seseorang yang mengikutinya. De javu, huh? Feels like the very first time i met him—again. Tapi kali ini lain, ada seorang perempuan yang ngikutin Kak Rizqa. Seperti biasa, Kak Rizqa nyuruh kenalan dan yada-yada-yada, yang gue tangkep cuma namanya Nazma. Dan dia dari SMA yang sama dengan—Julian.

Nazma udah dipersilakan duduk sama Kak Rizqa and what on earth— kenapa bangku kosong hari ini cuma ada di depan Dhimas? Mau nggak mau Nazma ngobrol sama Dhimas.

“Ini kosong?”

Gue mendapati Dhimas mendongak sebelum akhirnya mengangguk. Wajahnya udah nggak segarang tadi, malah sekarang otomatis jadi ramah banget kayak waktu dia pertama kali duduk di sebelah gue. Gosh, i don't like it—the situation between them. Entah kenapa rasanya gue mau nge-claim prosesi perkenalan itu hanya buat gue sama Dhimas. Being possessive all of sudden, huh, Adelia?

“Kosong, kok. Duduk aja.” DHIMAS WIJAYA I SWEAR TO GOD ITU TERLALU RAMAH. AND WHO TOLD YOU TO SMILE? Ngapain juga segala narik kaki gitu!? Kalo mau selonjoran, ya selonjoran aja! Emangnya dia tuan putri apa!?

“Makasih ya—”

“Dhimas,” katanya sambil senyum.

Dhim, tolong, lah. Jangan biarin ada orang lain lagi yang kepincut sama muka lo. Please, gue aja.

“Nazma,” kata Nazma. And—for god's sake— mereka berjabat tangan. Bisa nggak, nggak usah lama-lama gitu?

“Dari SMA mana, Dhim?”

I don't wanna hear it any longer. Males. Bete. Sebel. Kesel. Marah. Tau gitu mendingan gue nggak usah les aja. Bodo amat nggak ketemu Dhimas juga, yang penting nggak liat dia sama Nazma kayak gini.

Seriously, insecurity hit me like a train. I mean look at her—LOOK AT HER! Rambutnya panjang bergelombang, dikuncir dengan rapi. Unlike me, kunciran asal-asalan dengan anak rambut yang—mungkin udah punya cucu. Mukanya masih bening banget meskipun udah jam segini, nggak kayak muka gue yang udah kayak ampas tahu. Nazma cantik, kalem, dan mukanya adalah muka-muka orang pinter. Pipinya tembam but not too much, hampir sama kayak pipi mochi Dhimas—ah, i hate that fact. Idungnya mancung dan bagus.

Sorry banget kalau gue terlalu merhatiin Nazma secara detail, tapi gue merasa perlu. I mean, girls, have you ever gotten some kind of feelings—guts, that a girl likes your crush or boyfriend? Because i'm getting that kind of guts on Nazma. Kayaknya dia suka sama Dhimas, atau paling tidak, pasti udah ada ketertarikan sama Dhimas.

Gimana enggak? Dhimas tadi maju ke depan kelas untuk nulis cara buat nomor 15 Matematika. Dan Nazma yang tadinya duduk tegak mendadak menopang dagu dengan tubuhnya yang dimajukan? Dan setelah Dhimas balik lagi ke tempat duduknya, which is di belakang dia, Nazma senyum-senyum dan ngasih Dhimas tepuk tangan kecil karena jawabannya benar. Dhim, gue bisa ngasih komando orang satu tribun buat ngasih lo tepuk tangan, Dhim.

Gue liat juga Nazma dari tadi cari-cari cara untuk ngobrol sama Dhimas. Itu badannya bener-bener udah kayak gangsing, MUUUUUTERRRRRR AJAH.

“Dhim, nomor 23 A, ya?” “Dhim, lo udah nomor berapa?” “Dhimas ngitungnya cepet banget, dulu pernah sempoa, ya?” “Dhim, tau cara nomor 30 nggak? Ini gimana ya? Gue udah sampe sini tapi bingung.”

STOP RIGHT THERE, YOU LITTLE WITCH! Jangan bikin cowok gue ngajar-ngajarin lo gitu, dong! Curang banget! Udah pinter juga, nyebelin banget. Gue nggak boleh kalah, gue nggak boleh membiarkan ini terjadiiii!!

“Dhim, ajarin gue, dong!”

Yes, akhirnya Dhimas noleh ke gue. Perhatiannya ke gue semua sekarang. “Kenapa? Yang mana yang nggak bisa?”

