LDKS – Day 2 : The Saviour In Silence

Gia berkali-kali menggosokkan seraya meniup-niup kedua telapak tangannya, berharap akan mendapatkan sedikit kehangatan untuk tubuhnya yang masih kedinginan meski sudah dibalut dengan kaus lengan panjang serta jaket berbahan tebal. Gia memang tak pernah kuat dingin, gadis itu bisa menggigil. Sayangnya, tak ada pengecualian untuk siapapun malam ini. Semua harus mengikuti instruksi untuk berbaris kembali di lapangan yang sebelumnya mereka pijaki untuk acara api unggun.

Dengan kelopak mata yang masih berat lantaran hanya mendapat jam tidur super singkat, mereka semua bersiap untuk melaksanakan acara yang menjadi buah bibir paling beken dari masa ke masa. Alias, jurit malam.

Gia menjadi urutan keempat dari barisannya, tepat di belakang Dinda. Sementara Dhimas memimpin barisan, setelahnya Alwan, kemudian Alfi mengikuti. Sementara Haris yang paling tinggi memilih untuk berbaris di paling belakang, terpaksa. Sebab sebagai kakak pembimbing, tak mungkin ia berada di tengah. mereka harus melindungi adik-adik kelasnya. Maka pilihannya hanya dua, kepala atau buntut. Dan Haris tahu ia tak akan pernah sanggup menjadi orang yang paling depan membelah jalanan 'hutan' yang gelap.

“Kelompok satu udah siap ya?” tanya Bayu, yang memang ditugaskan untuk menjadi orang pertama yang memberi tahu jalan masuk menuju hutan.

“Siap, Kak.” Dhimas menjadi perwakilan kelompok untuk menjawab pertanyaan Bayu. Setelahnya Bayu pun mengalakan pemantik api dan menyalakan lilin yang sedari tadi dibawa oleh Dhimas.

“Ini lilinnya jangan sampai mati ya, kalo bisa dijaga sampe pos terakhir. Saling pegangan sama bahu temannya, jangan sampe terlepas, jangan tertinggal! Paham ya?” ucap Bayu yang hanya ditanggapi dengan anggukan dalam diam. “Ya udah, silakan jalan. Dari sini lurus aja, nanti belok kiri. Letak pos satunya di sana.”

Namun, alih-alih langsung berjalan, Alwan justru mengacungkan tangannya. Sebab sesuai instruksi Haris dan Dhimas, mereka tidak boleh lupa menanyakan clue untuk setiap pos yang akan didatangi. “Maaf, Kak, izin bertanya. Clue untuk pos pertama apa ya?” tanya Alwan.

Bayu menipiskan bibir, cukup takjub dengan Alwan yang tidak main asal menurut. “Cerdas! Simak baik-baik clue-nya ya! Untuk pos satu itu, cahaya kehidupan. Dah, silakan jalan!”

“Terima kasih, Kak!”

Setelah mendapat perbekalan cukup, 'kereta' kelompok 1 itu berjalan perlahan. Dhimas di paling depan menutupi lilin dengan sebelah tangannya yang tidak memegang piring kecil sebagai alas lilin, menjaganya agar tidak mati di tengah jalan. “Jangan ada yang bengong, ya! Fokus! Kalo ada yang sakit jangan sungkan bilang. Jangan maksain diri sendiri!” celoteh Dhimas. Pria itu memang paling rewel akan keselamatan para anggota kelompoknya. Entah sudah berapa kali Dhimas mengatakan hal itu.

Terdapat lima pos tersebar di dalam hutan, terdiri dari 4 pos utama dan 1 pos untuk ice breaking. Pos Agama, Kepemimpinan, Manajemen Waktu, Ice Breaking, dan yang paling ditakuti dan disimpan pada paling terakhir, Mental.

Pos pertama, dihuni oleh kakak-kakak berperawakan alim. Terlihat dari personelnya yang mayoritas anak-anak rohis. Yang perempuan mengenakan kerudung menutupi dada, yang lelaki mengenakan celana cingkrang lengkap dengan peci. Sementara di sisi lain pun terdapat perwakilan dari ekskul rokris dan rohkat. Sudah jelas pos pertama adalah Pos Agama. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan di sana sederhana, seperti menyebutkan Rukun Islam, Rukun Iman, dan lain-lain. Namun rupanya hal ini jauh lebih sulit untuk anak-anak yang baru masuk SMA ketimbang anak-anak yang baru masuk madrasah. Rupanya seiring bertambah dewasa, banyak sekali perkara kecil pasal agama yang luntur dari ingatan.

