Interogasi
Haris tahu ketika ia pulang, kondisinya tak akan lebih baik dari ospek dan pemalakan dadakan dari teman-temannya di sekolah. Dan benar saja, pulang-pulang ia sudah dihadang di depan pintu. Dengan Adelia dan Hanum yang sudah bersandar pada dinding dengan pose selayaknya duo mata-mata yang siap menginterogasinya.
“Ngapain?” tanya Haris. Adel tak menanggapi, gadis itu memilih untuk melihat kuku-kukunya yang tumbuh panjang dengan bentuk cantik. Sementara Hanum melipat kedua tangannya di depan dada seraya memandangi Haris dari atas ke bawah.
“Jam segini baru pulang, ke mana dulu?” tanya Hanum galak. “Ada urusan dulu tadi di sekolah. Ini, kan, juga baru jam setengah lima. Nggak telat-telat banget Kakak pulangnya.”
Masih dengan tatapan garangnya, Hanum menyingkir dan memerintahkan Haris untuk masuk. Dan kini Adel menggiringnya ke meja makan. Menarikkan satu kursi untuk Haris dan menitahnya duduk. “Duduk!” titah Adel. Haris tak punya pilihan lain selain menurutinya, atau nyawanya melayang hari itu juga.
“Emang nggak bisa diomongin baik-baik aja, ya? Kenapa, sih, harus kayak gini, guys?” tanya Haris.
“Eh, kalo lu baru jadian kemaren, bisa diomongin baik-baik. KALO LU JADIAN TIGA BULAN YANG LALU, MENURUT LU MASIH BISA DIOMONGIN BAIK-BAIK!?” ucap Adel mencak-mencak. Haris hampir saja menyemburkan tawanya, namun mati-matian ia tahan. Mengingat dua gadis cantik di hadapannya menatapnya dengan tatapan membunuh.
“Iya, iya. Oke. Duduk dulu, duduk. Sini, gue ceritain dari awal semuanya.”
Mendengar penuturan Haris, dua gadis itu akhirnya duduk di hadapannya. Hanum adalah yang paling dominan bertanya. “Kamu kenapa nggak bilang sama aku, sih, Kak? Kak Anggi, kan, temenku! Kamu jadian sama temenku nggak bilang-bilang aku!?”
“Justru karena dia temen kamu, makanya Kakak mau bilangnya juga bingung, Num...”
“Kan ada gue, kenapa lo nggak bilang gue juga?” serobot Adel. Benar juga, mengapa Haris begitu keras merahasiakan semuanya dan menelannya sendiri mentah-mentah? Persetan. Yang lalu biarlah berlalu. Hari ini ia harus tanggung semua konsekuensinya.
“Gini, gue jadian sama Gia, tuh, nggak segampang yang lo kira. Meskipun sama-sama suka, tapi gue sama Gia harus ngelewatin banyak hal dulu sampe akhirnya bisa kayak sekarang,” jelas Haris. “Bahkan sebelum gue bisa nyatain perasaan gue ke Gia, banyak banget masalahnya. Waktu gue nonjokin orang sampe diskors, itu juga ada sangkut pautnya sama Gia. Setelah gue nonjokin Gio, Gia datengin gue dan somehow gue dengan emosi gue yang masih berapi-api itu jadi ngusir Gia—dari hidup gue. Abis itu kita jauh-jauhan dan baru baikan setelah LDKS, itu lama banget, jujur. Abis LDKS, belom lama deket lagi, gue keceplosan bilang kalo gue suka sama Gia. Gianya kabur, dia ngejauhin gue. Asal liat gue dia kabur, takut banget gitu mukanya. Terus gue coba deketin, seminggu Gia bener-bener gue pepet. Masih juga dia ninggalin gue gitu aja, akhirnya gue memutuskan buat nyerah. Sampe akhirnya lo ngomong sama gue, Del, waktu malem-malem itu.”
