The Day
Pantulan diri di cermin menyatakan bahwa Damar sudah siap untuk menemui Aghniya hari itu. Rambutnya sudah tersisir rapi—dan ia harap tidak akan berantakan selama di perjalanan, kemeja putih-biru dengan corak garis-garis yang dijadikan luaran membalut kaus putih sederhana di dalamnya pun turut membuat ketampanannya lebih terpancar. Pria itu menghela napasnya, membuat embusannya meninggalkan jejak di cermin. Setelahnya Damar menyugesti dirinya sendiri.
“Bismillah ya Allah, semoga nggak ngaco,” ucapnya bermonolog.
Setelahnya Damar keluar dari kamarnya, ia bertemu ibu yang sedang asyik bersantai di ruang keluarga. Ibu menoleh kala mendengar pintu kamar anaknya terbuka, setelahnya tersenyum dengan mata yang berbinar. “Aduhhh ganteng banget anak Ibu, udah mau jalan?”
Damar tersenyum bangga, “Iyaa. Gini aja nggak pa-pa, Bu?”
Ibu mengangguk pasti, “Iyaa, nggak pa-pa. Udah bagus, ganteng!” Sementara Damar hanya mengangguk paham seraya tersenyum. Setelahnya ia kembali memeriksa penampilannya sekali lagi.
“Udah nemu caranya, Mas?” tanya ibu.
“Udah, Bu. Tenang aja.”
“Pokoknya cara mengutarakan perasaan paling baik tuh dengan cara paling membuat nyaman. Mas Damarnya nyaman, dianya juga nyaman,” balas Ibu.
Damar mengangguk dengan kekehan kecil, “Iya, Bu. I'm doing it in my comfortable way, kok.”
“Oke kalo gitu. Ibu doain aja deh biar lancar. Itu buah naga buat apa, Mas?”
Damar mengangkat buah naga yang terletak di meja, “Oh, ini disuruh Dhimas. Katanya Aghni suka buah naga, tapi katanya kalo Aghni bingung, Damar suruh jawab lagi dikejar naga. Nggak tau deh tuh mau ngapain haha.”
Ibu ikut tertawa, “Emang aneh-aneh ya temenmu, Mas. Tapi seru ya? Pada mau bantu Mas Damar. Alhamdulillah temennya Mas Damar pada baik semua.”
“Iya, Bu. Emang mereka paling baik, deh. Walaupun ada-ada aja tingkahnya,” balas Damar seraya geleng-geleng kepala lantaran mengingat kelakuan teman-teman petantang-petentengnya.
“Ya udah, Bu. Damar berangkat ya?” pamit Damar pada ibu.
“Iya, hati-hati loh, Mas. Jangan lupa pake helm, jangan ngebut. Ibu takut banyak polisi,” ucap ibu kemudian mengusap kepala Damar yang mencium tangannya.
“Iya, Bu. Tenang aja, tenang. Aman aman. Ya udah, Bu. Berangkat ya? Assalamu'alaikum, Damar udah dikejar naga nih.”
Ibu terkekeh, “Wuu kamu juga sama, ada-ada aja. Wa'alaikumussalam!”
Dahh sayangg!
Ibu menoleh ke arah pintu mendengar suara Damar. Setelahnya ibu tersenyum lantaran mengetahui kebiasaan anak satu-satunya yang meniru suaminya setiap kali berpamitan. Kemudian ibu balas berteriak dari dalam.
“Ngawur!”