Till the Last Orange

Arsa melangkahkan kakinya dengan cepat di koridor rumah sakit. Mengabaikan tatapan jengkel dan umpatan-umpatan orang-orang yang tidak sengaja ditabraknya kala itu. Satu yang menjadi prioritasnya saat ini, seorang Arabella Anindya, sahabatnya sejak keduanya bahkan belum pandai bicara yang tadi meneleponnya. Memberi kabar yang tidak mengenakan hati perihal kedua orang tua gadis itu yang mengalami kecelakaan hebat dalam perjalanan pulang dari urusan pekerjaan di luar kota.

Sesampainya di ujung koridor, Arsa menoleh, tertangkap oleh netranya seorang gadis yang rambut panjangnya tak lagi rapi sedang duduk di lantai dingin rumah sakit sembari memeluk kedua lututnya. Menangis sesenggukan.

Pria itu menghela napasnya. “Ara!” panggilnya. Gadis itu menoleh, tangisannya semakin meluruh ketika mendapati pemuda itu datang. Arsa lantas menghampiri dan segera menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

“Araa, it's okay, i'm here,” ucap Arsa menenangkan. Pria itu mengusap kepala gadis di dalam pelukannya, berharap setiap belaiannya dapat menyapu beban yang tersimpan di sana.

“Arsaaa, Mama Papa gue, Saaa. Gimana kalo mereka ninggalin gue sendiriaan,” ujar Ara di sela tangisannya.

“Enggak, Raa. Nggak boleh ngomong gitu,” sahut Arsa menenangkan.

“Lo udah tau gimana keadaan Mama Papa lo?” tanya Arsa. Masih dengan wajah terbenam, Ara mengangguk. “Apa kata dokter?”

Ara menarik tubuhnya dari Arsa, melepas pelukan mereka sebelum menjawab pertanyaan pemuda itu. “Kritis, Sa..” gadis itu menjawab dengan suara yang bergetar.

“Kondisinya masih cukup parah, gue juga belom boleh masuk untuk liat keadaan Mama Papa. Makanya dari tadi gue di sini,” jawab Ara yang Arsa tahu, sedang berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

Arsa terdiam sejenak. Sekon berikut sebuah ide muncul di kepalanya. “Ara, ikut gue, yuk?”

Gadis itu menyeka air matanya, mendelik setelahnya. “Kemana? Mama Papa gue siapa yang nungguin?”

Arsa tersenyum simpul, “Sebentar aja, Ra. Lagian lo juga nggak boleh masuk kan di sini?”

Ara mengerutkan alisnya, mempergimbangkan tawaran Arsa. “Iya sih, ya udah, deh. Mau kemana emangnya?”

“Napas dulu, Ra. Sesek, kan?” jawab Arsa. Sementara Ara masih tidak mengerti, namun gadis itu tetap memilih untuk menerima ajakan Arsa. Dirinya tahu, Arsa dan rencananya tidak pernah mengecewakan.


Tibalah kedua muda-mudi itu di sebuah pantai yang cukup sepi kala itu. Hari masih siang, dan terik matahari membuat mata Ara yang masih sembab semakin menyipit. Gadis itu menoleh pada Arsa yang sudah memposisikan dirinya dengan nyaman di atas pasir. Pemuda itu menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkan Ara untuk ikut duduk di sana. “Sini, Ra.”

“Ngapain sih, Sa?”

Arsa tersenyum, “Kan gue bilang, napas dulu. Gue tau lo lagi sesek sekarang, Ra. Keluarin aja semuanya, pelan-pelan.”

Ara menghela napasnya. Gadis itu kini mengerti maksud dari perkataan Arsa saat di rumah sakit tadi.

“Liat deh, Ra. Lautnya luas, bahkan setelah cakrawala lautnya masih belum berakhir. Lebih dari cukup, lah, untuk nampung semua beban di kepala lo. Ngeluh aja, Ra. Buang keluh kesah lo di sini,” ujar Arsa.

Ara memandang pada laut biru yang berkali-kali menyapanya lewat ombak. Setelahnya kembali menghela napasnya. Air matanya kembali menggenang di pelupuk mata, belum bisa lega karena mengingat kondisi orang tuanya yang terbaring lemah di rumah sakit.

