LDKS – Day 1 : Api Unggun

Gia tak pernah merasakan hari yang begitu panjang dan melelahkan, kecuali hari ini. Tanpa berbekal jam tangan maupun ponsel, gadis itu hanya bisa menerka-nerka pukul berapa sekarang. Setelah dibuka dengan apel pembuka bersama kepala sekolah sekaligus pelepasan, mereka berangkat menuju lokasi LDKS yang letaknya berada di salah satu kaki gunung. Gia tidak ingat betul, sebab surat izin yang diserahkan padanya itu langsung ia sampaikan kepada mama tanpa membaca isinya lebih dulu.

Tak ada yang lebih seru rupanya dibandingkan berangkat menggunakan tronton. Berbaur dengan kelompok lain, banyak kepala dengan banyak kepribadian. Gia banyak tertawa lantaran banyak anak lelaki dengan tingkah ajaib. Tubuh terpelanting ke sana dan ke mari, harus saling berpegangan ketika mobil bermanuver ke kanan dan ke kiri, kepala terbentur dengan jendela besi tronton, tertampar ranting pohon yang berhasil meloloskan diri ke jendela hingga mengenai wajah, menjadi plus minus menjadi penumpang di sebuah tronton.

Tapi Gia menikmatinya, belum tentu ia bisa menikmati fenomena semacam ini lagi pada masa yang akan datang, bukan? Beruntung ia mendapat kursi, terima kasih kepada Alwan yang selalu rela berkorban untuknya. Pria itu memilih lesehan bersama teman-teman lelakinya yang lain. Yang pada akhirnya kadang harus tertimpa tas carrier yang ditumpuk dan didempetkan di bagian pojok tronton ketika mobil itu dalam posisi menanjak.

Seolah hari penuh penderitaan, sesampainya di lokasi, mereka bahkan tak diizinkan untuk jalan biasa. Jalan jongkok adalah jawabannya. Dengan tas yang berisi beban entah berapa kilogram, mereka harus berjalan jongkok hingga mencapai aula. Banyak yang mengeluh, tentunya. Namun hanya akan dibalas, “Jangan manja! Jaman kita dulu lebih parah dari ini, kalian harusnya bersyukur!”

Setelah jalan jongkok, jangan harap akan mendapat apresiasi karena berhasil menahan beban dan melewati ujian paling awal. Sebab yang didapatkan malah ocehan sang ketua OSIS yang rupanya sudah menanti di aula. “Lelet banget! Jalan dari depan ke sini aja lama banget!

Ucapan Haris kini terngiang-ngiang di kepala, inilah ajangnya ketika kesalahan sekecil apapun akan dikejar hingga puas. Kalau bisa, jangan ada ujungnya. Inilah ajangnya ketika senior tidak pernah salah. Bahkan tertera pada peraturan yang dibuat saat itu juga. Bahwa satu, bahwa senior tidak pernah salah. Dua, ketika senior salah, maka kembali ke pasal pertama.

Beradu argumen perihal siapa yang pantas menerima hukuman antara kakak pembimbing yang tidak mengingatkan dengan benar atau adik kelas yang tidak mendengarkan aturan, diejek kakak kelas sebab rela membiarkan teman satu angkatan dihukum, berganti baju lima menit dengan ruangan seadanya dan manusia yang bejibun, Gia baru kali ini merasakannya. Panik, mau pulang, hanya itu yang bersemayam di pikirannya saat ini. Yang menguatkannya adalah ketika melihat wajah-wajah sahabat karibnya, Alwan dan Zahra yang sama sekali tak gentar bahkan ketika dibentak di depan wajah. Gia harus benar-benar belajar pada keduanya.

Setelah setengah jam yang berhasil menguras tenaga dan pikiran bahkan tanpa melakukan gerakan apapun, pada akhirnya penderitaan itu usai. Atau lebih tepatnya, ditunda untuk sementara. Kini mereka fokus duduk dengan barisan rapi memenuhi aula. Menghadap pada sebuah proyektor yang menampilkan materi dari berbagai sumber berbeda yang katanya juga alumni dan guru, Gia menyimak dan mencatat semua materi dengan baik. Memastikan tak ada satu kata pun yang terlewat. Takut-takut akan menjadi sebuah pop quiz pada suatu waktu.

Tak ada istirahat selain makan dan ibadah. Beruntung Gia sedang dalam masa datang bulan hari itu, sehingga ia bisa memiliki waktu santai walaupun hanya sekitar lima menit. Yaitu ketika yang lain melakukan ibadah wajibnya. Hari pertama rasanya penuh dengan penyampaian materi. Mulai dari materi leadership, manajemen waktu, kenakalan remaja, dan lain-lain yang sebenarnya cukup membuat kelopak mata Gia berat akibat kantuk namun berusaha ia lawan sekuat tenaga.

