Titipan
Damar sampai di sekolah. Setelah memarkirkan motornya dengan rapi, pemuda yang seragam sekolahnya dibalut kembali dengan jaket itu mampir ke pos satpam di dekat gerbang untuk menanyakan titipan surat izin milik Dhimas.
“Pakk, maaf, ada titipan surat izin atas nama Dhimas nggak ya?” tanyanya pada satpam yang berjaga.
“Oh, ada, Mas Damar. Ini, barusan aja sampe. Mas Damar yang mau kasih ke kelasnya Mas Dhimas?”
“Iya, Pak. Biar saya aja. Ini ya? Saya bawa ya, Pakk. Makasihh,” ujar Damar. Lalu pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju kelas.
“Dadah, Pa! Kalo kata Bunay, Semangat kerjanya Papaji embul-embul!”
Ucapan itu membuat Damar menoleh seketika. Suara yang sangat ia kenali, suara perempuan yang selama ini tertanam di benaknya baik pagi, siang, sore, atau malam. Damar tersenyum tipis, lalu menghentikan langkahnya. Memilih menunggu gadis itu agar setara dengannya. Toh, dirinya memang ada perlu dengan gadis itu.
Aghniya lantas ikut menghentikan langkahnya kala mendapati Damar berdiri tak jauh di hadapannya, sedang menatapnya. Gadis itu sesekali membenahi kerudung segitiganya yang wajib dipakai setiap hari Jumat untuk pasangan seragam muslim.
“Damar ngapain?”
“Nungguin Aghni,” jawab Damar sambil tersenyum.
“Hah? Boong ya?”
Perkiraan Dhimas rupanya salah. Bukan Aghni yang mudah tertawa kalau bersama Damar. Damar-lah yang mudah tertawa jika bersama Aghniya. Dibuktikan dengan pemuda itu yang terkekeh seketika setelah mendengar balasan Aghniya akan ucapannya.
“Beneran, loh. Kok nggak percaya sih?”
“Ngapain nungguin gue?” tanya Aghniya.
“Sambil jalan, sambil jalan. Nanti kita di sini ngalangin orang jalan,” jawab Damar. Pemuda itu menarik lengan Aghniya pelan, mengarahkannya untuk melanjutkan langkah.
Gadis itu sedikit membeku, namun sepersekian detik berikutnya ia berusaha menyadarkan diri. “Ngapain nungguin gue?” tanya Aghniya lagi.
“Nih, mau ngasih suratnya Dhimas.”
“Dhimas nggak masuk?” tanya Aghniya.
“Enggak.”
“Hahhhh? Kok gituuuuu? Kenapaaaaaa? Ih Dhimaaas, ah nggak jelas deh. Katanya mau dengerin cerita gue di sekolah kok dia malah nggak masukk,” keluh Aghniya.
“Ini serius, Dam, dia nggak masuk?” Aghniya masih berusaha memastikan. Berharap Damar akan menjawab tidak, namun yang ia dapatkan lagi-lagi adalah jawaban yang membenarkan bahwa hari itu, Dhimas tidak hadir di sekolah.
“Lo tau kenapa, Dam?”
Damar mengangguk, “Tadi bilangnya ada acara keluarga. Penting banget nggak bisa ditinggal. Mamanya juga repot makanya ini tadi dia kirim surat ke sekolah pake ojol.”
“Kok dia nggak nitip gue? Dia juga nggak bilang apa-apa ke gue masa,” balas Aghniya.
“Hmmm, kita naik dulu, deh. Taro tas dulu ya? Nanti punggung sama pundak lo pegel gendong tas lama-lama sambil berdiri begini. Naik dulu, nanti gue ke kelas lo. Gue jugaa mikir sesuatu tentang Dhimas.”
“Serius?”
“Iya, ayok ke kelas dulu,” ajak Damar.
“Lo mikir apa emang?”
Damar menghela napasnya. “Aghni, tadi gue bilang apa? Ke kelas dulu yaa, taro tas dulu. Nanti punggungnya pegel, pundaknya juga sakit. Mau jalan sendiri apa digeret?” ucapnya tetap halus.
Aghniya tidak menjawab, gadis itu buru-buru mendahului Damar dengan berlari-lari kecil menuju kelas. Menghindari suara halus Damar sebelum menggaung lebih dalam di telinganya. Meninggalkan Damar yang sedikit terkejut, lalu kembali tersenyum tipis. Membiarkan perasaan gemasnya tersimpan rapi di dalam hati, lalu berjalan santai menyusul Aghniya.