“Sa, tadi sebenernya Mama Papa udah mau pulang. Tapi, di perjalanan Mama telepon gue dan nanya gue mau dibawain apa. Terus gue bilang, mau dibawain brownies yang emang biasa Mama Papa bawa kalo abis ke luar kota. Jadi mereka puter balik dan akhirnya—”

Ara memutus ucapannya sendiri, tak sanggup melanjutkannya. Gadis itu kembali menangis, sementara Arsa masih setia memandanginya.

“Sa, ini semua salah gue. Harusnya waktu Mama tanya gue mau apa, gue jawab gue nggak mau apa-apa selain mereka yang pulang dengan selamat, Sa. Kalo aja gue nggak minta dibawain brownies, kalo aja permintaan gue nggak aneh-aneh, pasti nggak akan gini kan, Saa?” ucap Ara.

Arsa menggeleng, “Enggak, Ra. Ini semua takdir, jalannya udah begini dan lo nggak boleh nyalahin diri lo sendiri kayak gini.”

“Yang bisa kita lakuin sekarang cuma berdoa, Raa. Jangan putus asa dulu, ya?” lanjutnya.

Ara menghela napasnya untuk kesekian kali. Setelahnya terdengar rintihan kesakitan dari Arsa yang secara tiba-tiba dihujani pukulan oleh Ara.

“Kok mukul, sih?!” ujar Arsa jengkel. “Lo nyebelin abisnya. Lo kan tau Mama Papa gue ke luar kota dua bulan, terus lo malah sibuk ninggalin gue sendirian. Bete tau nggak?!” jawab Ara.

Arsa hanya terkekeh melihat wajah Ara yang cemberut. Memendam perasaan gemasnya sendiri dalam hati. “Maaf yaa, gue tuh lagi bikin lagu sama temen guee.”

“Ribet. Gue mau ngambek pokoknya sama lo. Huh, nyebelin!” ujar Ara. Setelahnya gadis itu kembali menoleh pada Arsa yang masih memandanginya sembari tersenyum. Menampilkan lesung pipi yang selalu membuat Ara jengkel, karena cekungan itu selalu saja membuat Arsa tampak seribu kali lebih manis.

“Terus udah jadi lagunya?” tanya Ara. “Katanya ngambek? Kok kepo?” usil Arsa yang langsung dihadiahi pukulan oleh Ara.

Pemuda itu hanya terkekeh, “Iyaa udah jadi lagunya. Mau denger?”

Dengan semangat Ara mengangguk. Kemudian menanti Arsa yang segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, berniat memperdengarkan lagu buatannya pada sahabatnya itu.

Namun, belum sempat ia menyalakan ponselnya, ponsel milik Ara berbunyi. “Bentar, Sa,” ujarnya. Arsa hanya mengangguk dan menunggu gadis itu selesai dengan urusannya.

“Halo? APA? IYA IYA SAYA KE SANA SEKARANG!”

Arsa mengerutkan alisnya melihat Ara yang mendadak terburu-buru. “Sa, Mama Papa gue, Sa! Kita harus balik ke rumah sakit!”

Dengan segera Arsa bangkit dan meraih tangan Ara, keduanya bergegas ke rumah sakit.


Sudah genap seminggu sejak hari itu, dan Ara masih enggan menemui siapapun. Gadis itu mengurung diri di kamarnya, tidak memedulikan semua orang yang berusaha menggapainya. Termasuk Arsa.

Benar, telepon yang Ara terima di pantai saat itu adalah telepon dari rumah sakit yang mengabarkan kondisi kedua orang tua gadis itu yang semakin memburuk. Tentu saja dirinya dan Arsa sudah berusaha bergerak secepat kilat untuk kembali sampai di rumah sakit. Namun, Mahakuasa Tuhan dengan segala kehendak-Nya. Saat keduanya sampai, kedua orang tua Ara dinyatakan sudah tidak bernyawa. Dan selimut putih sudah menutupi keduanya hingga wajah.

Yang bisa Ara lakukan kala itu hanya menangis, lagi dan lagi. Pertananannya luruh, bahkan gadis itu hilang kesadaran. Jatuh pingsan dalam pelukan Arsa.

Rasanya dunianya mati. Kepergian kedua orang tuanya merenggut semua cahaya dalam hidupnya. Tak ada lagi Ara yang selalu bersinar, tak ada lagi Ara yang selalu menerima protes Arsa karena berisik, tak ada lagi Ara yang tawanya selalu menggelegar. Yang tersisa hanyalah seorang Ara yang kelam.

Ara meluruskan kakinya, sudah lelah menekuk keduanya selama berjam-jam. Gadis itu tak beranjak dari balik pintu kamarnya, masih setia bersandar di sana dengan mata yang kian memerah, semakin sembab dan perih setiap harinya.