Sesekali gadis itu berdecak kagum pada mereka yang berani aktif, sebab dirinya sama sekali tidak memiliki kemampuan itu. Untuk tampil pada acara api unggun saja ia harus berkali-kali latihan di depan kaca, juga di depan Zahra dan Aghniya. Gia mengaku kalah ketika harus dengan spontan mengacungkan tangan dan mengajukan pertanyaan di hadapan banyak orang. Nyalinya tidak sebesar itu. Gia hanya bagian memberikan tepuk tangan pada Kak Dhimas, Kak Haris, Alwan, Zahra, bahkan Alfi yang mewakili kelompoknya.

Tak terasa, hari sudah gelap. Mereka baru saja menyelesaikan ibadah isya dan makan malam bersama. Kini semuanya masih menetap di tempat yang sama, tak ada yang bergerak sebelum disuruh mengingat itu hanya akan menimbulkan masalah baru.

“Udah selesai semua makannya?” tanya Yuna.

“Sudah, Kakk!”

“Oke, dibersihin sampahnya. Dirapiin, jangan sampe ada sebutir nasi pun yang ada di lantai ya! Masukin ke trash bag, jangan kalian yang bangun! Nanti kakaknya yang nyamperin, ngerti?”

“Ngerti, Kak!”

Selang beberapa menit, sampah-sampah bekas makanan itu selesai dibersihkan. “Ada yang mau nambah minum lagi nggak?” tanya Yuna. “Nggak pa-pa serius, ini bukan pertanyaan jebakan. Sini kalo mau maju, perwakilan aja. Ambilin buat temennya sekalian.”

“Kak, saya mau boleh nggak?” tanya Alwan. Berani sekali memang. Cocok menjadi anggota OSIS, pikir Gia. Yuna mengangguk, “Ya, sini!”

Setelahnya Yuna menyerahkan satu botol air mineral berukuran dua liter yang hanya terisi setengahnya. “Abisin, harus kebagian semua satu kelompok!”

“Makasih, Kak.”

“MINUMNYA NEMPELL!! Nggak ada jijik-jijik!” seru Vio dari depan. Membuat beberapa orang berjengit di tempatnya lantaran terkejut.

“Ini, yang cewek-cewek dulu aja,” ucap Alwan memberikan botol minum itu pada Dinda yang berada di sebelahnya. “Tapi tau diri ye, yang cowoknya sisain!”

Setelah selesai dengan urusan makan dan minum, kini mereka kembali duduk berbaris seperti saat mendengarkan materi. “Oke, udah pada makan semua?” Ucap Vio yang kini mengambil peran.

“Udah, Kak.”

“Kenyang?”

“Kenyang, Kak.”

Pemuda yang menjadi pusat perhatian dengan penampilannya yang paripurna itu menganggukkan kepala. Sembari kembali menggulung lengan almetnya hingga menampakkan lengannya yang entah bagaimana terlihat gagah itu, Vio kembali bersuara. “Sekarang kalian boleh balik lagi ke ruangan masing-masing, santai aja nggak usah buru-buru. Ambil jaketnya, terus balik lagi ke sini. Paham?”

“Paham, Kak!”

“Mulai dari kelompok satu dulu, yang paling deket pintu. Nggak usah lari, di luar gelap! Kalian nggak tau nanti nginjek apa, nanti luka, kami yang tanggung jawab. Kalo udah balik lagi jangan lupa lapor sama kakak pembimbingnya!” titahnya lagi.

Membutuhkan sekitar sepuluh menit hingga semuanya kembali berkumpul di aula. Vio pun mewajarkan, mungkin mereka semua butuh waktu untuk meluruskan punggung barang sejenak.

Sekarang, tiba saatnya untuk acara yang ditunggu-tunggu. Sebuah primadona dari setiap acara perkemahan, yaitu api unggun. Berkumpul di sebuah tanah lapang, mereka semua bergandengan tangan membentuk sebuah lingkaran besar mengelilingi gundukan kayu bakar yang disusun sedemikian rupa agar membentuk menyerupai gunung kecil. Tanpa memandang lelaki atau perempuan, kedua tangan yang saling bertaut erat seakan mewakilkan pertemanan yang juga semakin erat di antara mereka semua.

Di dalam lingkaran, Vio bersama temannya, Bayu, menjadi dua orang yang memandu acara. Keduanya berkeliling membawa senter dan mikrofon. “Mundur lagi mundur, lebarin lagi lingkarannya!”

“Kagak kelar-kelar ye perkara lingkaran doang,” keluh Dhimas pelan. “Lama-lama kayak mau maen orang miskin orang kayak nih gandengan begini.”

“Eh, Dinda. Kita gandengannya pake tangan aja ya jangan pake perasaan,” canda Dhimas lagi. Yang kemudian mendapat delikan geli dari Dinda. “DIHHH GELI BAT LU KAKKK!”

