Tanda Tangan

“Sekarang tugas kalian carii kakak-kakak OSIS-nyaaa, minta tanda tangannya yaa! Harus dapetin minimal 20! Waktunya 30 menit, dimulai dari sekarang! Semangattt! Nih kakak-kakaknya banyak yang nyebar!”

Begitu instruksi dari pembawa acara MOPDB pagi itu. Anggia celingak-celinguk, ia tidak menghapal nama siapapun selain Haris, Yuna, Vio yang memang menjadi mentor kelasnya. Namun, gadis itu juga tidak berani meminta tanda tangan kakak kelas 12. Artinya harapan satu-satunya hanyalah Haris.

Namun Gia ragu, gadis itu segan meminta tanda tangan Haris akibat kejadian pagi tadi. Alhasil Gia celingak-celinguk, tak beranjak dari tempatnya.

“Gia! Ayo minta tanda tangan, kamu kenapa diem aja sih?!” ujar Zahra.

“Jar, aku nggak tau nama siapa-siapa...”

“YA UDAH GAMPANG! Sini ikut aku!” jawab Zahra. “Ke Kak Dhimas aja, tadi aku dapet tanda tangan dia.”

“Kok bisa?”

“Hehehe, dia temennya tetangga aku,” balas Zahra.

“CURANG! PAKE ORANG DALEM!” balas Gia. Namun pada akhirnya ia tetap mengikuti langkah Zahra.

Saat melangkah menuju Dhimas, Gia mendapati pemuda itu sedang bertukar almet dengan Haris sambil tertawa-tawa. Gia melihat ada gerombolan adik kelas yang menghampiri mereka berdua, pasti dengan maksud yang sama.

“Kak Haris, Kak Dhimas, minta tanda tangannya dong!” ujar salah satu dari rombongan itu mewakili.

“Mana? Siapa yang Haris siapa yang Dhimas?” tanya Dhimas iseng. Kemudian pada adik kelas itu menjawab dengan jawaban terbalik. Mereka menjawab bahwa Dhimas adalah Haris dan Haris adalah Dhimas lantaran hanya mengandalkan nama yang tertera pada almet yang Haris dan Dhimas kenakan. Tanpa mengetahui keduanya sudah bertukar almet.

“Salah! Tuh, kalian aja nggak kenal kita. Ngapain minta tanda tangan kita?” tanya Haris. “Minta yang lain aja,” sambungnya membuat rombongan adik kelas itu pergi dengan kecewa.

“Kak Dhimas!” panggil Zahra.

“Ngapain lagi lu?” tanya Dhimas.

“Tanda tangan punya temenku dong, Kak! Kasian dia belom dapet sama sekali,” balas Zahra.

Gia melirik ke arah Haris, pria itu sepertinya benar-benar menjadi tidak suka padanya. Melihat dari gelagat Haris yang berpura-pura tidak melihat keberadaan Gia di hadapannya.

“Jara lu mah curang. Ya udah mana sini punya temennya!” balas Dhimas pasrah.

“Siapa nih namanya?” tanya Dhimas.

“G-Gia, Kak.”

Tangan Dhimas berhenti bergerak kala mendengar nama Gia.

“Anggia?” tanya Dhimas memastikan. Gia hanya mengangguk.

“Ohh, okee. Udah saya tanda tangan yaa, Gia,” balas Dhimas ramah. “Ris, tanda tangan dong! Elu kan mentor kelasnya masa nggak tanda tangan?”

“Males,” jawab Haris.

“Ah, jangan suka begitu. Dilarang dalam agama,” balas Dhimas bercanda. “Cepett, kasian itu si Gia baru dapet satu dari gue.”

“Nggak ah, gue mau ke sana aja,” balas Haris.

“Ehm, Kak Dhimas, nggak usah nggak pa-pa, kok. Nanti saya minta ke kakak yang lain aja. Makasih banyak, Kak Dhimas!” Gia masih berusaha membalas dengan ceria.

“Oh, iyaa sama-sama Gia. Maafin yaa, Haris-nya lagi bete hehehe,” balas Dhimas.

Gia hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian pergi bersama Zahra zetelah berpamitan.

“Lo kenapa sih, Ris? Ini beneran apa boongan galaknya?” tanya Dhimas.

“Beneran kalo sama Gia. Gue sebel banget dah sama tu anak.”

“Kenapa?”

“Lo nggak liat? Itu dia nggak pake dasi. Tadi gue ditegor sama Kak Vio, lagi. Kemaren Gia juga buat kesalahan. Terus Kak Vio suruh gue ingetin dia, eh sekarang buat kesalahan lagi. Ya gue yang dicecer,” jawab Haris sebal.

“Dimarahin gimana lu emang?” tanya Dhimas.

“Anjir lah masih pagi gue udah dibilang nggak becus, nggak bisa dikasih kepercayaan. Makanya gue sebel anjir!” jawab Haris.

Dhimas memandang Haris serius. “Iya sih, Ris. Gue paham, kalo jadi lo juga gue sebel. Tapi kan kita udah lama lah, di OSIS. Setahun udah ada. Harusnya udah paham emang begitu cara kerja OSIS.”

“Mungkin Kak Vio marah karena lebih ke— nggak enakkk kalo diliat guru, nanti kan Gia juga yang kena. OSIS juga yang kena, kok baru MOPDB udah ngelanggar aturan gitu. Tapi menurut gue lo juga nggak perlu marah ke Gia,” ucap Dhimas.

“Gia salah, tapi kalo lo menyalahkan dia sepenuhnya juga lo salah. Ini bukan ngebandingin ya, Ris. Gia mah masih mending, nggak ada apa-apanya kesalahannya. Tadi di kelas gue pas guru lagi isi materi ada yang tidur. Ape ceceran gue nggak bakal lebih gede dari lo?”

Haris terkejut, “Demi apa tidur?!”

“Beneran, ada lagi katanya malah. Di kelas mana gitu. Jadi kalo nanti angkatan kita dicecer, ya bukan salah Gia. Gia cuma nggak pake dasi, nggak bertingkah kurang ajar kayak anak-anak yang lain yang lebih parah. Jauh lebih parah,” balas Dhimas.

“Selaw, Men. Kita kan udah biasa digituin, dimarahin mah makanan sehari-hari. Harusnya lo nggak usah begitu ke Gia.”

Haris hanya diam. Memikirkan perlakuannya terhadap Gia karena segala sesuatu yang Dhimas katakan adalah benar.

“Kalo sempet, minta maaf ke Gia. Kayaknya anaknya denger yang tadi lo omongin ke gue,” ujar Dhimas sambil menunjuk Gia yang berada tak jauh dari keduanya.

Haris menoleh, mendapati Gia dengan raut wajah tak secerah sebelumnya sedang menunduk.

Sepertinya, lagi-lagi Dhimas benar. Gia mendengar ucapannya.