Ospek

Kesal dan lelah dengan drama buatan teman-temannya yang setara dengan opera sabun, Haris memutuskan untuk menghampiri ketiga manusia merepotkan itu. Asumsinya, mereka masih di kantin. Haris berdecak malas, harusnya ia sudah mengantar Gia pulang. Namun ia tahu, jika tidak diladeni, teman-temannya itu bisa berulah lebih parah. Bisa-bisa biaya makan satu kantin itu tiba-tiba merobek sakunya.

“Weh,” sapa Haris, membuat ketiga cecunguk itu kompak menoleh melihatnya. “Udah, sih, jangan ngambek-ngambek nggak jelas gitu. Apa banget, dah, lu!”

“Is, kalo kita sebagai lelaki udah nggak boleh merasa, gue nggak tau, sih—di dunia macam apa kita hidup,” ucap Dhimas.

Dramatis, cibir Haris diam-diam.

“Iya, kan?” timpal Ojan. “Lagian ngapain, deh, ke sini? Masih nganggep temen emangnya?”

Haris menghela napasnya. Bicara dengan dua pemain telenovela seperti Ojan dan Dhimas, tidak akan ada habisnya. Maka Haris melihat ke arah Damar yang sejak tadi diam dengan wajahnya yang—minta ditampol. Haris tahu wajah asli Damar ketika marah tidak seperti itu. Pemuda itu hanya ikut-ikut mempermainkannya.

“Dam,” panggil Haris.

“Pulang, yuk. Udah sore,” ucap Damar tiba-tiba. Dhimas dan Ojan pun mengangguk setuju. Ketiganya kemudian kompak bangkit. Namun Haris berdecak. “Eh, udah, sih. Jangan ngambek gitu.”

Pergerakan teman-temannya berhenti. Haris lagi-lagi membuang napasnya. “Iya, gue minta maaf nggak bilang-bilang. Soalnya gue takut Gia kabur lagi,” ucapnya.

Haris menghentikan ucapannya kala mendapati gerakan teman-temannya terhenti. Dhimas menghampiri Haris, memutarinya selayaknya seorang kakak-kakak OSIS yang memeriksa atribut ketika LDKS. “Angkat celananya!”

Entah kenapa Haris merasa sedikit takut. Diturutinya permintaan Dhimas, membuat Dhimas mengangguk-angguk. “Bagus, ya, kaos kakinya nggak pendek. Sepatunya juga item semua. Celananya juga nggak ngatung, nggak ketat—pernah kena gunting, kan, ya?”

“Pernah...”

Melihat sesuatu yang merah menyala menyembul dari saku celana Haris, Dhimas iseng. “Itu apaan? Keluarin, keluarin!”

Lagi-lagi Haris menurutinya. Dikeluarkannya tiga bungkus beng-beng dari saku celananya. Baru ia beli sepulang sekolah, simpanan amunisi untuk esok hari ketika menjumpai adik kelas favoritnya. Namun sayang, di hadapannya Dhimas sudah menadahkan tangannya. Meminta ketiga benda itu untuk diserahkan padanya. Dan Haris tak berani memberi perlawanan.

“Ngapain lu beli beng-beng sampe tiga biji? Sakit gigi ntar, tau rasa lu!” ujar Dhimas. “Nih, Dam, Jan. Pas, tuh, tiga. Satu-satu, yak!”

Haris memejamkan matanya, kesal sekaligus patah hati menyaksikan beng-beng yang ia siapkan untuk Anggia malah menjadi santapan para hyena. “Pelit ya dia. Punya makanan nggak pernah mau bagi-bagi, kuburan lu sempit, Ris, ntar!” ucap Ojan disela kunyahannya.

“Ya, kan—”

“Siapa suruh ngomong? Orang lagi diospek, nggak boleh ngomong tanpa izin!” ujar Damar. “Pernah ospek, nggak?” lanjutnya.

“Tau, nggak sopan, nih!” Ojan semangat mengompori. “Tapi atributnya lengkap, ya. Dasinya ada, ikat pinggang masih dipake, bajunya masih rapi, ganteng—ya, lumayan, lah. Kurangnya apa ya?”

“Kurang adab aja ini orang, pacaran nggak bilang-bilang temennya sendiri. Berbulan-bulan lagi,” ucap Damar.