“Ya, kali aja, Din.”

Ketika semuanya siap, tanpa menunggu lama, acara pun dimulai. Sorakan paling riuh terdengar ketika api unggun mulai berkobar setelah berhasil dinyalakan. Terang, membara, hangat. Membuat wajah teman-temannya terlihat semakin rupawan lantaran semakin jelas terlihat.

Dengan orang-orang yang meskipun tak Gia kenali semuanya, mereka bertukar gelak tawa disaksikan rerumputan tajam beserta bulan dan bintangnya yang bersemayam di langit gelap, turut menyaksikan dalam diam kebahagiaan yang menguar di udara malam itu.

Sejauh ini api unggun menjadi bagian favorit Gia. Gadis itu merasa bahwa pada akhirnya, ia memiliki kenang-kenangan bernilai sejuta dolar. Yang mungkin tak akan dapat ia beli bahkan ketika hidupnya sudah mapan. Malam itu Gia memastikan, sampai ia tua nanti, momen kebersamaan bersama api unggun ini akan selamanya bersemayam dalam ingatannya.

Sebagai kakak kelas yang baik, rupanya kakak kelas dua belas tak hanya membebankan kewajiban menampilkan sesuatu kepada para adik kelasnya. Sebab mereka pun turut menampilkan pentas seni. Bayu yang memang terkenal dengan suaranya yang lembut memimpin keramaian untuk menyanyikan lagu-lagu tongkrongan.

Gia tak punya wawasan soal itu, namun gadis itu turut menikmati bersama semua temannya yang ikut melambaikan kedua tangannya di udara. Bayu seperti seorang superstar dengan sorotan lampu alami dari rembulan, dan semua orang yang ada di sana adalah penggemarnya yang mengaku nomor satu.

Yel-yel kelompok pun berguna pada akhirnya, sebab setiap kelompok ditunjuk secara acak untuk menampilkan yel-yelnya sebelum akhirnya membeberkan penampilan utama yang telah dipersiapkan. Beruntung, kelompok satu sudah mendapat arahan dan nasehat dari mentor paling hebat sejagat raya. Seorang Dhimas Wijaya yang pada akhirnya membuat mereka kompak saat menyanyikan yel-yel meskipun hanya berlatih dalam kurun waktu singkat.

“Okeee! Yel-yelnya mantep ya kelompok satu ya! Kita kasih tepuk tangan dongg!! Seru nih, kelompoknya! Rame banget ya. Nggak heran sih, itu kakak pembimbingnya juga emang yang paling rame di OSIS sebetulnya,” ucap Yuna. Kini perempuan itu berperan sebagai MC untuk pentas seni kecil-kecilan setelah Vio menyerahkan mikrofon padanya.

“Mantapp! Sekarang giliran kita tanya-tanya nih, sama kelompok satu. Mau nampilin apa malam ini?” tanya Yuna.

“Jawab, Dhim,” pinta Yuna.

“Beuhh, kelompok satu hari ini punya diva internasional! Siapa siapa sebut! Taylor Swift? Titi Dj? Krisdayanti? Beuhhhh, jauhhhh!” ucap Dhimas hiperbola. “Jauh lebih jago mereka maksudnya, ehe! Ya tapi jagoan kita nggak kalah jago nggak kalah keren. Ni calon Raisa masa depan nih, Kak, yekan! Solo performance, nih—”

“Banyak omong ih! Waktunya keburu abis lu lama banget!” potong Yuna. Sekon berikutnya terdengar gelak tawa dari para audiens yang hadir.

“YAYAYA MAAP! Ini langsung aja deh, perwakilan kita, ANGGIAAAA UHUUUUUYY! Eh tepuk tangan dong yailah!”

“Okeee, Anggia! Boleh langsung ke tengah aja ya, maaf banget nggak diwawancara. Waktunya diembat semua sama Dhimas tuh!” balas Yuna.

Dengan langkah ragu dan tangan gemetar dialiri keringat dingin, Gia berjalan maju. Mengambil tempat di dekat kumpulan para kakak kelas yang berada di tengah-tengah lingkaran, menjadi pusat perhatian kedua setelah api unggun.

“Gia mau nyanyi lagu apa?” tanya Vio. “Musiknya udah dikirim kan ya?”

Gia mengangguk kaku, “Udah, Kak. Lagunya itu—”

“Oh, ini nih ada. Okee, silakan. EH TEPUK TANGAN LAGI DONGG BUAT KELOMPOK SATU!”

Tepat setelah suara tepuk tangan mereda, instrumen lagu yang menjadi pilihan Anggia saat itu memenuhi pendengaran siapapun yang ada di sana. Termasuk Haris, yang diam-diam memperhatikan dari jauh.