Membuat sindiran-sindiran kakak kelas yang super menohok itu kembali terlontar. “Udah SMA nggak apal Rukun Islam sama Rukun Iman? Kalian ini agamanya apa sih? Malu sama anak TK! Balik aja TK sana!”

Beruntung di sana ada Gia dan Alfi yang masih mengingat jelas Rukun Islam dan Rukun Iman. Membuat kelompoknya terselamatkan dari hukuman tidak mendapatkan clue dan memakan petai mentah.

Berhasil lolos dari pos pertama, kelompok 1 melanjutkan perjalanan menuju pos kedua. Seseorang yang Haris kenali, seorang ketua MPK berdiri di sana. Sudah jelas lagi, Kepemimpinan adalah nama pos ini. Pertanyaan-pertanyaan pada pos ini jelas dibabat habis oleh Alwan yang berambisi menjadi anggota OSIS, dibantu sedikit oleh Haris untuk menyempurnakan jawabannya. Pun Gia yang membaca diktat betul-betul. Meski dengan rasa takut yang sedikit mendominasi beserta suaranya yang bergetar akibat menahan dingin yang semakin menusuk kulitnya, Gia menjawab sedikit-sedikit ketika ada pertanyaan mengenai materi yang ada pada diktat. Perbedaan pemimpin dan bos, pembahasan mengenai Planning, Organizing, Controling, Actuating, dan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin menjadi pembahasan selama di pos kedua.

Sejauh ini berjalan lancar, kelompok 1 masih berjaya. Lilin masih menyala, tidak—atau belum mendapat hukuman atau amarah dari para kakak kelas, atribut pun masih lengkap. Maka dengan sedikit lebih tenang dari ketika pertama kali melangkahkan kaki ke dalam hutan, kelompok 1 kembali melangkah menuju pos ketiga. Manajemen waktu.

Tidak begitu banyak drama di sana, kakak-kakak yang mengisi pos Manajemen Waktu memang selalu yang terbaik dari tahun ke tahun. Entahlah hal ini direncanakan atau tidak, Haris dan Dhimas pun tak tahu kenapa. Manajemen Waktu menjadi pos paling lancar mereka lalui ketimbang pos-pos sebelumnya.

Masuklah pada pos keempat, Ice Breaking. Di sana, mereka disambut begitu meriah. “WEH WEHHH MASIH NYALA LILINYA! TEPUK TANGAN DONGGG!!”

“Kelompok berapa nih?” tanya seorang kakak kelas yang Gia tak tahu namanya.

“Satu, Kak,” balas Dhimas.

“Oh, masih pertama ya. Ini ngapain nih bawa-bawa lilin? Ada yang ulang tahun?”

Alwan menggeleng, “Nggak ada, Kak. Ini buat penerangan aja selama di jalan.”

“Oh gituu, ya udah duduk sini duduk. Jangan lebar-lebar, kita bukan mau liwetan! Yang nggak muat ke belakang.”

Dicontohkan oleh Dhimas, mereka semua duduk lesehan menghadap para kakak kelas yang asik sendiri. Makan snack, bercanda, berebut minum, dan lain-lain. Haris yang peka dan aware terhadap hal-hal seperti ini pun otomatis mengangkat tangannya. “Maaf, Kak sebelumnya, boleh izin tegur kakak-kakak yang lain untuk ikut duduk di sini? Supaya jangan asik sendiri,” ucap Haris.

“Oh? Boleh, boleh. Tuhh, Kakk! Denger nggak? Jangan asik sendiri katanya. Gabung sini sama adik-adik manis,” ucap salah seorang yang sedari awal duduk bersama dengan kelompok 1.

“Hoooo, iya iya maaf yahhh. Siapa tadi yang ngomong? Haris? Iye maap ye, Ris!”

Haris hanya mengangguk, setelahnya memilih diam dan membiarkan adik-adik kelasnya aktif berbicara. Sebab dirinya sudah terlalu banyak berargumen ketika rapat rutin. Dalam keanggotaan OSIS, Haris memang dikenal paling bawel karena paling sering mengkritik dan tak segan-segan menyuarakan ketika dirinya tidak setuju. Tentunya disertai dengan alasannya yang selalu logis.