“Duduk!” titah Dhimas. Sok kuasa, tapi biar, lah. Sekali-kali ia ingin merasakan power abuse terhadap Haris.

Haris duduk pada akhirnya. Di hadapannya kini duduk teman-temannya yang bersebelahan. Gayanya sudah seperti preman penguasa kantin. Satu kaki Ojan bahkan naik ke atas kursi, lengkap dengan tangan kirinya yang disampirkan di bahu Damar. Ketiganya menatap Haris tajam.

“Kenapa lu pacaran nggak bilang-bilang?”

“Gimana lu nembaknya? Kapan, dah?”

“Kok bisa Gia mau sama lu?”

“Satu-satu, dong!” ucap Haris. “Iya, gue jawab semua, gue jelasin semua.”

“Gue minta maaf karena ngumpetin semuanya dari kalian. Tapi, bukan cuma lo, kok. Adek gue juga nggak tau, mama gue juga nggak tau. Sama kayak lo semua, mereka cuma tau gue lagi suka sama Gia. Waktu itu gue bilang suka, Gia kabur gitu aja. Abis itu gue usaha banget, buat deketin dia lagi. Sampe gue ngerasa kalo Gia beneran takut sama gue, akhirnya gue memutuskan buat ngejauh aja. Gue bilang sama Gia, gue nggak minta jawaban dia, gue cuma mau bilang kalo gue suka sama dia. Habis itu gue beneran nggak interaksi sama Gia, sampe akhirnya Gia sendiri yang chat gue. Dia bilang ada yang mau diomongin,” jelas Haris. “Gue ngomong sama dia pas ambil rapot bayangan, sebelum orang tua kita semua dateng. Gue nunggu depan gerbang sama Gia.”

Ceritanya terhenti sesaat, mata Haris mendadak berbinar mengingat saat paling berkesan untuk dirinya yang sudah lama hancur. “Waktu itu Gia nanya kenapa gue bisa suka sama dia, gue jelasin semuanya. Gue suka sama Gia karena dia refreshing, habis itu gue bilang kalo suka sama dia, tuh, gampang banget. Abis itu dia bilang kalo sebenernya dia juga suka sama gue. Terus gue tembak, terus dia terima. Tapi ya, gitu, dia minta dirahasiain aja dulu,” jelas Haris. “Tindakannya ada benernya, karena as soon as gue reveal hubungan gue sama Gia, ada orang yang chat Gia nggak-nggak. Sejujurnya Gia juga takut sama lo semua, karena ngeliat balesan lo di reply section Twitter gue. Tapi udah gue jelasin, sih, lo semua emang nggak ada otaknya.”

“Maksud lu apa, jing?!” Ojan tersulut. “Bercanda,” balas Haris.

Sorry ya, gue beneran minta maaf. Tapi gue nggak pernah bermaksud buat boongin lo semua, kok,*” lanjut Haris lagi.

“Ya elaaaaaaaaaah, saaaantot*, Riss!” ucap Ojan.

Hus!” omel Damar. Sementara yang ditegur hanya nyengir kuda. “Santai total, Dam,” jelas Ojan.

“Nggak, sih, Ris. Kita, mah, nggak masalah sebenernya. Lo-nya aja drama banget,” timpal Dhimas.

Gue? Drama? Nggak ngaca ini orang.

“Iya. Kita mau iseng aja. Udah lama nggak ngerjain orang, sekali-kali lu yang jadi korban nggak masalah, kan?” tambah Damar.

Ketiganya nyengir, kecuali Haris yang kini menahan kesal. Namun pria jangkung itu hanya bisa pasrah. Sekon berikutnya, Damar, Dhimas, dan Ojan bersiap-siap untuk pulang. Ketiganya bangkit meninggalkan Haris yang masih duduk dengan bingung. Kemudian Damar menepuk-nepuk bahu Haris. “Udah, santai aja. Yang tadi bercanda doang. Kita ikut seneng kalo lo seneng. Yang bener sama Gia, gue doain langgeng.”

“Makasih, Dam.”

“Sama-sama,” serobot Ojan. “Btw, Ris, tadi kita makan mie. Tolong bayarin, ya! Pake telor semua tadi, sama gue nambah nasi,” ucap Ojan lagi. Dan setelahnya, Damar, Dhimas, dan Ojan kompak meninggalkan Haris yang masih mencerna ucapan terakhir Ojan.

“SEMPRUL LO SEMUA!”