Siapa?
Damar memainkan ponselnya sambil sesekali mencuri pandang pada gadis yang sedang sibuk menulis di hadapannya. Sesekali ia menerawang, menatap langit-langit, nampak mengingat-ingat sesuatu yang ia tulis pada tugas sebelumnya.
Anak rambutnya berantakan namun tetap tak mengurangi kadar kecantikan gadis itu di mata Damar. Malah membuat pemuda itu gemas, sedari tadi ingin sekali menggerakan jemarinya untuk merapikannya. Sebab itulah, Damar memilih untuk bermain ponsel, guna meminimalisasi perasaan gemasnya.
“Aduhh, salah mulu dah, plis lah tolong lah, kerja samanya lah,” Aghniya bermonolog.
Damar terkekeh, entah kali ke berapa. “Kok ngomong sendiri? Ini ada gue loh, ngomong sama gue sini jangan ngomong sendiri, hahahaha.”
“Eh, hehe. Sorry ya, emang suka gitu, aneh banget deh. Malu,” balas Aghniya.
“Ahahaha, udah itu kerjain. Masih banyak? Folionya cukup?”
“Iyaaaaaaa sedikiiiiiiiit lagi! Cukup, Damaar. Ini belum dibalik, kok,” jawabnya.
Lalu gadis itu kembali menulis. “Damar,” panggilnya, sambil masih menulis.
“Iyaaa,” jawab Damar.
“Emang Damar nggak mau pulang?”
“Lo ngusir gue ya?”
“ENGGAK!” seru Aghniya. “ENGGAK SUMPAH! Nanya doaaaaang, maksudnya takutnya kan lo ada perlu. Masa nungguin gue, emang nggak pa-pa?”
Damar, untuk kesekian kalinya, tertawa. Andai pemuda itu tahu suara tertawanya yang renyah namun tetap terdengar halus itu membuat hati gadis di hadapannya itu kacau tak karuan.
“Enggakk, nggak pa-pa. Gue disuruh jemput kakak sepupu gue nanti di stasiun. Tapi dia belom sampe juga. Gue males kalo pulang dulu, mending nunggu sini, dari sini ke stasiun deh,” balas Damar.
“Ooooooh gitu.”
“Lo nanti pulang sama siapa?” tanya Damar.
“Sendiri, naik owjowl,” Aghniya membalas dengan aksen yang dibuat-buat.
“Bentar Damar. Ini udah selesai. Mau ngumpulin dulu yaa!” ujarnya. Lalu gadis itu berlari menuju ruang guru tanpa memakai sepatunya. Membuat Damar menggelengkan kepalanya.
Pria itu memilih untuk merapikan sepatu gadis itu yang tersenggol pemiliknya sendiri. Damar bahkan merapikan alat tulis Aghniya dan kembali memasukkannya ke dalam tempat pensil milik gadis itu.
Tak lama kemudian Aghniya kembali. Gadis itu melangkah riang dengan secercah senyum menghiasi wajahnya.
Aghniya bergumam riang. “Udah?” tanya Damar. Gadis itu lalu mengangguk semangat.
“Pulpen gue?” tanyanya bingung.
“Udah gue masukin tempat pensil,” jawab Damar. “Ya ampun, makasih banyak Damar.”
“Dah, rapiin dulu. Gue temenin sampe ojolnya sampe,” ujar Damar. “Tapi gue ke depan sebentar ya?”
“Ah, okayy!”
Aghniya lanjut merapikan barang-barangnya. Gadis itu lalu duduk di kursi. Sambil memakai sepatunya, Aghniya memikirkan tugasnya yang raib secara tiba-tiba. Gadis itu mengingat dengan jelas bahwa dirinya sudah meletakkan tugasnya di meja guru, bersama dengan tugas milik teman-temannya.
Masih melamun, Aghniya merasakan seseorang duduk di sebelahnya. Gadis itu menoleh, rupanya Revan.
“Cowok lo nggak masuk, terus ngegebet Damar?” ujar Revan.
Aghniya memutar matanya, menganggap ucapan Revan angin lalu. Kemudian lanjut memakai sepatu.
“Lo kok putus dari gue jadi liar gitu sih, Agh? Siapa yang ngajarin?”
