Pulang Sekolah
“Kak Yunaaaaa,” panggil Aghniya pada Yuna, si ketua saman yang selalu ramah pada anggotanya. Yuna membalas sapaan gadis itu dengan ceria.
“Haii, ihhh udah masuk. Udah sehat kamu?” tanya Yuna. “Kemaren dirawat bukan?”
“Iyaa, Kak. Tapi udah nggak pa-pa. Lagian bosen juga lama-lama di sana. Cuma, aku belom bisa ikut latihan, Kak. Soalnya aku masih harus rawat jalan,” balas Aghniya.
“Ohh, iya nggak pa-pa. Aku ngerti lah, kamu juga masih lemes pasti. Nggak boleh kecapekan dulu, nanti drop lagi bahaya.”
“Aku hari ini izin ya, Kak? Aku mau ke rumah sakit sekarang,” ucap Aghniya lagi.
“Iya iya, izin aja. Kamu ke rumah sakitnya sendiri?” tanya Yuna.
Aghniya menggeleng, “Enggak, ini Papaku lagi jalan ke sini.”
“Oalaah, ya udah. Tunggunya di sini aja nggak pa-pa, duduk sini aja adem,” balas Yuna. Sementara Aghniya hanya mengangguk. Memang benar kata Yuna, lebih baik ia menunggu di ruang Seni Budaya yang dilengkapi pendingin ruangan dibandingkan harus berdiri di bawah matahari sore yang sinarnya menyilaukan mata. Belum lagi kondisi tubuhnya yang masih lemas, bisa-bisa nanti Aghniya pingsan mengingat bawaan tasnya yang berat hari ini.
“Aghniya ih kamu teh ke mana ajaaaa?” tanya Nadia.
“Aku sakit Nadiaa. Abis dirawat akutuu,” balas Aghniya menggunakan nada bicara yang sengaja dibuat mirip dengan nada bicara Nadia.
“Sakit apa, Agh?” tanya Nadia lagi.
“DBD, Nad.”
“Omaygat, tetangga aku juga anaknya DBD. Tapi udah lama, masuk rumah sakit tapi dia tuh panas banget badannya sampe kejang-kejang.”
“Astaghfirullah, gue enggak sih, Nad alhamdulilah..” balas Aghniya.
“Tapi lo panas sampe yang panas banget gitu nggak Agh?” tanya Nadia penasaran.
“Iyaa, tapi nggak sampe kejang sih,” jawab Aghniya lagi.
“Lo paling panas berapa kemaren?” tanya Nadia, gadis itu masih setia menginterogasi Aghniya yang baru saja sembuh itu.
“Berapa ya, 39 kayaknya.”
“OH WOWW, pingsan nggak Agh?”
“Enggak sih, ngigo iya, muter gitu loh. Pusing banget.”
“Lo nggak pernah pingsan dong Agh?”
“Enggak sih, belum. Lo pernah?”
“Pernah, waktu itu gue nganterin Mama gue ke pasar kan, itu tuh rame banget. Terus gue pusing tiba-tiba terus tau-tau gelap. Bangun-bangun gue di warung gitu dikerubungin orang. Mama gue udah nangis aja, panik,” cerita Nadia.
Tentu saja ceritanya membuat seisi ruangan tertawa. “Ih, gue kalo jadi emaknya mah gue tinggal. Malu! Malu-maluin banget jadi orang, pingsan di pasar,” ucap Ayesha.
“Ah kamu jangan gitu dong Ayesha. Gue juga nggak tau padahal gue tuh udah makan, tapi emang orangnya BUANYAK banget waktu itu jadi pusing,” balas Nadia.
Ini lah salah satu alasan Aghniya menyukai datang ke sekolah. Gadis itu bisa bertemu dan berbicara banyak dengan teman-temannya. Berbagi kisah yang entah terinspirasi dari mana, kejadian betul atau hanya bayang-bayang akan konspirasi yang memenuhi akal remaja SMA, dialami sendiri atau teman yang lain, dan sebagainya. Benar kata orang, mereka yang bilang merindukan SMA bukan merindukan pelajarannya. Namun yang dirindukan adalah suasana semasa SMA.