Terdengar ketukan pintu yang Ara sangat tahu berasal dari siapa. Pastilah Arsa, karena hanya dirinya yang setia menghampiri rumahnya sejak hari itu. Setiap hari. Arsa akan datang pada pagi hari, lalu kembali lagi pada siang hari, lalu kembali lagi pada malam hari.

“Araaa, main yukk!”

“Araaaaa, makan dulu dong!”

“Ara mah gitu, gue beliin bubur perjuangan loh, Ra. Ngantri banget, diselak ibu-ibu berkali-kali. Masa nggak dimakan?”

“Araaaa, ini lo bales dendam nih sama gue gara-gara gue jarang main sama lo dua bulan?”

“Araa, aduh gue malu bilangnya. Ara cantikk, keluar dulu dong! Pegel, nih!”

Arsa menghela napasnya, dirinya tahu gadis itu mendegarnya. Namun, memilih mengabaikannya.

“Masih mau sendiri ya, Ra? Ya udah nggak apa-apa. Gue bawain makanan lagi, Ra. Dimakan, ya?” ujar Arsa. Tak ada jawaban, entah sudah kali ke berapa dirinya terlihat seperti bicara pada pintu kamar yang terkunci dan tertutup rapat.

“Ra, kalo udah mau keluar, kabarin gue ya? Gue masih punya utang sama lo. Kalo lo punya pikiran untuk nyerah sama kehidupan, gue mohon tepis, Ra. Gue mohon. Tolong, jangan tinggalin gue. Gue masih punya utang sama lo, goceng kan, ya, Ra? Waktu gue beli mie di kantin. Hehehe.”

“Satu lagi. Gue belom ngasih tau lagu buatan gue ke lo kan, Ra? Eh nambah deh, Ra. Satu lagi. Gue— sayang sama lo, Ra. Jadi, tolong jangan tinggalin gue,” ujar Arsa. Masih tak ada jawaban.

Pria itu kembali menghela napasnya. Kali ini lebih berat. “Ya udah, Ra. Gue pulang ya? Gue harap gue masih bisa sering-sering ke sini untuk ketemu sama lo,” ujarnya.

Baru saja Arsa berbalik dan berniat meninggalkan kamar gadis itu, terdengar suara pintu terbuka. Dengan segera Arsa menoleh. Menampakkan Ara yang wajahnya lesu juga pucat. Tubuhnya tampak lebih kurus dari sebelumnya, dan Arsa tidak suka itu. Matanya membengkak, sembab, juga merah.

Satu hal yang Arsa tahu, Ara-nya kacau.

Arsa tersenyum tipis, sangat tipis. Namun senyumannya masih cukup untuk menggambarkan betapa lega perasaannya melihat Ara yang masih bisa muncul di hadapannya. Meski tidak seprima biasanya, setidaknya gadis itu masih ada di dunia. Dan Arsa diam-diam mengucap syukur dalam hatinya.

Sekon berikutnya pemuda itu hampir terhuyung lantaran Ara yang menerjangnya, gadis itu memeluknya erat sembari menangis, lagi. Namun, kali ini tangisan Ara yang terdengar itu turut menyayat hatinya.

Arsa membalas pelukan Ara, menghangatkan gadis itu di dalam pelukannya. Berusaha menyalurkan segala kekuatan yang ia punya pada gadis bertubuh kecil di hadapannya. Supaya kembali tegar, supaya kembali tegak.

Setelah puas menangis, Ara melepas pelukannya. Menatap Arsa dengan pandangannya yang kabur. Gadis itu mengatur napasnya sejenak. Lalu bicara. “Sesek, Sa. Mau napas.”

Arsa tersenyum, lalu pemuda itu mengangguk. “Ayo, gue temenin.”


Kembalilah kedua muda-mudi itu di pantai yang sama dengan tempo hari. Dengan terik yang sama dengan tempo hari. Kembali duduk di atas pasir, dan kembali berkeluh kesah pada laut yang Arsa bilang cukup luas untuk menjadi wadah penampung bagi semua beban Ara.

“Sekarang gue sendirian, Sa.”

“Ada gue, Ra. Ada Ibu gue, ada Ayah gue. Kita semua keluarga lo juga.”

Ara menoleh dan mengulum sedikit senyum pada Arsa. Berterimakasih secara rahasia atas perhatian yang berasal dari pemuda itu dan keluarganya.