Aghniya mendelik tak suka ke arah Revan. “Maksudnya?”
“Cowok lo makin banyak. Lo mau ngikutin jejak gue?”
“Duluan ya, Rev!” pamit Aghniya. Gadis itu memilih meraih ranselnya, membawakan serta ransel Damar yang ditinggal di kursi.
“Perhatian banget bawain tas Damar? Emang lo siapanya?”
“Urusannya sama lo apa sih? Emang kita kenal?” tanya Aghniya ketus.
“Jangan recet deh mulut lo! Gue nggak ada urusan sama lo!” ucap Aghniya lagi, lalu berniat pergi.
“Wets, tar dulu,” ucap Revan. Pria itu menahan lengan Aghniya, tak lupa menghalangi jalannya.
“Lepas!”
“Kenapa sih lo benci banget sama gue?” tanya Revan. Sejujurnya Aghniya menyadari nada bicara Revan yang melunak. Tak ada kesombongan pada kalimatnya kali ini.
Namun, gadis itu tetap mendelik tak suka. “Ya menurut lo aja, gila!”
“Minggir ah!” titah Aghniya.
“Ck, apa sih yang lo cari dari Damar? Dari Dhimas? Fame? Apa bedanya sama pas masih sama gue? Tapi gue jadi penasaran, kenapa lo bisa deket sama mereka? Cara lo genit-genit oke juga,” celetuk Revan.
Aghniya membelakakkan matanya mendengar kalimat terakhir Revan. Cara lo genit-genit, katanya?
“Lepas tangan gue, tutup mulut lo. Tas Damar ada laptopnya, jangan sampe melayang kena palak lo ya!” balas Aghniya tegas. Gadis itu tak berbohong, tas Damar cukup berat hari itu. Asumsinya, Damar membawa laptop.
“Lo nggak berubah ya, masih galak aja. Pantesan mepet banyak cowok juga nggak ada yang mau sama lo,” ujar Revan.
Aghniya mengembuskan napas kasar. Sudah muak dengan kehadiran Revan di depan wajahnya.
“Lo pikir lo berubah? Enggak. Masih sama, masih nggak tau cara menghargai orang lain.”
Revan terkekeh sinis, “Emang berapa harga lo?”
Aghniya mendadak diam. Tangannya meremas tas Damar dalam pelukannya. Matanya berkaca-kaca, namun masih sekuat tenaga menahan tangisannya. Gadis itu membuang muka, lalu berlalu meninggalkan Revan saat pemuda itu lengah.
Gadis itu berjalan sambil menunduk, hingga lagi-lagi hampir menabrak Damar.
“E-eh, kok ke sini, Agh?” tanya Damar.
“Hah? Oh, iyaa. Nggak pa-pa, biar lo nggak jauh lagi aja jalannya. Ini, tas Damar,” jawab Aghniya. Gadis itu menyerahkan tas Damar pada pemiliknya.
“Terima kasih, lain kali nggak usah dibawain ya, berat. Hari ini gue bawa laptop lagi, maaf ngerepotin yaa,” ujar Damar. Aghniya diam-diam bersyukur dalam hati, setidaknya dirinya tidak berbohong pada Revan.
Gadis itu merapikan anak rambutnya yang kembali berantakan, mengatur napasnya. “Takut ilang, nggak ada yang jagain.”
“Lo— kenapa, Agh?” tanya Damar. Dirinya menyadari perubahan ekspresi Aghniya ketika hampir bertabrakan dengannya. Damar juga menangkap netra Aghniya yang nampak berkaca-kaca.
“Hm? Enggak. Nggak pa-pa,” jawabnya sambil berusaha tersenyum.
“Bohong,” balas Damar.
Aghniya tertawa dibuat-buat, “Enggaaak. Beneran nggak pa-pa. Gue mau pesen ojol dulu yaa. Tunggu depan aja yuk?”
Sebelum Aghniya berlalu, Damar menahan lengannya. Menatap gadis itu tepat di matanya. “Siapa?”
Aghniya mengangkat sebelah alisnya, terkejut namun bingung disaat bersamaan.
“Ap-apa?”
“Siapa yang bikin mata lo berkaca-kaca gitu?”