Konsekuensi

Keesokan harinya, Damar dan Dhimas bertemu. Keduanya memilih mengobrol sepulang sekolah di salah satu bangku yang menganggur, memilih mengobrol dengan gelagat santai dengan topik obrolan yang serius.

Damar menautkan jemarinya sendiri, memilih membungkukkan badan dengan siku yang bertumpu pada lututnya. Berbeda dengan Dhimas yang memilih bersandar pada kursi yang ia duduki seraya mengipasi dirinya sendiri dengan lengan panjang sweater yang ia bawa.

“Dhim,” panggil Damar. Sementara yang dipanggil melirik ke arah suara. “Paan?”

“Lo ngajak gue ke sini doang abis itu diem, ngomong kek,” balas Damar.

“Diem lo!” balas Dhimas. Damar menutup wajahnya frustasi

“Nggak, gini deh, Dhim. Gue tau gue salah, salah banget. Lo mau maki-maki gue, mau hajar gue sekalian, gue terima, Dhim. Maksud gue lo ngomong gitu, jangan diem aja kayak gini,” ucap Damar.

Dhimas menggeleng seraya tertawa meremehkan, “Gue nggak abis pikir aja gitu. Kenapa lo begitu, aneh tau nggak?”

Damar lagi-lagi menghela napasnya. Semua orang yang ia temui pasti menanyakan alasannya. Wajar. Pasalnya, Damar sudah terlalu lelah menjawab pertanyaan yang sama dan kemudian berakhir disalahkan lagi dan lagi. Pemuda itu jengah, Damar tahu dirinya salah. Rasanya ia ingin memohon pada orang lain untuk tidak terus memperjelas kesalahannya yang sudah ia sadari itu. Saat ini, Damar hanya perlu solusi, jawaban dari kegelisahannya. Bagaimana caranya meminta maaf, dan syukur-syukur ia bisa memperbaiki hubungannya dengan Aghniya.

“Iya, Dhim. Gue tau. Gue tau. Makanya gue pengen ketemu Aghniya, gue mau minta maaf sama dia,” balas Damar.

“Ngapain minta maaf?”

“Ya karena gue salah, Dhimm!” jawab Damar. Pria itu memilih menundukkan kepalanya dalam-dalam. Membuat Dhimas yang berada di sebelahnya dapat menangkap kefrustasian seorang Damar.

“Gue tau gue salah.. gue bodoh banget karena lebih milih percaya Salsa yang waktu itu bawa 'bukti' yang beneran nggak ketauan boongnya. Gue juga bingung, Dhim. Gue terlalu mentingin emosi gue sampe nggak bisa mikir bener lagi. Gue bikin Aghniya sakit hati, gue juga ingkar janji sama lo,” ucap Damar lagi. “tapi kalo lo mau nyalahin gue doang, kayaknya gue mending cabut aja deh, Dhim. Gue udah dapet itu dari semua orang soalnya. Mereka nyalahin gue terus berharap gue perbaikin semuanya yang gue nggak tau caranya gimana,” sambung Damar.

“Gue butuh solusi, Dhim. Seenggaknya gimana caranya gue bisa minta maaf sama Aghni. Udah itu aja,” ujar Damar lagi.

Setelahnya Dhimas terkekeh, kemudian meninju pelan bahu Damar di sebelahnya. “Addeeeeh, dongooo dongo.”

Damar terperangah, Dhimas nggak marah?

“Lo— nggak marah, Dhim?” tanya Damar.

“Marah lah. Marah banget gue sama lo. Gue juga jadi merasa bersalah sama Aghni soalnya. Gue kurang peka sampe nggak sadar kalo dia lagi nyimpen sesuatu,” balas Dhimas. Kemudian keduanya memilih diam.

“Aghni sakit,” ucap Dhimas kembali memulai obrolan. Sementara Damar menghela napas kemudian mengangguk.

“Dirawat, dan kayaknya bakal lama nggak masuk sekolah,” ucap Dhimas. “Gue tau lo pengen buru-buru ketemu dia, pengen ngomong sama dia. Tapi gue rasa lo jangan temuin Aghni dulu sampe dia beneran sembuh. Soalnya kalo lo ngajak ngomong dia sekarang juga pasti dia nggak bakal nyambung.”

“Aghni- sakitnya parah?” tanya Damar khawatir.

“DBD, yaa lumayan lah. Panasnya dari kemaren masih naik turun, Aghni-nya juga masih tidur terus. Kemaren diambil darah aja nggak bisa, kentel banget darahnya,” jawab Dhimas.