“Hari ini, sebelum lo dateng, gue sempet kepikiran untuk nyusul Mama Papa,” ujar Ara. Pandangannya kosong, dipusatkan pada cakrawala.

Arsa menatap gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Hatinya berkecamuk cemas. Seakan mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan paling buruk.

What's stopping me was your voice, saying something that makes me feel that i'm not alone,” ujar Ara. “Bayar utang lo, Sa. Goceng lumayan buat beli es teh di kantin sekolah,” sambung gadis itu.

Arsa tertawa. Lalu menghela napas kasar. “Iyee gue bayar ntar.”

“Makasih ya, Sa. Makasih selalu ada buat gue,” ucap Ara sambil menatap ke arah pemuda itu.

Arsa tersenyum sebelum akhirnya mengangguk. “Ra, tolong jangan nyerah sama kehidupan, ya? Liat lagi, Ra. Lautnya luas, bahkan setelah cakrawala masih belum habis. Hidup lo juga harus gitu ya? Panjang umur. Jangan diputus di tengah jalan.”

“Tolong tetep hidup untuk alasan sekecil apapun ya, Ra? Bahkan kalo alesan lo cuma utang goceng gue, gue rela ngutang goceng setiap hari,” sambung Arsa.

Ara pada akhirnya tertawa. Terlepas bebannya, sedikit demi sedikit. “Mana lagu lo, Sa? Mau denger, dong!”

Arsa berdecak. “Ah elu, lagu gue judulnye Orangee, maksudnya biar senja senja gitu kenapa mintanya didengerin tengah hari bolong begini, sih?!”

“Ah ribet, mau oren, ijo, biru, sama ajaa!” ujar Ara.

“Dih, nggak ada feel-nya dong nanti, Araaa!” sahut Arsa.

“Kan yang dengerin gue, kok lo yang ribet, dahhh? Nanti gue dengerin lagi pas udah sore kan bisa, Saa!” jawab Ara tidak mau kalah.

Arsa pada akhirnya mengalah. Kemudian dirinya mengeluarkan ponselnya, membuka Google Drive miliknya dan memutar lagu buatannya. Setelahnya menyerahkan ponselnya pada Ara, agar gadis itu bisa mendengarkannya dengan puas.

Selang beberapa menit, lagu buatan Arsa itu usai. Ara terdiam di tempatnya, mengulum senyum tipis di wajahnya. Lagu buatan Arsa rasanya sangat tepat didengarkan di tempat seperti ini. Lagu Arsa, deru angin, dan debur ombak, adalah perpaduan yang tepat. Ara dapat merasakan hatinya menghangat, hatinya kembali tenang, dan secercah harapan kembali memenuhi hatinya.

Kembali diserahkan ponsel yang Ara pegang pada pemiliknya. “Gimana?” tanya Arsa.

Ara mengangguk, “Bagus, Sa. Kalem. Adem. Gue suka.”

Arsa tersenyum bangga, “Hebat, kan gue?” Sementara Ara memutar matanya malas.

Pemuda itu terkekeh. “Bagus deh, kalo lo suka. Lagunya emang buat lo, kok.”

“Kok gitu?”

“Ya, lo kan pernah bilang sama gue lo suka senja. Tapi gue nggak suka, Ra. Soalnya kalo udah senja tandanya udah harus pulang ke rumah masing-masing, dan itu artinya gue harus pisah sama lo. Yaa, walaupun rumah kita juga nggak jauh-jauh amat, cuma beda gang. Tapi tetep aja, harus nunggu besok lagi buat ketemu lo. Dan gue males, soalnya maunya ketemu lo terus,” jelas Arsa. “Makanya gue bikin lagu ini,” sambungnya.

Lagi-lagi hati Ara menghangat. Dirinya ikut tersenyum bersama Arsa yang kini tersenyum ke arahnya.

Stay alive, Arabella. Stay with me untill the last orange our eyes could barely witness, would you?

Gadis itu terpaku di tempatnya. Terdiam mendengar permohonan Arsa yang manis.

Kemudian Ara mengangguk pelan, “Will surely do.

Lalu Ara menyandarkan kepalanya pada bahu Arsa. Memejamkan matanya, meresapi terpaan angin yang membelai wajah cantiknya sejak tadi.

Kini Ara tak lagi takut, dirinya tahu bahwa ia tidak sendiri. Bersama Arsa, gadis itu siap menjadi seorang Arabella yang tegar, dan akan selalu berdiri tegak.

—fin.


©raranotruru