Sesuai namanya, Pos Ice Breaking adalah tempat untuk rileks sejenak. Mereka bebas duduk dengan posisi senyaman mungkin, bebas menyuarakan siapa kakak-kakak yang galak, bebas bercanda, bahkan mereka ditawarkan makanan ringan yang sempat dijadikan rebutan para kakak kelas sebelum ditegur Haris.

Semuanya berjalan aman hingga salah seorang kakak kelas itu menyadari sesuatu. “Kamu kenapa? Sakit?”

Rentetan kalimat itu otomatis membuat anggota yang lain menoleh pada sumber suara. Haris terdiam kaku ketika mengetahui yang menjadi sasaran pertanyaan adalah Gia. Tubuhnya yang sedari tadi duduk sedikit bungkuk itu kini menegak lantaran secuil kekhawatiran menelusup masuk memenuhi relungnya.

“Serius, sakit nggak? Muka kamu pucet banget, loh! Itu bibirnya juga udah nggak ada merah-merahnya.”

“Pusing nggak, Gi? Kalo pusing bilang aja,” tanya Dhimas. Gia hanya menggeleng pelan, “Enggak, Kak. Nggak pa-pa, kok!”

“Bener?” tanya Dhimas lagi. “Kalo pusing bilang ya!”

Gia hanya mengangguk. Sementara tanpa sepengetahuannya, tatapan Haris masih tak lepas darinya. Meski dalam gelap, Haris dapat menangkap jelas wajah Gia yang memucat. Pula gelagatnya yang menunjukkan bahwa gadis itu kedinginan. Namun tetap tak ada yang ia lakukan selain mengawasi Gia dari jauh.

Tak terasa sudah habis waktunya untuk berdiam diri di pos keempat. Kelompok 1 akhirnya diperintahkan untuk lanjut menuju pos terakhir. Sesaat sebelum langkahnya menjauh, Haris merasakan seseorang menepuk bahunya. Membuatnya nyaris mengumpat lantaran terkejut, takut-takut yang menepuknya itu bukanlah sejenis dengannya.

“Kaget, kenapa, Kak?” tanya Haris. “Adek kelas lu liatin tuh yang tadi, ngeri pingsan.”

“Iya, Kak.”

Sekon berikutnya Haris pun menyusul kelompoknya yang entah mengapa kini berjalan dengan urutan mengacak. “Eh, baris lagi dong, guys!” seru Dhimas. Membuat semuanya kembali membentuk barisan seperti semula.

Kala itu, Haris yang berada di paling belakang menangkap Gia berjalan melambat. Gadis itu bahkan sedikit berada di luar jalur, membuat Haris mau tak mau meraih kedua bahu Gia untuk menyeretnya kembali ke barisan.

Perlahan tapi pasti, mereka kini tiba pada pos terakhir. Namun langkah Gia kembali melambat, bahkan terhenti. Alhasil, Haris yang berjalan tepat di belakangnya turut menghentikan langkahnya. Seraya mengerutkan dahi, Haris memandangi Gia yang kini memeluk erat dirinya sendiri.

“Gi?” panggil Haris. Alih-alih menjawab, Gia hanya diam dan semakin mengeratkan pelukan pada tubuhnya yang kian menggigil. “Gi?” panggil Haris lagi.

Panik, ketakutan, dan khawatir berlebihan, Haris memposisikan dirinya di hadapan Gia. Seraya sedikit membungkuk dengan kedua tangan yang mencengkeram bahu Gia pelan, Haris menanyakan keadaannya. “Kenapa?”

“Dingin, Kak..”

Sayangnya, suara Gia terlampau pelan untuk Haris dengar. Maka ia mendekatkan telinganya dengan bibir Gia, “Kenapa?”

“D-Dingin.”

“Heh, kenapa itu? Cepet baris sini, lelet!” ucap Vio, salah satu personel utama Pos Mental. Haris sontak menoleh, “Nggak enak badan, Kak. Dari pos sebelumnya juga udah pucet,” balas Haris.

