Who is She?
Haris adalah tipe manusia sok misterius. Ia ingin segalanya menjadi kejutan, termasuk ketika Gia bertanya tujuan keduanya pergi hari ini. Pemuda itu hanya tersenyum dan menjawab, “Keliling dunia.” Dan setiap Gia mengernyit bingung, tawanya justru kian menguar. “Nanti juga kamu tau, Anggi,” katanya.
Gia tampak cantik hari ini. Gadis mungil itu mengenakan gaun putih bermotif bunga daisy yang cantik pada setiap sudut gaunnya, dipadukan sneakers dengan warna senada. Rambutnya dibiarkan tergerai, namun bertengger sebuah scrunchie pada lengan kecilnya. Antisipasi, agar rambutnya tetap rapi meski angin kencang menerpanya di jalan.
Gia hari ini—manis sekali. Sampai-sampai Haris lupa bahwa alisnya sempat berkerut marah akibat pesan masuk dari orang yang tidak ia harapkan. Entah sudah berapa lama, Haris dan Gia memilih untuk tak berfokus pada hitungan hari atau bulan. Keduanya sepakat bahwa yang paling penting, keduanya masih bersama. Dan semoga waktu terus berdetik memihak keduanya.
Haris dan Gia kini berjalan beriringan di tempat wisata outdoor. Hari sudah sore setelah keduanya selesai menonton bioskop dan makan. Ramainya orang tentu membuat Haris berada dalam setelan mode penjagaan untuk Gia-nya yang mungil. Sela-sela jarinya tak pernah kosong, selalu ia eratkan dengan milik Gia agar gadis itu tidak hilang.
“Katanya keliling dunia. Kok, ke sini, Kak?” tanya Gia. Masih penasaran dengan ide Haris. “Nanti juga kamu tau,” balas Haris.
“Kenapa, sihhh, gitu terus? Gimana aku tau kalo kamu nggak ngasih tau, Kaak!?”
Haris terkekeh gemas. Akhirnya menyerah sebelum gadis di hadapannya berubah semakin gemas. “Apa?”
“Katanya keliling dunia, kenapa ke sini?”
“Lho, setiap inci jalanan ini juga bagian dari dunia, Gi. Kamu keliling di sini juga sama aja keliling dunia namanya,” balas Haris. Membuat Gia memutar matanya malas seraya terkekeh. Biarlah, Haris memang selalu punya caranya sendiri.
Seiring berjalannya waktu, langkah kaki Haris dan Gia berjalan semakin jauh. Kanan dan kiri tangannya perlahan mulai penuh, namun tak cukup untuk membuat Haris melepas tangan Gia begitu saja. Perlahan-lahan Gia mulai mengerti mengapa Haris mengatakan mereka akan keliling dunia. Sebab sesaat berikutnya, Gia menemukan restoran dengan plang nama Hawaii.
“Tuh, Gi, kita jalan kaki sampe Hawaii. Lurus lagi dikit nanti ke Cina.”
“Kaak, ih!” ucap Gia tertawa. “Loh, bener, kan? Itu liat, tuh, Cina di depan mata,” balas Haris. Dan lagi-lagi Gia tertawa.
Gadis itu ceria hari ini, sangat. Namun, Gia menangkap sesuatu yang lain dari Haris. Seakan pria itu sedang memikirkan sesuatu. Tetapi tak sopan rasanya jika Gia menanyakannya hari ini. Sebab Haris sudah susah payah mengesampingkan perasaannya sendiri demi kelancaran hari ini, dan Gia tentu tak ingin merusaknya.
Sudah sampai 'Cina', keduanya kini memutar balik dan memilih untuk pergi ke seberang jalan. Di mana lebih banyak jajanan yang, menurut Haris, lebih Gia-friendly. Dari sekian banyak, kakigori rasa stroberi dengan ukuran besar menjadi pilihan Gia. Satu mangkuk yang disantap berdua, karena perut Gia terlalu kecil untuk menampung semuanya.
Sepanjang waktu, Haris lebih banyak diam. Kedoknya adalah mendengarkan Gia bercerita, padahal benaknya masih bertarung. Haruskah ia mengatakan bahwa ada perempuan lain yang menghubunginya? Haris masih melamun, hingga tiba-tiba matanya menangkap sesosok yang sepertinya ia kenali. Vanessa.
Gadis yang baru-baru ini menjadi topik pembicaraannya dengan Gia dan Ojan karena kemunculannya. Juga yang membuat benaknya memerangi Haris sejak tadi. Benar, kah, itu Vanessa? Kalau iya, sedang apa gadis itu di sini? Kebetulan, kah?
“Kamu kenapa, Kak?” Pertanyaan Gia otomatis memecah lamunan Haris. Pemuda itu berjengit, kemudian menggeleng setelahnya. “Nggak.”
“Beneran? Dari tadi kayak ada yang dipikirin gitu? Kamu sakit?”
“Enggak,” tegas Haris. “Gia abis ini masih mau jalan-jalan?”
Seraya menyuapkan sesendok kakigori dingin ke mulutnya, Gia menggeleng. Haris tersenyum simpul, “Pulang aja, ya? Udah jauh banget mainnya sampe ke Cina, nanti dicariin Mama.”
Sesaat kemudian Gia menyetujuinya. Lagipula ada Papa di rumah, beliau bisa-bisa menjadikan Haris santapan malam kalau belum memulangkan Gia di atas jam 8 malam. Sementara Gia fokus memakan es di hadapannya, seseorang menyapa Haris dari sembarang arah.
“Haris? Haris! Hai!”
