Would You?
Damar memperhatikan Aghniya yang tengah serius menonton video yang ia rekam tempo hari khusus untuk permintaan maaf. Damar tak tahu sudah sampai menit berapa Aghniya mendengarkan suaranya menyanyikan lagu yang ia pilih karena gadis itu memakai earphone yang ia bawakan. I Won't Last a Day Without You milik The Carpenters pada akhirnya menjadi pilihannya karena dirasa dapat mewakili perasaannya secara sempurna.
Damar memilih lagu yang menceritakan tentang hari-hari yang harus dilalui dengan penuh orang asing, dan betapa melegakan saat menemukan seseorang untuk dituju. Yang selalu peduli, yang selalu ada untuknya seperti gadis pemilik senyum manis di hadapannya.
Lagu itu mewakilinya.
I can take all the madness the world has to give.
Damar cukup kuat menghadapi tantangan yang selama ini ia terima. Segala perlakuan dari lingkungan yang menempanya, membuat perasaan tidak nyaman bersahabat dengannya. Membuatnya kesepian bahkan di tengah keramaian. Membuatnya lupa akan haknya mendapatkan cinta untuk dirinya sendiri.
But i won't last a day without you.
Sebagaimana keadaannya setelah memutuskan untuk menjauhi Aghniya. He won't last a day without her. Damar tidak pernah bisa benar-benar membuat dirinya jauh dari gadis itu. Ketika Aghniya terjebak hujan di sekolah, meskipun dilanda amarah, hatinya tetap berat meninggalkan gadis itu sendirian. Hatinya turut nyeri dan penyesalan menggerayanginya setiap kali bibirnya membentak Aghniya, atau melayangkan ucapan-ucapan jahat padanya.
One look at you and i know that i could learn to live. Without the rest, i've found the best.
Aghniya selalu memancarkan semangat baru pada Damar. Hingga setiap harinya pemuda itu merasa siap menjalani hari yang biasanya terasa berat dan menjenuhkan. Namun, semenjak kehadiran gadis itu, hari-harinya jauh lebih indah. Rasanya, Damar menemukan yang terbaik.
Netra pemuda itu tak lepas dari Aghniya yang masih menonton videonya. Entahlah, Damar tak terlalu dapat mengartikan ekspresi wajah Aghniya. Gadis itu seperti hanya berekspresi melalui alisnya yang bergerak sesekali, serta matanya yang berkali-kali mengerjap. Namun, Damar mengetahui bahwa Aghniya berkaca-kaca.
Saat Damar tengah asyik memusatkan pandangannya pada Aghniya, gadis itu melepas earphone-nya secara tiba-tiba. Membuat Damar sedikit gelagapan.
“Udah?” tanya Damar.
“Udah,” jawab Aghniya. Suaranya lebih kecil dibandingkan dengan ketika Damar baru saja datang tadi. Gadis itu kemudian memalingkan wajahnya sesaat. Tetapi Damar tetap dapat melihat dengan jelas bahwa Aghniya sedang menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya yang indah.
“Boleh lanjut?” tanya Damar. Aghniya lantas kembali menghadapkan dirinya ke arah Damar. Pemuda itu menggeser layar, membuat ponselnya menampilkan slide berikutnya.
“Mungkin keliatannya gue baik-baik aja, but it's true. I won't last a day without you, Aghni,” ucap pemuda itu menatapnya lurus. “Hari-hari gue balik lagi kayak dulu sebelum kenal sama lo. Berat, jenuh, bosen. Beda kalo ada lo. Gue jadi ikut semangat, gue jadi seneng terus, dan nggak tau kenapa bawaannya jadi ikut ceria kalo ada lo.”
Setelahnya Damar kembali menggeser slide miliknya. Rupanya sudah sampai penghujung presentasi. Pemuda itu hanya membacakan apa yang tertera di layar ponselnya sebelum akhirnya menggeser layarnya untuk terakhir kali.
“Terakhir,” ujarnya. “Sekali lagi gue minta maaf, Aghni.”
“Dear Little Miss Sunshine, would you shine on me again?“
Aghniya kembali tertegun. Setelahnya gadis itu memilih menunduk. Menghindari tatapan Damar. Aghniya menghela napasnya, kemudian memberikan jawaban pada pemuda di hadapannya.
“Enggak.”
Kali ini, giliran Damar yang terkejut. Jantungnya berdegup kencang untuk kesekian kali, darahnya berdesir, mengalir ke seluruh tubuh. Membuatnya merasakan sensasi panas dalam tubuhnya. “Enggak?”
“Enggak. Katanya tadi dapet free tickets buat jauhin Damar kan?”
Damar menatap Aghniya terkejut. Meski tidak rela dan ingin mengelak, Damar pada akhirnya menghela napas pasrah. “Iya.”
“Ya udah.”
Damar mengangguk lesu, “Ya udah kalo gitu. Gue—pulang ya?”
Aghniya mengangguk, “Iya. Makasih buah naganya, gue mau masuk lagi.”
“Sama-sama, gue pulang ya, Agh. Makasih mau dengerin gue. Intinya gue beneran minta maaf,” balas Damar.
“Iya, gue tau kok.”
Setelahnya Damar bangkit berdiri, langkahnya berubah menjadi gontai. Pria itu berjalan lesu ke arah motornya, tak ingin lagi menoleh ke belakang. Dan mungkin, ia akan melakukan itu juga pada perasaannya. Terus berjalan, tanpa menoleh ke belakang.