His Plan

Di sinilah seorang Yudhistira Damar. Duduk melamun di kasurnya yang empuk setelah teman-temannya pamit sehabis makan malam bersama dirinya dan ibu. Rasa syukur hinggap dalam hati karena hari ini meja makan tak perlu merasa kesepian lantaran seluruh kursinya terisi tanpa celah. Cerita-cerita mengenai aksi di sekolah, pertengkaran kecil berebut telur dadar buatan ibu, hingga diskusi serius mengenai rencana Damar, semua itu menyelimuti meja makan rumahnya hari ini.

Damar mengetuk-ngetukkan jarinya ke pelipisnya sendiri, berharap tindakannya dapat memunculkan ide cemerlang dari otak cerdasnya. Kini terngiang jelas ucapan ibu kala merek berkumpul di meja makan.

“Coba Mas Damar inget-inget, dia sukanya apa?” tanya ibu.

“Sukanya dangdutan, Bu,” jawab Dhimas seraya tertawa. Membuat ibu turut mengeluarkan senyum manisnya.

“Hooh, Bu. Pokoknya kalo di kelas Dhimas kedengeran lagu dangdut itu asalnya dari doinya Damar, Bu,” timpal Haris.

“enggak deng, sukanya basreng, Bu. Tiap hari kerjaannya beli basreng,” ucap Dhimas lagi.

Alis ibu berkerut, “Basreng? Basreng tuh apa sih?”

“Bakso goreng, Bu. Tapi nggak kayak bakso juga sih, kayak kerupuk lah, pedes gitu,” Ojan menjelaskan.

“Nah ini Ojan juga sering beli, Bu. Masa Ojan beli basreng ceban,” ucap Dhimas.

“Haduhh, nanti batuk loh kamu, Mass,” ucap ibu pada Ojan. Sementara yang dijadikan bahan pembicaraan hanya tersenyum dengan mulut yang baru saja menerima suapan nasi goreng.

“Eh udah weh, Aghniya kupingnya panas ntar,” ucap Haris. Lagi-lagi Damar membelalakkan matanya dan lantas memukul Haris karena baru saja nama pujaan hatinya tersebut di sana. Membuat seisi meja tertawa.

“Ooh, namanya Aghniya? Kok nggak cerita sih, Mass?” keluh ibu.

Damar menggaruk tengkuknya yang tak gatal, setelahnya ia tersenyum kecut, “Belummm. Niatnya tuh nanti aja Damar cerita sama ibu. Eh, udah telanjur bocor sama tiga orang ini, ya udah, deh.”

Ibu mengangguk paham, memaklumi Damar dan alasannya tidak memberi tahu ibu mengenai yang sedang ia alami dengan perasaannya. Ibu pun pernah muda, beliau mengerti bercerita mengenai perihal hati pada orang tua memang tak mudah. Setelahnya ibu tersenyum, “Kalo mau gampangnya sih ya, Mas. Mas Damar pikirin dulu dia sukanya apa. Terus, coba pikirin kalo Mas Damar jadi perempuan, kira-kira Mas Damar mau diperlakukan seperti apa. Menurut Ibu yang kayak gitu justru akan lebih berhasil dari pada cara-cara yang terlalu gombal. Terus, jadi dirimu sendiri aja, Mas. Perempuan juga nggak suka laki-laki yang terlalu pencitraan dan banyak omong. Atauu, Mas Damar lebih sukanya mengekspresikan perasaan lewat apa? Itu bisa dipake.”

Dan di sinilah Damar, termenung di kamarnya sendiri memikirkan ucapan ibu. Artinya ia harus memikirkan apa yang Aghniya suka, serta bagaimana ia ingin diperlakukan jika dirinya adalah seorang perempuan. Terngiang pula pesan Mbak Wulan untuk meminta maaf dengan tulus tanpa meminta apapun. Terakhir, kalimat ibu mengenai cara apa yang membuatnya paling nyaman dalam mengutarakan perasaannya menjadi dengungan paling keras.

Damar termenung, setelahnya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, barang kali ada benda yang dapat membangkitkan inspirasinya. Pandangannya terhenti pada sebuah gitar yang tergantung di dinding kamarnya. Gitar yang biasa ia gunakan untuk bersenandung di malam hari bersama bapak, atau sendirian. Gitar yang membantunya mewakili perasaannya melalui senar yang dipetik dan lantunan suaranya sendiri di udara. Kala jatuh dan mencinta, kala patah hatinya, kala menyesal perasaannya, dan mungkin sekarang ketika permintaan maafnya harus disampaikan.

Damar tersenyum sumringah, ia tahu harus melakukan apa. Dengan segera pria yang kini sudah bersweater hitam itu menyambar gitarnya, kemudian mengutak-atik ponselnya guna menelusuri playlist-nya sendiri. Mencari lagu apa yang cocok digunakan untuk permintaan maaf, tetapi dapat sekaligus menyalurkan perasaannya barang sedikit.

Damar mendengar satu persatu kandidat lagu yang ia rasa cocok. Menelaah semua baris lirik yang tercantum di sana hingga pilihannya jatuh pada sebuah lagu yang menurutnya tepat. Setelahnya Damar mengetikkan sesuatu pada mesin pencarian di internet, pemuda itu mencari chords dari lagu yang ia pilih.

Setelahnya, Damar tak henti-hentinya tersenyum. Harapan dalam hatinya kembali penuh. Dengan cara ini, ia berharap dapat mendapatkan kembali maaf dari gadis pujaannya.

Dan di sinilah Damar, berlatih sepanjang malam guna melancarkan rencananya.