HARIS'S POV

Gia dengan tubuhnya yang mungil itu keliatan makin mungil ketika berada di tengah-tengah lapangan. Bersanding dengan api unggun yang nyala dengan super-super berani seakan nggak rela ada yang menandingi, Gia nggak ada apa-apanya. Gue malah ngeri dia kecipratan serpihan api yang nyiprat-nyiprat karena kayaknya dia berdiri cukup dekat dengan api unggun.

Tapi yang nggak gue sangka, Gia yang mungil ini justru termasuk orang dengan mental yang—boleh juga. Meskipun jauh, gue bisa liat dengan jelas kalo Gia pucat. Wajar lah, siapa yang nggak mau ilang nyawanya kalo harus tampil sendirian di hadapan banyak orang?

Meskipun nggak bisa gue ucapkan dengan lantang, gue nggak bisa boong lagi kali gue—ikut merasakan bangga karena ngeliat Gia berdiri di sana sekarang.

Alunan musik yang cukup familiar mulai memasuki indera pendengaran gue. Cukup membuat gue dan Dhimas mikir keras sesaat karena ada sedikit perubahan pada musiknya. Tapi menurut gue Gia cerdas karena memilih tipe musik yang slow tapi juga nggak terlalu slow buat ditampilin pada acara api unggun kayak gini.

Gia mulai mendekatkan mikforon ke bibirnya, dalem hati gue ketar-ketir, semoga nggak kesetrum.

Dan saat Gia mengucapkan lirik pertamanya,

Everyone can see, there's a change in me

Gue.. merasa seakan dunia berhenti sementara, cuma buat gue dan Gia. Seakan semesta memaksa gue untuk merutuki kebodohan gue sendiri karena pernah bikin luka di hatinya pake ucapan gue sendiri. Silakan anggap gue hipokrit karena gue marah waktu Gio bikin Gia ancur pake kata-katanya disaat gue juga melalukan hal yang sama.

They all say i'm not the same kid i used to be..

“So do i, Anggi. So do i.”

It's my first love, what i'm dreaming of when i go to bed, when i lay my head upon my pillow, don't know what to do..

Sekon selanjutnya, raga dan pikiran gue rasanya nggak berada di ruang dan waktu yang sejalan. Entah kenapa rasanya sistem saraf pusat gue juga nggak berfungsi. Gue terpaku. Atau lebih tepatnya lagi.. gue.. terpana.

Gia emang cantik. Tapi gue nggak pernah tau kalo dengan berdiri di sebelah api unggun justru membuat dia beribu-ribu kali lipat lebih manis. Ini suasana yang sejujurnya—tai kucing. Gue bahkan nggak bisa nebak perasaan hangat yang menjalar di pipi gue ini asalnya dari api unggun atau dari hati gue yang udah nggak tertampung lagi.

Not to mention suaranya yang sopan masuk ke telinga dengan nada-nada yang dia eksekusi dengan baik. Sangat baik. Suara Gia, tanpa ngetuk pintu pun akan gue sambut dengan senang hati untuk memenuhi rungu gue.

Kedua mata gue masih berpusat di Gia, seakan-akan dunia gue berputar cuma buat dia. Seakan-akan keadaan berbalik, bahwa api unggun yang paling menarik perhatian itu nggak ada apa-apanya dibanding Gia.

Gia tuh nggak ngapa-ngapain, dia cuma menyelesaikan penampilannya. Tapi, bukan semesta kalo nggak suka bercanda. Bumi dan seisinya malam ini mendukung Gia sepenuhnya untuk bikin gue makin mampus. Semilir angin yang baru dateng tiba-tiba ikut berkontribusi, membuat anak rambut Gia yang berantakan di sisi wajahnya itu tertiup ke sembarang arah. Si mungil ini mau nggak mau menggerakan sebelah tangannya untuk nyelipin anak rambutnya ke telinga.

Gue mampus, resmi mampus malam ini. Merinding, tapi ada yang membuncah di dalam dada gue. Seakan siap meledak kalau-kalau nggak gue kendalikan dengan baik. Entah harus pake cara apa lagi gue mendeksripsikan indahnya Gia dan suaranya malam ini.

Gue nggak tau ini lagunya tertuju buat siapa. Entah buat gue atau buat orang lain yang lebih pantas memiliki hatinya Gia. Yang gue rasain sekarang adalah dunia menarik paksa gue kembali pada detik dan menit ketika gue menyadari bahwa gue punya perasaan untuk seorang Anggia Kalila Maheswari.

Ini klise. Tapi mungkin malam ini waktunya gue untuk buka mata selebar-lebarnya dan nggak sembunyi lagi di balik tembok tinggi bernamakan gengsi.

Malam ini gue mengaku, dan mengucap selantang-lantangnya dalam dada.

Kalau, sesuai lagunya,

I'm not the same kid i used to be, i found my first love. The one i'm dreaming of each time i go to bed.