Obrolan diam-diam ditengah pelajaran, makanan yang secara gerilya dikonsumsi bersama di kolong meja saat guru menjelaskan, foto-foto aib teman yang tertidur di kelas, umpatan-umpatan kecil yang melayang di udara tiap istirahat, sepatu-sepatu yang berceceran ketika azan Zuhur berkumandang, kantin yang tak pernah sepi, topi dan atribut sekolah tak bertuan yang diperebutkan oleh siswa yang lupa membawa dari rumah, julukan-julukan untuk guru yang telah disepakati bersama, dan banyak hal lainnya. Itulah yang dirindukan.
Meskipun tak cukup lama, Aghniya selalu merindukan untuk kembali hadir di sekolah. Salah satu semangatnya untuk menghadapi dunia berasal dari sana. Bertemu dengan teman yang satu frekuensi, atau seorang yang terkasih, selalu membuatnya berhasil kembali menemukan sumber semangat baru untuk habiskan hari ini.
“Lo dirawat seminggu, Agh?” tanya Nadia. Sementara yang ditanya menggeleng sebelum memberikan jawaban lebih jelas. “Enggak, tiga harinya tuh gue bantuin nikahan Om gue dulu. Sampe Rabu tuh kan, nah balik-balik gue sakit. Jadi gue dirawat cuma sampe hari Minggu kemaren. Gue maksa pulang sih, bete di sana. Makanya ini masih harus rawat jalan soalnya takutnya belom sembuh bener gitu,” jelas Aghniya.
“Eeeh ilehh, bandel pisan. Aturan istirahat dulu Aghniya, di rumah aja gitu jangan sekolah dulu,” balas Nadia.
“Nggak betah di rumah dia, Nad. Kangen doinya,” ucap Ayesha membuat Aghniya membulatkan pupilnya.
“Eh, apaan lo! Kagak Nad boong!”
“Aiissshh, yang itu ya? Yang itu ya?”
“Apa sih enggak ih!”
“Aghniya doinya galak banget ih! Ako dimarahin mulu,” keluh Nadia.
“Apaseeeee emang doi gue yang mana?” tanya Aghniya.
“Ih? Yang itu kan Sha? Yang ketua kelas kita kan?” tanya Nadia pada Ayesha. Kemudian Ayesha mengangguk dan keduanya tertawa bersama.
Aghniya pada akhirnya tersenyum, tak sanggup lagi menyembunyikannya. “Emang dimarahin gimana?”
“Ya Allah gue cuma lupa nulis jurnal sehari aja dimarahinnya ampe besok-besok. Padahal gue udah bilang Iya Damar iya, udahhh hari ini udah ditulis tapi dia masih aja marahin gue kayak???? HE berisik lo Damar! Pengen gue gituin tapi gue tak-”
“EH SENSOR NAMA DONG MON MAAP,” ucap Aghniya panik. Membuat Nadia terperangah seraya menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Setelahnya gadis itu cengegesan, “Mian mian, lupaaa akuuu lupaaaa.”
“Emang ni mulutnya ember banget ni,” canda Ayesha. “MAAF IHHH, kelepasan,” balas Nadia.
Aghniya hanya menggelengkan kepalanya. Saat obrolan hendak berlanjut lebih jauh, Aghniya merasakan ponselnya bergetar. Dengan segera ia melirik layar ponselnya, rupanya ada panggilan masuk dari Aji.
Kemudian Aghniya bergegas pamit kepada Yuna dan teman-temannya yang lain lantaran mengetahui Aji sudah di depan sekolahnya. Secepat kilat, gadis itu menyusul papanya untuk kembali mengunjungi rumah sakit.