Haris menjeda bicaranya sejenak, ia juga perlu napas dan memupuk kekuatan untuk menceritakan situasi yang harus ia tempuh untuk pada akhirnya berhasil mendeklarasikan Anggia Kalila Maheswari sebagai kekasihnya. “Akhirnya gue memutuskan buat nunggu Gia. Long story short, Gia sendiri yang chat gue dan bilang kalo dia mau ngomong sesuatu. Ya udah, gue ajak dia ngomong pas ambil rapot bayangan biar nggak ketauan-ketauan amat. Dia minta kejelasan, apakah pernyataan tentang perasaan gue waktu itu bener atau enggak. Gue jelasin semuanya, terus dia bilang kalo dia suka juga. Ya udah, gue tembak. Udah kelamaan banget ketundanya, gue geregetan. Terus jadian, tapi Gia bilang untuk nggak bilang temen-temen gue dulu. Karena ya, lo tau sendiri temen-temen gue ramenya kayak apa. Akhirnya ya udah, gue putusin buat backstreet aja dulu dari semuanya. Sampe Gia bilang dia siap buat reveal semuanya. And here we are.“
Pandangan Haris kini beralih pada Hanum. Sepenuhnya ia pusatkan tatapannya pada sang adik. “Kakak minta maaf ya, Num, nggak cerita apa-apa. Bukannya nggak mau, tapi Kakak juga jadi banyak pertimbangan. Kakak tau kamu seneng banget sama yang namanya Anggia, kamu nggak bisa berhenti ngomongin dia sejak pertama kali kamu kenal dia. Jadi waktu Kakak sadar kalo Kakak suka sama dia, Kakak takut mau ceritanya. Apalagi situasinya juga banyak banget buruknya, Kakak nggak mau image dia di mata kamu jadi berubah. Kakak juga nggak mau kamu jadi nyalahin dia, emang situasinya aja. I was planning to tell you everything kalau situasinya udah lebih gampang buat kita semua. Kayaknya sekarang emang udah waktunya.”
Hanum mengerucutkan bibirnya. Tetap tidak terima karena merasa tertinggal banyak hal. Harusnya ia bisa membantu proses PDKT dua kakaknya ini, kan? Tetapi akhirnya ia memilih untuk tidak mempermasalahkan semuanya. Toh, Kak Haris-nya pun sudah menjelaskan semuanya.
“Kenapa Kak Anggi?” tanya Hanum. “After all of those girls, yang kamu tolak, yang nggak kamu anggep keberadaannya, kenapa Kak Anggi yang akhirnya bisa bikin kamu kayak gini?”
Haris menggendikkan bahu. “Nggak tau. Gia, tuh, refreshing aja. Suka sama dia, tuh, gampang banget. I can see why you adore her so much.“
“Tau lo, Ris. Kenapa Anggia, sih?” tanya Adel lagi.
“Lah, kan itu barusan gue jawab?” balas Haris, “lu nyimak nggak, sih, Del? Mabok lu ya?”
“Kagaak, maksud guah—apa lu nggak kasian sama Gia punya cowok kayak lu? Gue rasa, sih, dia pantas mendapatkan yang jauh lebih kiyowo daripada lu,” balas Adel lagi. Mendengar itu, Hanum memberi respons setuju dengan heboh. “Iya, kan! Itu dia maksud aku. Dari dulu aku selalu nungguin siapa cowok beruntung yang bakal dapetin orang sebaik Kak Anggi, kenapa malah orang kayak gini, sih...”
“Lu pasang susuk ya, Ris?”
“Kagak, anj—”
“Kak, nggak usah sama Kak Anggi, lah. Cari aja orang lain, Kak Anggi deserves better.”
“Ngomong apa, Num? Coba sekali lagi—”
“Ris, udah, lah. Nyerah aja,” balas Adel lagi. Haris melayangkan tatapan tersinggung, “NYERAH GIMANA ORANG GIA UDAH JADI CEWEK GUE, ENAK AJA LU!”
“Kakak ke dukun ya? Aku bilangin Mama ya?!” tuding Hanum.
“Iya, ke dukun. Mau nyantet elu berdua!” balas Haris. Emosinya memuncak sudah. Di sekolah berhadapan dengan cecunguk, di rumah berhadapan dengan—entah apa lah mereka itu. Pria itu kemudian bangkit dan memilih untuk pergi ke kamarnya. Berganti baju, bersih-bersih, dan menghubungi marshmellow kecintaannya. Anggianya.