Not As Crazy As You Are

Pulang bimbel, Adelia mencoba kembali peruntungannya. Gadis itu meraih ranselnya sebelum memberanikan diri menghampiri Dhimas yang melangkah lebih dulu menuruni tangga. Membuat Adel menjadi yang paling terakhir keluar kelas. Namun, Adelia otomatis menahan suaranya ketika mendapati Dhimas lagi-lagi bersama Nazma. Keduanya berbincang entah apa.

Gadis itu tahu Dhimas memang seorang yang mudah bergaul. Dhimas bisa berteman dengan satu dunia jika ia mau, saking supelnya. Tapi Nazma? Adelia baru tahu bahwa selain cantik dan super pintar, Nazma juga seorang dengan selera humor yang sama dengan dirinya dan—Dhimas? Sungguh pemandangan yang tidak mengenakan tersuguh di depan matanya. Dhimas dan Nazma bercanda berdua sembari menyusuri anak tangga. Sesekali gadis itu memukul bahu Dhimas pelan seraya tertawa. Apa yang lucu?

Adel memberanikan diri, ia meraih lengan Dhimas seraya memanggil namanya pelan. “Dhim,” ucapnya. Dhimas sedikit berjengit, begitu juga Nazma. Keduanya menoleh dan menjadikan Adelia pusat perhatian. Namun tatapan Adelia berpusat hanya pada Dhimas. Mendadak lidahnya kelu. Sejujurnya Adel pun tak tahu apa alasannya memanggil Dhimas. Haruskah ia menanyakan alasan perubahan sikap pemuda itu? Tapi—haruskah ia menanyakannya di depan Nazma?

Sadar bahwa dirinya menjadi penghalang, Nazma tahu diri. “Dhim, gue duluan ya,” ucapnya. “Duluan ya, kamu,” ucapnya lagi—pada Adelia. Membuat Adel otomatis berdecih dalam hati. Sok baik.

“Iya, hati-hati ya, Naz.”

Satu kalimat dari mulut Dhimas membuat mata Adel melirik tajam pada sang pemuda. Namun mulutnya tetap bungkam menahan protes yang sedari tadi sudah hampir meledak. Hampir saja ia marah, namun berhasil redam lantaran tatapan Dhimas yang dingin kini terarah kepadanya. “Kenapa?”

“Kayaknya dia suka, deh, sama lo,” ucap Adel spontan. Dhimas, di hadapannya, mengernyitkan dahi. Bingung, sekaligus tak percaya akan apa yang baru saja diucapkan Adel. “Apaan, sih, Del?”

“Ya, orang gue perhatiin dari tadi dia nempel banget sama lo? Tadi juga pas lo maju dia merhatiinnya gitu banget? Dia senyum-senyum ngeliatin lo, Dhimas. Jelas banget itu, tuh, dia suka sama lo. Kalopun enggak, pasti udah ada sedikit ketertarikan gitu!”

“Gila kali, ya?” balas Dhimas. “Gue sama dia aja baru ketemu hari ini, Del. Mana mungkin, sih, dia suka sama gue? Jangan aneh-aneh!”

Malas ribut lebih jauh, Dhimas memutuskan untuk meninggalkan Adel sendirian. Namun gadis itu pantang menyerah. Adelia masih membuntutinya. Pokoknya ini harus dibahas hingga tuntas. “Gue juga naksir lo pas baru liat lo! Pasti dia juga!”

Dhimas memandang Adel tidak percaya. Setelahnya terkekeh pelan. “Lo kenapa, sih, Del?”

“Lo yang kenapa, Dhim? Dari tadi gue ajak ngomong lo kayak menghindar gitu!”

“Nggak pa-pa,” balas Dhimas singkat. “Udah, ya, Del. Gue capek, mau balik. Gue duluan.”

“Dhim, gue belom selesai ngomong.”

Pemuda itu berbalik. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari Adelia yang berada di anak tangga lebih tinggi. Tangan kanannya memegang sebelah strap ransel yang disampirkan di pundak agar tak jatuh. “Apa lagi, Del? Lo masih mau bilang Nazma suka sama gue? Cuma gara-gara gue ngobrol sama dia hari ini? Cuma gara-gara gue bercanda sama dia hari ini?”

Adelia terdiam.

“Del, gini, ya,” ucap Dhimas lagi. “Just because it happened to you, bukan berarti orang lain juga sama.”

“Nggak semua orang gila kayak lo, Del.”

Dan Dhimas pergi melanjutkan langkahnya. Pemuda itu benar, tidak semua orang segila itu, Adelia.

But if only he knew, Nazma adalah Adelia. Keduanya cantik, dengan selera humor yang sama.

Nazma adalah Adelia— . . . —If she was smarter.