Something In His Way

DHIMAS'S POV

Lama-lama rasanya gue familier sama sekolah ini. Selain karena pernah studi banding ke sini, sekolah ini gue kenali karena rutinitas gue—menjemput Adelia. Biasanya gue jemput Adel persis di depan gerbang, supaya dia nggak perlu repot cari gue jauh-jauh. Sebisa mungkin, gue aja yang nyamperin Adel. Sayangnya, hari ini lain cerita. Entah motor siapa, segede Gaban gitu tiba-tiba parkir ngalangin jalan. Heran gue juga—motornya bagus, tapi yang punya nggak bisa parkir. Aneh.

Dari kejauhan, gue liat Adel keluar gerbang. Sendirian, mungkin karena Cipon ada urusan lain. Gue melambaikan tangan dari jauh, dibalas Adel dua kali lipat lebih semangat. Dia kemudian berlari kecil, sesekali ngerem mendadak karena jalanan depan sekolah masih sangat ramai orang. Ditambah ada orang butut yang parkir sembarangan dan ngalangin jalan ini.

Motor siapa, sih!? Ketika hampir sampai ke arah gue, Adel melontarkan pertanyaan yang sama. Tanpa suara.

Nggak tau, balas gue sambil menggeleng. Detik berikutnya, Adel otomatis mencibir. Sama kesalnya dengan gue dan pengguna jalan lain yang merasa haknya diambil alih.

Di depan gue, Adel masih berusaha untuk mencari celah untuk menghampiri gue dengan segera. Tapi, tiba-tiba ada seseorang yang manggil dari arah samping.

“Adelia?”

Gue dan Adel menoleh bersamaan. Pada seorang remaja dengan badan tinggi dan kekar. Kulitnya putih dengan wajah yang—gue duga—memiliki keturunan Chinese yang kental. Ganteng, sih, jujur. Tapi sebentar, apa, nih, maksudnya?

Di sisi lain, Adel pun sama bingungnya kayak gue. Dia bahkan diem aja dan jadi ikut ngalangin jalan. Sekon berikutnya, Adel langsung sadar dan minggir. “Iya? Siapa ya?” tanyanya.

“Gue—”

“Oh, gue tauuu!” seru Adel, “nyari Cipon, ya? Cipon udah balik sama Koh Gil. Kalo mau nanyain IG atau kontaknya yang lain, sorry banget gue nggak bisa kasih. Nanti gue diusir dari rumahnya Cipon.”

Gue bingung, tapi si cowok tadi lebih bingung. Gue sedikit paham, mungkin Adel udah terlalu biasa ditanyain soal Cipon sama cowok-cowok yang naksir Cipon. Apalagi, mengingat bahwa cowok tadi juga kayaknya setipe sama Cipon—masuk akal kalau Adel otomatis bilang gitu.

“Oh, hahaha. Enggak, kok. Gue nyari lo,” balas cowok itu. Bentar, ini dunia lagi kenapa, sih?

“Gue temennya Badrul, Del. Gue Rafif, atau ya, Badrul manggilnya Apip.”

Oh, ini dia orangnya? ucap gue dalam hati. Sebisa mungkin, gue berusaha menahan emosi. Jangan sampe gue kayak Haris, jangan sampe juga gue melewatkan momen untuk membaca strateginya. Gue liat-liat, Adel melirik ke arah gue. Agaknya Adel juga ketar-ketir. Kemudian gue mengalihkan pandangan ke arah Rafif. Entah dari mana, tiba-tiba dia ngasih Adel tas putih bertuliskan restoran fast food Jepang yang terkenal.

“Kata Badrul, hari ini lo les lagi ya? Makanya gue sengaja nyamperin lo, buat ngasih ini. Dimakan ya, Del. Biar makin fokus lesnya karena perutnya udah keisi.”

Raut wajah kebingungan jelas tercetak di wajah Adel saat itu. “Serius ini buat gue? Lo tau sekolah gue dari mana?” tanya Adel.

“Serius,” jawab Rafif. “Gue tau sekolah lo—ya, dari Badrul, lah!”

Adel terdiam sesaat. Tangannya masih belum bergerak untuk ngambil pemberian Rafif di hadapannya. “Lo serem, by the way... Lagian gue udah bilang lewat Aduy, gue udah punya cowok. Aduy nggak sampein, atau lo yang nggak mau denger?”

Rafif tertawa meremehkan. Tai emang. Gue tau, nih, orang kayak dia emang berasa punya segalanya. “Cowok lo punya apa emang?”

For a split second, gue liat Adel pun tersinggung denger pertanyaannya. Apalagi gue, nyet? Gue yang diomongin? Gue denger semuanya? Ini cowok masih bisa berdiri di kakinya aja udah bagus. Nggak bisa dipungkiri bahwa emosi gue lama-lama memuncak dengan sendirinya. Sebelum terjadi keributan, gue memilih untuk nyalain motor dan siap-siap pergi. Otak gue mulai mikir cepat, haruskah gue tabrak Rafif dan motornya atau tetap jadi orang baik. Namun, niat buruk gue tertunda sesaat. Adel kembali bersuara.

“Cowok gue? Punya apa lo bilang?” tanya Adel.

“Iya. Cowok lo punya apa kalo dibanding gue?”

Adel terkekeh sinis. Membuat lawan bicaranya penasaran dengan jawaban yang akan keluar dari mulutnya—termasuk gue. Gue juga penasaran.

“Cowok gue punya otak dan skill parkir yang mumpuni. Jadi kerjanya nggak cuma pamer, parkir sembaragan, dan bikin jalanan macet kayak lo,” balas Adel. “Pinggirin, tuh, motor lo! Cowok gue mau lewat—atau gue tabrak aja? Pretty sure you can go ask Mommy or Daddy to buy you new one, kan?”

Entah ide dari mana, gue pun menyambut umpan Adel. Mungkin karena telanjur kesal. Dengan sengaja gue klakson Rafif berkali-kali, menunjukkan bahwa gue sangat, sangat terganggu.

Tin! Tin! Tin! Tin! Tin!

Detik itu Rafif pun menoleh ke arah gue. Bagus, liat sini. Gue cowoknya.

“Buruan, Del. Keburu tukang cimolnya nikah nanti dia nggak jualan,” ucap gue. Dan Adelia otomatis menghampiri gue, nggak lupa mengusir Rafif sekali lagi. Galak.

Ah, kadang gue lupa kalo Adelia dan Haris adalah dua orang yang serupa. Diam-diam gue tersenyum kemenangan. Somehow gue ngerti rasanya jadi Gia, pacarnya Haris. Perihal pembelaan yang dia dapatkan... Juga soal insecurities yang Haris ceritakan.

Dan hari ini, i know something's literally getting in my way.