Raut wajah khawatir Haris seakan menular kepada Vio. Pemuda itu menyugar rambutnya frustrasi dan segera memanggil Yuna untuk membantu Haris mengatasi kondisi Gia. Seraya tergopoh-gopoh, Yuna menghampiri Haris dan Gia yang kini terpisah dari barisan.

“Kenapa, Ris?” tanya Yuna.

“Kedinginan,” jawab Haris. “Kayaknya nggak kuat dingin. Ini menggigil badannya.”

“Pusing nggak, Anggia?” tanya Yuna. Lagi-lagi tak ada jawaban. Baru saja Yuna ingin memanggil tim medis melalui HT yang ia bawa, tubuh Gia ambruk seketika. Beruntung sejak awal Haris sudah memperkirakan hal ini akan terjadi, maka ia dengan cekatan menangkap tubuh Gia sebelum bersentuhan dengan tanah.

“Ris, nunggu medis kelamaan, Ris! Keburu makin parah ni anak orang. Gotong aja deh, kuat nggak lo?” ucap Yuna panik, perempuan itu bahkan melupakan untuk berbicara sopan.

Tak banyak bicara, Haris mengangguk menyetujui. “Tunggu,” ucap Haris. Kemudian seakan ingin menunjukkan kepeduliannya terhadap sang adik kelas, Haris membaringkan tubuh Gia sementara. Kemudian secepat kilat melepas almet OSIS kebanggaannya dan menjadikannya selimut untuk tubuh mungil Gia, menyisakan kaus celup ikat abal-abal berlengan pendek yang dibuat seragam dengan teman satu angkatannya.

Kemudian dengan hati-hati, pria itu membopong Gia dengan mudah. “Ayo, ke mana jalannya?”

Sebagai seorang wanita yang melihat tingkah Haris yang benar-benar gentle, Yuna mendadak gugup. Ia bahkan menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan Haris. Setelah tersadar, barulah Yuna menunjukkan jalannya. “S-sini.”

“Vio, izin ya!” ucap Yuna. Setelah dibalas anggukan oleh Vio, yang Haris dan Yuna lakukan selanjutnya adalah bergegas membawa Gia kembali ke aula.

“Heh, liat sini semua! Jangan norak! Temennya sakit bukannya ditolongin malah diliatin doang!” ujar Vio.

Dhimas menghela napasnya, dalam hati ia berdecak. Haris benar-benar harus berterima kasih pada Gia sebab gadis itu menyelamatkan Haris menjauh, meninggalkan Dhimas dan sisa kelompok 1 yang lain dengan siksaan pada pos terakhir yang bahkan memiliki clue 'Kerajaan Setan'.


“Baringin sini aja, Ris!” ucap Yuna. “Jagain bentar, gue panggil medis dulu!”

“Gue aja, Kak,” balas Haris. Setelah membaringkan Gia pada sebuah karpet yang digelar di aula untuk alas tidur, Haris melanglang buana untuk mencari divisi medis.

Selang sekitar tiga menit, seorang divisi medis perempuan bertanda nama Mutia pada rompi PMR-nya datang menghampiri Yuna dengan tas berisi obat-obatan. “Kenapa, Yun? Pusing?” tanyanya. Yuna menggeleng, “Nggak tau, Mut. Tadi nyampe pos gue langsung pingsan. Kata Haris emang udah pucet dari pos sebelumnya.”

“Harisnya mana, Mut?” tanya Yuna lagi ketika menyadari Haris belum kembali. “Nggak tau juga, tadi gue disuruh duluan,” balas Mutia, yang kemudian mengoleskan minyak angin pada kedua pelipis Gia.

Panjang umur, yang dibicarakan akhirnya tiba. Haris berjalan dengan langkah lebar dengan tangan kanan yang menjinjing asal jaket tebal miliknya. Kemudian Haris ikut duduk di sebelah Yuna.

“Ini kenapa, Ris?”

“Kedinginan,” balas Haris singkat. Setelahnya ia menukar almet OSIS-nya yang menjadi selimut darurat untuk Gia dengan jaket yang ia bawa. “Kayaknya emang nggak kuat dingin, Kak. Soalnya tadi sempet menggigil juga,” lanjutnya.

“Ohh, ya udah ya udah. Sepatunya buka dulu deh, tolong balurin minyak kayu putih dulu ya telapak kakinya! Gue ambilin selimut deh,” ucap Mutia. Kemudian meninggalkan Haris dan Yuna yang dengan segera melakukan instruksi Mutia.

