Not As Crazy As You Are

Sepanjang perjalanan, Dhimas benar-benar ber-multitasking. Pemuda itu mengendarai motor seraya menggunakan kemampuan otaknya untuk memikirkan tempat di mana kira-kira Adelia berada. Belum lagi ia harus mengesampingkan detak jantungnya yang tidak karuan. Dhimas menggali ingatannya perihal ucapan-ucapan Adel tentang kebiasaannya. Ke mana gadis itu biasanya mampir sepulang sekolah, ke mana gadis itu biasanya membeli makanan kesukaannya, ke mana gadis itu biasanya pergi untuk sekadar jalan-jalan, dan—ke mana gadis itu biasanya melipir dari kalutnya dunia. Mendadak Dhimas teringat akan sebuah taman tak jauh dari tempat bimbel. Tempat di mana keduanya pertama kali berbincang secara akrab sambil makan cimol dan tahu. Adel bilang ke sana-lah ia 'bersembunyi'. Maka dengan segera Dhimas tancap gas menuju tempat yang ada di benaknya itu.

Sesampainya di sana, taman sangat sepi. Wajar, siapa yang mau ke taman pukul sepuluh malam? Matanya memindai setiap sudut taman. Hingga ia menangkap sosok perempuan dengan cepol asal-asalan, sedang memegang plastik berisi es teh manis dengan tatapan kosong. Dhimas menghampirinya. Dengan sengaja ia berdiri di hadapan Adelia, menghalangi cahaya lampu taman menerpa wajahnya. Adel mendongak, namun tak merespon apa-apa. Gadis itu masih sibuk menyedot es teh manis yang masih lumayan banyak.

“Kenapa nggak pulang?”

“Kenapa ke sini?”

“Lo tau nggak sekarang jam berapa?” tanya Dhimas.

“Tau, jam sepuluh. Mungkin lebih, tadi gue nanya sama tukang nasi goreng,” jawab Adel. Dhimas melirik sekilas pada tukang nasi goreng di sisi jalan lain. Hatinya sedikit lega, setidaknya Adel sudah makan.

“Kenapa diteleponin nggak diangkat? Mama lo nyariin, Haris nyariin,” ucap Dhimas. “Gue nyariin,” tambahnya.

Adel lagi-lagi mendongak. Pucat. Wajah pemuda itu sangat pucat. Kekhawatiran tercetak jelas pada setiap inci raut wajahnya. Mendadak Adel ikutan panik, “Lu kenapa, anjir!? Sakit!? Pucet banget muka lu!”

“Gue nyariin lu!”

“Lah? Ngapain?”

“Kok ngapain!? Ya nyariin! Ke mana aja dari tadi jam delapan sampe jam sepuluh belom pulang? Mana nggak bilang siapa-siapa, emang lo pikir orang nggak khawatir!? Mama lo nyariin!”

Adelia tercengang. Setelah sekian lama, ada orang selain Mama dan Haris yang memarahinya karena menghilang tanpa kabar. Keduanya saling menatap lurus. Dhimas dengan tatapan tajamnya dan napas tersengal, sementara Adelia dengan tatapan tercengangnya. “Lo—tau dari mana gue di sini?”

“Gue inget lo pernah bilang kalo lagi males sama semuanya lo ke sini. Kayak gue ke Lapangan Banteng.”

“Lo inget?”

“Ayo pulang. Udah malem, emang nggak takut setan apa lo?” ujar Dhimas. Adel terkekeh, “Terlalu sedih buat takut setan.”

“Sini duduk,” ucap Adel seraya menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Banyak tempat kosong lain, tapi Dhimas harus di sebelahnya. “Muka lu pucet banget gitu,” lanjut Adel. Setelahnya gadis itu menarik lengan Dhimas pelan. Lengannya saja bahkan terasa dingin. Entah sepanik apa seorang Dhimas Wijaya malam itu.

Dhimas kini duduk di sebelahnya, pemuda itu mengatur napas dan detak jantungnya yang sedari tadi tidak beraturan. “Kenapa sedih?” tanyanya kemudian.

“Lo kenapa tadi nyuekin gue kayak gitu? Gue tanya juga galak banget jawabnya. Lo marah sama gue?”

Benar-benar tidak ada yang segila Adelia. Mana jawaban 'nggak pa-pa'-nya? Mengapa ia malah semudah itu menjawab pertanyaan Dhimas? Bukankah harusnya Dhimas menerima tebak-tebakan yang lebih sulit lagi?

“Iya. Sebel aja, sih. Lo tadi keluar gerbang sama siapa? Gue nungguin lo panas-panasan, silau, sampe diusir satpam lo karena ada mobil mau keluar. Lo malah keluar sama cowok lain. Mana ganteng banget lagi.”

Sontak Adel menoleh. Didapatinya wajah Dhimas yang cemberut, menggemaskan. “Hah? AHAHAHAHAHAHAHAH! DIHH, KENAPA NGGAK BILANG?”

“Males, kan, malah diketawain.”

“Iya, iyaaaa, bercanda. Itu sepupunya Koh Gil, namanya James. Tadi dia nanyain tugas gambar aja, kok. Gue deket sama dia juga karena sering main biasa aja. Karena dia sepipunya Koh Gil, jadi sering main juga sama Cipon. Gituuu!! Nggak ada apa-apa,” jelas Adel. Membuat Dhimas malu. Benar kata Damar, didaftarin bimbel mahal-mahal masih tetep bodoh.

“Maaf ya,” ucap Dhimas. “Maaf gue jadi nyuekin lo gitu. Harusnya gue tanya langsung dari tadi, tapi gue sebel duluan.”

“Lo sedih karena gue cuekin? Atau karena gue main sama Nazma?” tanya Dhimas lagi. “Dua-duanya,” kata Adel sedih. “Gue sedih karena lo cuekin dengan cara lo main sama Nazma. Gue serius waktu bilang dia suka sama lo, pasti dia udah tertarik sama lo. Matanya, tuh, keliatan, Dhim!”

“Ya udah biarin aja, lah, Del. Kan lo udah duluan bikin gue suka. Lagian, kan, gue bilang, nggak semua orang gila kayak lo. Nazma enggak, makanya gue nggak suka.”

Adel memandang Dhimas skeptis. “Idih, idih.” Keduanya kemudian tertawa bersama.

“Tapi Nazma pipinya juga sama kayak lo tau,” ucap Adel lagi. “She could be your mochigirl.

Dhimas berdecak pelan, “Gue, kan, pernah bilang. Gue lebih suka rosemary.

Kedua alis Adelia bertaut, “Rosemary?

“Nanti gue kasih tau,” ucap Dhimas jahil. Setelahnya pemuda itu bangkit dan menepuk-nepuk celananya agar tidak kotor. “Pulang dulu, dari tadi Haris udah marah-marah. Nanti lo makin dimarahin kalo pulangnya makin malem.”

Adel akhirnya memilih pasrah. Gadis itu mau tak mau ikut bangkit dan membereskan sampahnya. Namun sekon berikutnya ia menghela napas. “Sama Haris aja takut. Dia, mah, emang kerjaannya marah-marah. Biarin aja, nggak usah dikabarin. Biarin aja dia panik sampe besok.”

Mendengar itu, Dhimas tersenyum dalam hati. Benar-benar tidak ada yang segila Adelia.