“Gue baru nyatet sampe nomor 15. Sambil coba gue baca gitu, tapi nggak ngerti,” ucap gue.

Dhimas berdecak, nggak kayak biasanya. “Kan gue bilang, catet dulu aja semuanya, Del. Pahaminnya nanti aja. Kalo lo sambil pahamin gitu nanti catetannya keburu ilang di papan tulis. Udah catet dulu, nanti gue jelasin semuanya kapan-kapan.”

Terus abis itu dia balik lagi munggungin gue. Asik banget ngulik soal sama Nazma. They have the same passion, i guess. Math, which i could never master. Dan lo tau? Gue malu. Banget. Karena Nazma bener-bener masih mandangin gue dengan lekat, cenderung kasihan. Entah kasihan karena gue bego, kasihan karena Dhimas nyuekin gue, atau kasihan karena dua-duanya.

Dulu, waktu kecil Haris bilang ke gue untuk belajar yang bener. He was right, harusnya gue dengerin Haris dari dulu. For maybe i could've been a better daughter to Papa, someone he could be proud of.

For maybe i could've been a better friend to Dhimas, someone who wouldn't burden him every single day with long explanations of how to solve math.

Hari ini akan benar-benar masuk daftar hari buruk gue. Waktu les masih dua jam lagi, and i already wish i could turn into someone else. Someone smarter.

Maybe i could win over the pretty girls, but the smarter ones? I'd rather surrender.

Have fun, Mochiman.

Adelia's POV

Jujur, hari ini akan masuk ke dalam daftar bad days gue. Waktu bimbel yang seharusnya jadi masa ketika gue sama Dhimas punya momen, malah jadi runyam. Sayangnya, gue juga nggak bisa nyalahin siapa-siapa. Mungkin Dhimas emang lagi ada masalah di sekolahnya, dan jadi kebawa bad mood sampe sekarang.

By the way, karena Dhimas nggak ngomong sama gue, gue jadi merhatiin sekitar. Katanya mau ada anak baru lagi, cewek. Semua anak cowok otomatis excited, kecuali Dhimas. Anaknya diem aja, sibuk main HP. Nggak peduli mau ada anak baru, kek, presiden, atau siapapun yang dateng hari ini.

Karena bosen, akhirnya gue coba ajak ngobrol Dhimas lagi. “Dhim, nanti lo langsung pulang?”

Nggak ada jawaban. Jadi gue coba panggil sekali lagi. “Dhimas.”

“Hm.”

“Dhim,” panggil gue sekali lagi. Bodo amat, pokoknya harus nengok. Bener aja, dia nengok. Tapi mendadak gue deg-degan karena... I've never seen his face being this serious, i mean his jaws are clenching. Not to mention his eyebrows telling me 'you better have something important to tell me, otherwise i'd punch you in the face.'

“Apa?” katanya datar.

“Nanti pulangnya boleh bareng nggak?”

Dhimas otomatis memalingkan wajah dan buang napas kasar. Ih, dia sebel sama gue, kah?

“Liat nanti.”

Kayaknya bener, dia sebel sama gue. Kenapa, ya?

Belom sempet gue mikirin dosa yang mungkin gue perbuat itu, tiba-tiba Kak Rizqa masuk kelas dengan seseorang yang mengikutinya. De javu, huh? Feels like the very first time i met him—again. Tapi kali ini lain, ada seorang perempuan yang ngikutin Kak Rizqa. Seperti biasa, Kak Rizqa nyuruh kenalan dan yada-yada-yada, yang gue tangkep cuma namanya Nazma. Dan dia dari SMA yang sama dengan—Julian.

Nazma udah dipersilakan duduk sama Kak Rizqa and what on earth— kenapa bangku kosong hari ini cuma ada di depan Dhimas? Mau nggak mau Nazma ngobrol sama Dhimas.

“Ini kosong?”

Gue mendapati Dhimas mendongak sebelum akhirnya mengangguk. Wajahnya udah nggak segarang tadi, malah sekarang otomatis jadi ramah banget kayak waktu dia pertama kali duduk di sebelah gue. Gosh, i don't like it—the situation between them. Entah kenapa rasanya gue mau nge-claim prosesi perkenalan itu hanya buat gue sama Dhimas. Being possessive all of sudden, huh, Adelia?

“Kosong, kok. Duduk aja.” DHIMAS WIJAYA I SWEAR TO GOD ITU TERLALU RAMAH. AND WHO TOLD YOU TO SMILE? Ngapain juga segala narik kaki gitu!? Kalo mau selonjoran, ya selonjoran aja! Emangnya dia tuan putri apa!?