Haris terpaku, sementara Gia memandangnya bingung. Gadis itu menatap curiga pada perempuan yang terus menyapa Haris dengan riang, juga pada Haris yang bolak-balik menatap ke arahnya dan gadis itu. “Kamu di sini juga? Ini siapa?” tanya gadis itu.
Mendadak napsu makan Gia hilang. Harusnya ia yang melontarkan pertanyaan itu lebih dulu, kan? Haris masih diam, seakan memproses kejadian yang hadir layaknya kuis dadakan. Sementara Gia memperhatikan sosok di sebelah Haris dengan seksama. Seorang perempuan dengan tinggi semampai, berambut lebat nan bergelombang, dengan wajah yang seperti boneka. Cantik. Bahkan Gia tak berani menatapnya lama-lama. Tetapi rasanya Gia bisa menebak siapa perempuan ini.
“Lo ngapain?” Ah, akhirnya Haris memecah keheningan. Gadis itu mengerjap lugu, “Aku? Lagi iseng aja, Ris. Hang out sendirian. Tadinya mau sama temen-temenku tapi mereka pada sibuk,” jawabnya.
Gia diam-diam memutar matanya malas. Kekesalannya perlahan memuncak, begitu juga dengan napsu makannya. Tanpa sadar gadis itu melahap kakigori-nya dengan satu sendok yang menggunung. Persetan dengan ngilu atau sakit gigi. Gia bahkan bisa menelan mangkuknya hingga tak bersisa.
“Eh, by the way, kita belom sempet ngobrol lagi semenjak acara cup sekolah kamu. Aku DM kamu di IG, deh, Ris, nggak kebaca ya?”
“Mungkin ada di requested message tapi gue nggak pernah buka itu, sih,” ucap Haris. Sekon berikutnya pemuda itu menatap ke arah Gia. “Gue buka DM dari dia doang,” ucap Haris.
“Ah, gituu...” balas Nessa. “Aku tau dari Ojan juga, nomor kamu nggak ganti ya? Aku ada chat kamu juga tau. Masuk nggak?”
Haris menghela napas gusar. “Abisin, Gi.” Entah merujuk pada es yang Gia makan, atau pada perempuan yang kini berdiri di sebelahnya.
Gadis jelmaan boneka itu tersenyum ke arah Gia. “Oh, sampe lupa. Haii, aku Vanessa. Temen SMP-nya Haris dan dulu sempet deket juga. Dulu aku sama Haris prom bareng, loh. Kakak kamu waktu SMP galak banget!”
Vanessa. Mendadak Gia teringat satu nama. Sebaris nama yang sama dengan yang pernah muncul di notifikasinya. Sebaris nama yang pernah menjadi pembahasan dengan teman-temannya. Seseorang yang mereka curigai—mantan Kak Haris. Mendengar segala hal yang dipamerkan Vanessa, dan segala ke-sok tahu-an-nya, Gia hanya diam dan menatap bingung. Gia mengusahakan senyum simpul seraya membalas perkenalan Vanessa. “Aku Gia.”
“Gia?” Vanessa mengulangi.
“Iya. Tapi Kak Haris suka panggil Kalila, kadang-kadang Lily. Kalo yang dipake buat nama jersey-nya Maheswari.”
Kini giliran Vanessa yang menatap bingung. “Kenapa?”
Gia mengendikkan bahu seraya tersenyum simpul. “You can ask him yourself, Kak Nessa.”
Di hadapan Gia, Haris tersenyum miring menyambut umpan. “Nggak ada salahnya, kan, suka nama pacar sendiri?” ucap Haris. Setelahnya mereka tertawa bersamaan.
Haris menoleh, kembali melihat ke arah Vanessa. “Maaf, ya, Nes. Gue nggak pernah bermaksud kasar tapi menurut gue aneh aja lo tiba-tiba di sini. Apalagi gue tau fakta kalo lo stalk cewek gue, kemungkinan besar lo tau gue di sini karena liat SG-nya Gia,” Haris menjeda ucapannya. “In case lo lupa, gue pernah bilang kalo lo harus ninggalin perasaan lo buat gue ketika kita udah lulus SMP. Lanjutin hidup lo tanpa gue, Nes. Kenapa, sih?”
“Kita udah ketemu sebelumnya, gue yakin lo juga udah pernah liat gue sama Gia. Salah kira kalo dia adek gue won't do, Nessa. Lo cuma mau manas-manasin cewek gue, tapi lucunya lo pamerin hal-hal yang bahkan nggak pernah ada,” sambung Haris. “So with all due respect, jangan ganggu gue lagi, dan jangan ganggu Anggia!”
“Anggia pacar gue,” tegas Haris.
“Nonsense.” balas Nessa. “Kamu nolak aku berkali-kali, cuma buat pacaran sama orang kayak dia, Ris?”
Haris bangkit berdiri. Seakan menunjukkan siapa yang berkuasa di antara ketiganya. Pemuda jangkung itu memandang Nessa yang lebih pendek darinya. Matanya setajam elang, dan suara baritonnya kian mengerikan. “Berhenti. Sebelum lo jadi perempuan pertama yang lebam sama gue.”
Kemudian, seakan berubah 180 derajat, Haris menoleh ke arah Gia dengan tatapan teduh. “Udah abis? Yuk, pulang! Buang sampahnya, Anggi.”
Gia hanya menurut. Sebagai anak yang diajarkan sopan santun, Gia menundukkan kepala singkat guna menghormati Vanessa yang lebih tua. Tak lupa Gia tersenyum simpul. Segemetar apapun hatinya, lawannya tak boleh tahu. Ia harus menang—atau setidaknya, ia harus terlihat menang.