“Kakinya aja dingin banget, buset!” ujar Yuna saat pertama kali menyentuh telapak kaki Gia. Haris hanya diam, fokus membalurkan minyak kayu putih pada telapak kaki kanan Gia. Sesekali ia mencengkramnya pelan, berharap akan menyalurkan sedikit kehangatan di sana.

“Lo kok tadi nggak takut, Ris jalan keluar dari hutan sendirian?” tanya Yuna. “Nggak nangis lagi kayak tahun lalu?”

Haris terkekeh, “Kan berdua sama lo, Kak! Bertiga deng, sama Gia.”

“Lo lagian aneh-aneh, Kak. Kenapa nggak di tempat tahun lalu aja sih? Tempat TNI? Ini di kaki gunung gini dingin banget tau. Kasian lu anak orang pada kedinginan,” ujar Haris.

“Salahin Vio lahh! Tapi katanya sih tempat TNI yang tahun lalu itu udah penuhh di-booking orang. Kalo mau kita harus ngundur acaranya, tapi kalo diundur tuh sekolahnya nggak mau,” jelas Yuna.

“Gue ngeri Gia kesurupan sumpah. Untung sakit doang, nggak untung juga sih. Tapi, mending lah daripada kesurupan. Gue mau bawanya juga gimana ya kalo kesurupan,” celoteh Haris lagi.

“Iya anjir! Gue juga takut bawanya kalo kesurupan,” balas Yuna.

Percakapan keduanya terhenti setelah Mutia kembali membawa sehelai selimut dengan kedua tangannya. “Pakein lagi aja kaus kakinya,” titah Mutia yang langsung dilaksanakan oleh Haris dan Yuna. Setelahnya ia melebarkan selimut itu untuk membuat Gia lebih hangat. Membuat tubuhnya kini terbalut dengan jaket miliknya sendiri, jaket tebal Haris, dan sehelai selimut.

Penanganan selanjutnya diambil alih oleh Mutia, gadis itu kini mendekatkan minyak angin pada hidung Gia. Membiarkan gadis itu menghirupnya dan berharap gadis itu segera sadar.

Entah sudah berapa menit Haris habiskan untuk mengurus Gia hingga HT Yuna kembali berbunyi. Memperdengarkan suara Vio yang memang tertuju padanya.

“Yun, yuna?”

“Ya, ya?”

“Haris nanti suruh gabung sama kelompoknya lagi, ya! Di tempat terakhir buat kelompok-kelompok pada ngumpul. Kelompok satu udah keluar dari pos gue.”

“Oh gitu? Oke, oke. Ini Haris sama gue, kok! Nanti gue anter ke sana.”

“Sip, thank you!”

“Yooo!”

“Mut, gue tinggal ya!” pamit Yuna. Haris yang sudah tahu harus melakukan apa itu pun turut bangkit dan segera memakai kembali almetnya dan membuntuti Yuna yang akan mengantarkannya kembali bergabung dengan kelompoknya.

Tak masalah, Haris justru bersyukur dalam hati. Memang ia membutuhkan Dhimas untuk menenangkan jantungnya yang sedari tadi berdetak kencang. Takut. Sejujurnya Haris sangat takut sedari tadi. Kalau bukan karena Gia, ia pastikan kakinya itu tak akan sanggup melangkah hingga kembali ke aula.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak jauh, Haris akhirnya kembali bergabung dengan kelompoknya. Dan tanpa sepengetahuannya, di sisi lain, Gia sudah kembali tersadar. Gadis itu sempat bingung lantaran terbangun di aula dengan selimut dan sebuah jaket yang menghangatkannya.

Terlebih, ketika ia menemukan sebuah bordiran inisial yang familiar dalam ingatannya pada salah satu sisi bawah pada bagian dalam jaket. Gia langsung tahu milik siapa jaket yang ada padanya dengan sekali tebakan. Sebab ia temukan bordiran yang sama dengan sapu tangan yang ia terima dari seseorang di sekolah lamanya.

Bordiran biru tua dengan font latin yang cantik nan rapi, mengukir dua huruf yang membuatnya menipiskan bibir mengukir sebuah senyuman.

M. H.