Was This Dream Still Worthy To Keep?
Di hadapan cermin yang besar nan jauh lebih tinggi darinya, Adelia kecil menatap pantulan dirinya sumringah. Kedua tangan mungilnya sibuk merapikan rok putih megar berlapis furing dengan warna yang sama. Gaun putih itu akan ia jaga agar tidak kotor, itu gaun favoritnya sejak dua minggu lalu. Gaun putih sederhana dengan puffed sleeves—Adelia tahu dari Mama Haris, dengan pita merah muda melingkari perutnya. Separuh rambut panjangnya diikat dan disisipkan berbagai bunga kecil hingga terbentuk mahkota. Gadis itu meneliti setiap inci penampilannya, tak mau ada satu pun yang tertekuk atau tidak rapi. Mendadak perfeksionis—seperti Mama.
Hari itu, adalah hari besar bagi Adelia kecil. Sebab ia diminta untuk mengemban tanggung jawab sebagai gadis penebar bunga di pernikahan salah satu teman Mama. Pernikahan itu tampak tak biasa di mata Adelia. Yang ia tahu, pernikahan hanya bisa dilaksanakan di gedung atau gereja. Tetapi hari ini gadis itu menyaksikan pernikahan yang diadakan di tempat terbuka yang asri. Sampai-sampai Adel harus bertanya pada Mama.
“Emangnya boleh, Ma, nikah di luar? Nggak dimarahin?”
“Boleh, Del. Siapa yang mau marahin, emangnya? Adel nanti nikahnya mau di luar juga emang?”
“Nggak, ah. Takut ujan...”
Dan Mama tertawa setelahnya. Pemikiran yang terlalu polos kala itu. Gadis itu kemudian diantar Mama ke posisinya, berdampingan dengan gadis seumurannya dengan baju yang sama. Mereka menebarkan kelopak bunga satu persatu di altar. Membuat segala seruan gemas mengudara, menambah bahagianya suasana hari itu.
Adelia melakukan tugasnya dengan baik, bahkan Mama begitu bangga hingga mencium keningnya tak henti-henti. Satu kesan muncul di hatinya, ia suka pernikahan. Maka sembari memakan semangkuk es krim, ia menyampaikan kesan itu kepada sahabatnya.
“Tante Alma cantik banget. Aku baru liat gaun panjang banget kayak gitu.“
“Iya, aku nanti mau gaun kayak gitu juga,” sahut Laras. Gadis itu juga sedang memakan es krim dengan rasa yang sama dengan Adelia.”
“Kamu nikahnya mau di luar juga kayak gini, Ras?” tanya Adel. Laras mengangguk semangat. “Nanti kita nikahnya bareng aja, Del!”
Seraya menyendokkan es krim ke mulutnya, Adelia mengangguk. “Boleh, tapi cowoknya jangan sama, ya! Kamu cari sendiri!”
“Iya, nanti aku cari sendiri. Kamu mau nikahnya umur berapa, Del? 27?”
*Adelia kecil menerawang sejenak, sebelah tangannya menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya dengan kasar. Dalam hati ia berpikir, “Dua tujuh, tuh, semana, sih?” Namun setelahnya ia mengendikkan bahu. “Nggak tau, nanti aku tanya Haris dulu. Aku nggak bisa ngitung jauh-jauh.”
Adelia remaja tertawa kecil ketika rekaman memori lama terputar di kepalanya. Miris, miris akan banyak hal. Persahabatannya dengan Laras yang dulu begitu lugu, kini sudah tinggal cerita. Pandangannya terhadap pernikahan pun, sudah jauh lebih meluas dari sekedar menjadi sangat-sangat cantik dalam bautan gaun putih.
Gadis itu sejak tadi termenung sebab di depan kelas kini akan dilaksanakan praktik akad nikah untuk pelajaran Agama. Adel memilih untuk jadi 'tamu', enggan menjadi mempelai meskipun namanya sempat tertunjuk. “Belom siap nikah saya, Bu!” candanya.
Seiring bertambahnya usia, pandangan Adelia terhadap pernikahan meluas dan mendalam. Lama kelamaan ia mengerti bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Tetapi kalau boleh Adelia ambil kesimpulan, menurutnya pernikahan itu magis. Sebab sejauh mana pun dunia mencederai akalnya mengenai pernikahan yang magis, Adelia tetap tak gentar.
Sejujurnya gadis itu tahu pasti, pernikahan yang sesungguhnya tidak akan se-sederhana yang dipertunjukkan di depan kelas saat ini. Bahkan, kedua orang tuanya pun gagal. Bahkan, kedua orang tua Haris pun gagal. Bahkan, kakek dan nenek dari papanya pun gagal. Bahkan, Tante Alma—yang membuatnya terhipnotis dengan segala keajaiban pernikahan—pun, gagal.
Tentu—semua kegagalan itu, semua kehancuran itu, membuat Adelia hanya mengerti perihal cinta yang kasar, keruh, dan tajam. Membuatnya kebingungan, karena semua berkontradiksi dengan bentuk cinta yang mengenalkan diri padanya saat ia kecil.
Kalau ditanya cita-cita dalam bentuk profesi, Adelia tak pernah punya. Ia tidak pernah berhasrat ingin menjadi dokter, guru, ilmuwan, atau apapun itu. Memilih jurusan IPA pun cuma hasil ikut-ikutan Haris—pun, karena ia tidak suka sejarah dan hapalan. Tetapi diam-diam dalam gelap hatinya, ada satu mimpi yang selalu menyala. Seperti api yang tidak pernah padam walau disiram air dingin.
Gadis itu diam-diam bermimpi. Bisa menikah, dan kekal dalam naungan keluarga yang ia dan kekasihnya susun dengan rapi dan cantik. Mengenalkan cinta yang jernih dan tidak menyeramkan pada buah hatinya yang ada dua, mungkin tiga—agar tidak kesepian di rumah kalau bunda dan ayah (atau apapun yang dikehendaki kekasihnya) pergi.
Sayangnya, Adelia tak pernah berani mengucap mimpinya dengan lantang. Mimpinya bersembunyi di balik malu dan ragu yang membingungkan. Boleh, kah? Akan, kah? Bisa, kah?
Kedatangan Dhimas dan segala bentuk cinta yang pemuda itu bawa, menjernihkan dan menetralkan keruh juga asam yang mengotori kolam-kolam di hatinya. Ajaib, magis, sekaligus membingungkan. Haruskah ia mematikan mimpinya, atau haruskah terus ia hidupkan? Akankah bentuk cintanya terus indah, atau akan berubah menjadi seperti makanan basi? Akankah jalannya mudah sampai waktu yang lama, atau akan ada pasir hisap yang menelannya bulat-bulat dan menguburnya selamanya?
Kelamaan melamun, Adelia tak sadar bahwa yang sedang praktik pernikahan itu sudah mencapai kata “Sah!”. Semua bersorak sorai gembira, mengucap syukur ramai-ramai. Ah, memang selalu begitu. Selalu membahagiakan jika sudah berhasil menyelesaikan akad pernikahan. Namun selanjutnya, entah siapa yang tahu.