“Makasih ya—”

“Dhimas,” katanya sambil senyum.

Dhim, tolong, lah. Jangan biarin ada orang lain lagi yang kepincut sama muka lo. Please, gue aja.

“Nazma,” kata Nazma. And—for god's sake— mereka berjabat tangan. Bisa nggak, nggak usah lama-lama gitu?

“Dari SMA mana, Dhim?”

I don't wanna hear it any longer. Males. Bete. Sebel. Kesel. Marah. Tau gitu mendingan gue nggak usah les aja. Bodo amat nggak ketemu Dhimas juga, yang penting nggak liat dia sama Nazma kayak gini.

Seriously, insecurity hit me like a train. I mean look at her—LOOK AT HER! Rambutnya panjang bergelombang, dikuncir dengan rapi. Unlike me, kunciran asal-asalan dengan anak rambut yang—mungkin udah punya cucu. Mukanya masih bening banget meskipun udah jam segini, nggak kayak muka gue yang udah kayak ampas tahu. Nazma cantik, kalem, dan mukanya adalah muka-muka orang pinter. Pipinya tembam but not too much, hampir sama kayak pipi mochi Dhimas—ah, i hate that fact. Idungnya mancung dan bagus.

Sorry banget kalau gue terlalu merhatiin Nazma secara detail, tapi gue merasa perlu. I mean, girls, have you ever gotten some kind of feelings—guts, that a girl likes your crush or boyfriend? Because i'm getting that kind of guts on Nazma. Kayaknya dia suka sama Dhimas, atau paling tidak, pasti udah ada ketertarikan sama Dhimas.

Gimana enggak? Dhimas tadi maju ke depan kelas untuk nulis cara buat nomor 15 Matematika. Dan Nazma yang tadinya duduk tegak mendadak menopang dagu dengan tubuhnya yang dimajukan? Dan setelah Dhimas balik lagi ke tempat duduknya, which is di belakang dia, Nazma senyum-senyum dan ngasih Dhimas tepuk tangan kecil karena jawabannya benar. Dhim, gue bisa ngasih komando orang satu tribun buat ngasih lo tepuk tangan, Dhim.

Gue liat juga Nazma dari tadi cari-cari cara untuk ngobrol sama Dhimas. Itu badannya bener-bener udah kayak gangsing, MUUUUUTERRRRRR AJAH.

“Dhim, nomor 23 A, ya?” “Dhim, lo udah nomor berapa?” “Dhimas ngitungnya cepet banget, dulu pernah sempoa, ya?” “Dhim, tau cara nomor 30 nggak? Ini gimana ya? Gue udah sampe sini tapi bingung.”

STOP RIGHT THERE, YOU LITTLE WITCH! Jangan bikin cowok gue ngajar-ngajarin lo gitu, dong! Curang banget! Udah pinter juga, nyebelin banget. Gue nggak boleh kalah, gue nggak boleh membiarkan ini terjadiiii!!

“Dhim, ajarin gue, dong!”

Yes, akhirnya Dhimas noleh ke gue. Perhatiannya ke gue semua sekarang. “Kenapa? Yang mana yang nggak bisa?”

“Gue baru nyatet sampe nomor 15. Sambil coba gue baca gitu, tapi nggak ngerti,” ucap gue.

Dhimas berdecak, nggak kayak biasanya. “Kan gue bilang, catet dulu aja semuanya, Del. Pahaminnya nanti aja. Kalo lo sambil pahamin gitu nanti catetannya keburu ilang di papan tulis. Udah catet dulu, nanti gue jelasin semuanya kapan-kapan.”

Terus abis itu dia balik lagi munggungin gue. Asik banget ngulik soal sama Nazma. They have the same passion, i guess. Math, which i could never master.

Dulu, waktu kecil Haris bilang ke gue untuk belajar yang bener. He was right, harusnya gue dengerin Haris dari dulu. For maybe i could've been a better daughter to Papa, someone he could be proud of.

For maybe i could've been a better friend to Dhimas, someone who wouldn't burden him with long explanations of how to solve math.

Hari ini akan benar-benar masuk daftar hari buruk gue. Waktu les masih dua jam lagi, and i already wish i could turn into someone else. Someone smarter.

Maybe i could win over the pretty girls, but the smarter ones? I'd rather surrender.

Have fun, Mochiman.