“Kok bisa kena DBD sih? Dari mana?”

“Pulang dari rumah lo dia naik ojol, terus ojolnya bannya bocor jadi harus mampir ke tambel ban dulu. Lumayan lama dia di sana, dia cerita sama gue dinyamukin. Kayaknya sih dari situ, ya namanya jalanan. Pasti ada aja lah penyakit,” jelas Dhimas.

Damar tertegun, oh so it's his fault too? Andai dirinya tidak menyuruh Aghniya pulang dari rumahnya saat itu, mungkin gadis itu masih sehat dan bisa hadir di sekolah seperti biasa. Lagi-lagi, Damar merasakan hatinya terisi dengan perasaan bersalah yang kian membesar serta penyesalan yang kian mendominasi hati kecilnya.

“Belom lagi dia juga kan banyak pikiran, kecapekan juga abis bantuin omnya nikahan. Pasti K.O lah, tapi gue pikir awalnya dia tipes kayak biasa. Nggak taunya DBD,” lanjut Dhimas.

“Gue nggak bermaksud bikin lo makin merasa bersalah, tapi- Aghni beneran nanyain lo, Dam,” ucap Dhimas seraya tersenyum tipis. “Kemaren gue ke sana, jenguk dia. Pas gue dateng kebetulan Aghni lagi tidur. Terus bener apa yang dibilang Bunay. Dia nanyain lo.”

Dhimas terkekeh sendiri mengingat bagaimana Aghniya mengigau saat ia menjenguknya kemarin. Gadis itu benar-benar meracau tidak jelas dalam tidurnya. Awalnya Dhimas tertawa terbahak-bahak lantaran racauan gadis itu yang tidak jelas. Namun, pada akhirnya ia tertegun sendiri mendengar pertanyaan Aghniya dalam tidurnya.

Bunay.. mau pegangan..

Papa.. ini kenapa muter semua sih..

Bun.. mau basreng jablai super

Bun... Damar masih marah ya? Aghni.. kangen

“Gue nggak ngelarang lo ketemu Aghni, kok, Dam. Nggak pa-pa kalo lo mau ketemu dia, mau minta maaf sama dia, tapi nanti. Tunggu dia sembuh,” ucap Dhimas.

“Gue pikir lo bakal nonjok gue,” ujar Damar seraya terkekeh.

“Tadinya. Tapi setelah dipikir-pikir, nggak usah lah. balas Dhimas. “Aghni nggak cerita sama gue biar kita nggak berantem. Kalo kita berantem-berantem juga sia-sia dong dia selama ini diem-diem?”

Damar tersenyum tipis seraya mengangguk menanggapi ucapan sahabatnya. “Tapi- lo seriusan nggak ngelarang gue ketemu dia? Gue pikir lo bakal minta gue jauhin Aghni,” ucap Damar.

“Gue kan bilang, jangan ketemu Aghni dulu kalo dia belom sembuh. Itu kan ngelarang juga,” canda Dhimas.

“Bukan, maksud gue-”

“Iye iye paham,” potong Dhimas. Pemuda itu terkekeh sebelum melanjutkan ucapannya, “Kalo soal itu, tadinya sih iya. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, kayaknya nggak deh. Dia juga pengen ketemu lo kayaknya, ngobrol lagi kayak dulu. Gue nggak mau jadi seseorang yang ngalangin bahagianya dia. Tapi, kalo nanti ternyata dia nggak mau maafin lo, gue nggak bisa bantu apa-apa ya, Dam. Soalnya gue juga nggak mau jadi orang yang bikin Aghni stay sama hal-hal yang bikin dia sedih.”

Damar menatap Dhimas yang selalu serius setiap kali membahas perihal Aghniya. Pemuda itu tak pernah main-main ketika mengatakan bahwa Aghniya adalah keluarganya. Dan ia akan melindungi gadis itu sebisanya.

Ketulusan Dhimas yang selalu hadir dalam setiap ucapan dan tatapannya pada gadis itu, membuat Damar malu sendiri. Benar kata Dhimas, ucapannya tak bisa dipercaya. Hari ini Damar sadar bahwa ia telah melupakan dua pesan bapak. Untuk selalu bertanggung jawab, dan mengikuti kata hatinya.

“Gue duluan ye, mau ke Aghni lagi,” pamit Dhimas. Setelahnya pria itu meninggalkan Damar sendirian.