He Knows
Pria berbalut jaket hijau tua kesayangannya itu berdecak risih tiap kali Salsa mengamit lengannya. Sudah berkali-kali ia peringatkan Salsa untuk tidak sembarangan mengaitkan lengannya padanya, namun gadis itu tetap abai.
Keduanya kini tengah duduk seraya menanti pesanan di sebuah restoran sederhana pilihan Salsa, tentunya. Damar menatap ke sembarang arah dengan pandangan tak minat. Sementara Salsa asik dengan cermin kecilnya, sibuk memperbaiki penampilan.
Hari ini, Damar terpaksa menemani Salsa pergi ke toko buku. Telanjur janji. Bapak bilang, laki-laki harus bisa tanggung jawab akan ucapannya. Jadi, di sini-lah Damar.
“Kenapa sih, Dam? Kok kayaknya bete banget gitu?” tanya Salsa setelah merasa penampilannya sudah kembali paripurna.
“Nggak pa-pa,” jawab Damar singkat.
“Beneran? Lo sakit ya? Kalo nggak enak badan udah yuk kita pulang aja nggak pa-pa,” balas Salsa.
“Nggak, Sa. Gue nggak pa-pa,” ujar Damar agak kesal.
Salsa merengut, “Oke.”
Kemudian yang tersisa di sana adalah keheningan keduanya. Hingga Damar kembali membuka suara.
“Sa, gue mau nanya deh,” ujarnya. Salsa mengangkat alisnya. Seraya tersenyum, perempuan itu mengizinkan Damar melanjutkan kalimatnya.
“Lo kenapa waktu itu tiba-tiba ngirim rekaman itu ke gue?” tanya Damar.
Mata Salsa melebar sedikit. Gadis itu agaknya sedikit panik dengan pertanyaan tiba-tiba dari Damar. “Ya kan gue udah bilang, sebelum lo makin suka sama dia, mending gue kasih tau dia yang sebenernya tuh kayak gimana, Dam,” jawab Salsa lancar berbohong.
“Iyaa, maksud gue, kenapa lo tiba-tiba rekam dia gitu? Emang dia selama ini selalu ngomongin yang nggak-nggak soal gue?” tanya Damar. “Nggak, gini deh. Coba lo ceritain dari awal, kronologisnya gimana. Apa yang bikin lo tuh pengen banget nunjukin ke gue Aghniya tuh kayak gitu?”
“Y-yaa, oke, gini. Gue- lo tau kan, gue suka sama lo, Dam,” ucap Salsa.
Damar mengangkat sebelah alisnya, masih menatap Salsa dengan tatapan datarnya. “Okay, terus?”
“Aghni juga suka sama gue?” tanya Damar.
“Nooo, she hates you, selama ini dia baik sama lo cuma karena g-gue yang minta dia deketin lo.”
“Kenapa lo minta dia deketin gue? Kan kita udah kenal, kalo lo suka sama gue kenapa nggak lo deketin gue?” tanya Damar. Entah mengapa rasanya Damar ingin terus menginterogasi Salsa hingga gadis itu mengaku sendiri bahwa rekamannya palsu. Memang suara Aghniya, namun pasti gadis itu sudah menyulapnya sedemikian rupa hingga menyebabkan Damar termakan salah paham. Dan Damar hanya perlu Salsa mengakuinya, maka selesai.
“Kok lo jadi interogasi gue gini sih, Dam? Lo nggak percaya sama gue? Kan lo denger sendiri rekamannya rekaman Aghniya,” ucap Salsa defensif.
“Ya enggak, soalnya aneh aja. Tiba-tiba lo ngirimin gue gituan tanpa konteks apa-apa. Awalnya gue percaya, tapi setelah dipikir-pikir nggak masuk akal juga. Emang lo deket banget sama Aghni sampe bisa minta dia deketin gue untuk mewakili lo?” tanya Damar.
Salsa menghela napasnya, “Aghni dulu temen gue, Dam.”
“Sekarang?”
“Duhh, nggak tau deh! Lo bikin bete aja. Gue ke toilet dulu. Nitip nih HP,” gerutu Salsa. Ia bahkan sedikit membanting ponselnya hingga membentur meja. Beruntung bagian belakang ponselnya itu terlindungi oleh soft case. Setelahnya pergi meninggalkan Damar.
Damar terkekeh. Ia tahu Salsa hanya menghindari dirinya yang terus melontarkan pertanyaan hingga membuat gadis itu tersudut sendiri.
Layar ponsel Salsa yang menyala tiba-tiba menarik atensi Damar. Pria itu tak sengaja membaca notifikasi yang muncul di layar depan ponsel milik Salsa.
Revan Minta maaf sama Aghni, Sa
Revan Mau sampe kapan boong soal vn yang lo cut sedemikian rupa biar terdengar kalo aghni tuh nggak suka damar?
Revan They deserve each other
Revan Let them be. Kita yang harus mundur, sa. Mereka punya rasa satu sama lain dan kita nggak seharusnya ngerusak itu.
Damar mengerjapkan matanya, setelahnya membuang napasnya kasar. Dugaannya memang benar, Salsa memanipulasi rekaman itu. Damar sudah memikirkan ini sebelumnya, namun entah mengapa emosinya masih memuncak ketika mengetahui kebenarannya yang kini sudah terkonfirmasi.
Salsa kembali dari toilet dengan raut wajah yang terlihat lebih santai. Namun ekspresinya berubah seketika menjadi kebingungan kala mendapati Damar duduk di tempatnya seraya menatap tajam ke arah Salsa dengan ponsel milik gadis itu.
“Duduk,” titah Damar.
“Hm? Ha-HP gue?”
“Duduk,” titah Damar lagi. Salsa tak punya pilihan lain. Melihat raut wajah Damar, Salsa tahu pemuda itu sedang marah.
“Kenapa, Dam?” tanya Salsa.
“Ini apa?” Damar balik bertanya seraya menunjukkan ponsel Salsa yang menampilkan notifikasi dari Revan di layar. Salsa terperangah, kelabakan. Ia tak bisa mengelak lagi sekarang, Damar sudah mengetahui semuanya.
“Dam—”
“Bener kan, Sa, rekaman itu akal-akalan lo doang? Aghniya nggak beneran kayak gitu?” tanya Damar.
“Denger—”
“Gue nggak mau denger pembelaan lo, Sa. Jawab gue iya atau enggak?” tanya Damar lagi. Nyali Salsa kian menciut seiring menajamnya tatapan Damar. Dengan ragu-ragu dan penuh ketakutan, Salsa mengangguk kaku.
Damar memalingkan wajahnya, menyugar rambutnya frustasi. Setelahnya ia menyerahkan ponsel Salsa kembali pada pemiliknya.
“Gue balik, Sa. Abis ini jangan samperin gue lagi, gue nggak mau kenal lo lagi. Nggak peduli mama lo bertemen sama ibu gue,” ucap Damar. Setelahnya ia bergegas, meninggalkan Salsa sendirian.