Selasa
Hari kedua, pada jam yang sama, seluruh anggota kelompok 1 kembali berkumpul. Pula pada tempat yang sama seperti hari kemarin. Kali ini sudah lebih baik sebab seluruh anggota mulai saling bercengkerama lantaran sudah familiar dengan wajah masing-masing. Sepertinya metode Haris memberikan waktu menghapal selama lima menit itu berjalan dengan sukses. Sebab tak hanya itu, kini pola duduk anggota kelompok 1 pun mulai mengacak. Yang sebelumnya duduk di sebelah seseorang yang mereka kenali, kini duduk di samping teman baru. Membuat Dhimas selaku salah satu pembimbing kelompok 1 itu tersenyum senang dan bangga akan hasil bimbingannya yang berjalan baik. Pun demikian dengan Haris, hanya saja pemuda itu menutupi ekspresinya rapat-rapat dalam wajah datar yang seakan tak ingin menunjukkan senyuman indahnya pada sembarang orang.
Termasuk di antaranya adalah Gia, yang kini tak lagi duduk di sebelah Alwan seperti kemarin. Kini gadis itu memilih bersosialisasi, Gia duduk di sebelah Dinda yang berasal dari kelas MIPA 3. Gadis dengan perawakan sangat tinggi untuk ukuran seorang perempuan, lebih tinggi dari Alwan dan menyaingi tinggi Haris. “Gia udah nemu baju?” tanya Dinda.
Gia menggeleng sebelum mengeluarkan suara dengan volume kecilnya itu, “Belum, Dinda. Kemarin baru bilang aja sama Mamaku, hari ini katanya mau dicariin. Nggak tau deh ada atau enggak. Semoga sih ada. Kamu udah?”
“Samaa, lagi dicariin, sih di pasar deket rumah. Semoga aja ada deh, gue males banget anjir wantex wantex. Ribet!”
Setelah Dinda membalas perkataannya, Gia tak lagi menjawab. Sebab Haris datang dengan langkahnya yang gagah dan lebar, membelah koridor dengan berani diikuti Dhimas di belakangnya. Pemuda itu kini mengambil alih perkumpulan dan menginstruksikan seluruh anggota kelompoknya untuk berhenti sejenak melakukan aktivitasnya. Bersebelahan dengan Dhimas, Haris duduk bersila seraya memegang buku tulis bersampul putih disertai logo OSIS yang menempel di bagian depan bukunya. Bersiap untuk membacakan informasi yang baru saja ia catat dari rapat yang baru saja ia datangi.
“Dengerin ya, saya nggak mau ngulang. Untuk name-tag, ukurannya ganti total. Kalian bisa langsung tanya ke meja yang di depan ruang OSIS, tanya sama kakak kelasnya ukurannya berapa. Yang sopan, barusan kita kena tegur karena kemarin banyak banget dari angkatan kalian yang nanya sama kakak kelasnya seenak jidat, nggak pake bahasa yang santun, nggak ada izinnya,” ucap Haris. “Sebisa mungkin, harus, malah, jaga etikanya. Kesalahan sekecil apapun yang kalian buat di sini, pasti bisa jadi masalah pas hari-H nanti. Ngerti, ya?”
“Ngerti, Kak.”
“Oke, saya lanjut ya. Kalian juga harus buat yel-yel kelompok. Sama tunjuk perwakilan kelompok untuk pentas seni buat api unggun. Bebas mau rame-rame, semuanya tampil atau beberapa orang doang, atau kalo ada yang berani sendiri silakan,” lanjut Haris.
“Ih itu harus banget tampil, Kak?” tanya Dinda. “Iya. Harus, wajib, kudu, fardu 'ain,” balas Dhimas yang kemudian membuat embusan napas malas terdengar dari berbagai penjuru.
“EH GIA AJA, KAKKK!” usul Alwan bersemangat. Pemuda berbadan tegap itu menunjuk Gia dengan wajah berbinar, seakan paling mengetahui potensi Gia yang tersembunyi. “Sumpah, Kak demi Allah suara Gia bagus banget! Waktu itu musikalisasi puisi sekelas bengong doang dengerin Gia nyanyi, Kak!” lanjut Alwan, masih dengan semangat membara yang enggan surut.
Sementara yang ditunjuk sedari tadi gelagapan, “ENGGAKKKKK!! NGGAK MAU! Kamu aja sana joget!! Kak Alwan aja, Kak. Alwan suka joget-joget di kelas sumpah nggak boong!”
“Dih, Kak, kalo Gia yang tampil dijamin seisi lapangan nanti cengok! SUARANYA MERDU BANGET KAK DEMI ALLAH! Semua orang harus denger suara lu, Gia!” balas Alwan lagi.
“YA SAMAA! Semua orang juga harus tau kamu bisa joget! Sumpah please jangan aku dong, Waaaaan. Nggak beraniii ditonton semuanyaaa,” Gia merengek.
Dhimas yang sedari tadi menyaksikan perdebatan keduanya kini mengambil peran. “Ya udah suit aja coba. Yang kalah mau nggak mau, suka nggak suka, harus tampil jadi perwakilan kelompok pas acara api unggun,” ucap Dhimas bijaksana.
“KOK GITU SIHHH, KADHIM?”
“Abisnya tunjuk-tunjukkan doang dari tadi nggak ada ujungnya? Udah cepetan suit. Sekali aja!” balas Dhimas.
Pada akhirnya Gia pasrah. Seraya mengerucutkan bibir, Gia mengangkat sebelah tangannya di udara. Bersiap mengeluarkan salah satu di antara gunting, batu, atau kertas untuk melawan Alwan.
Di hadapannya, Alwan melakukan peregangan bahu, berlagak seperti seorang petinju yang akan bertarung di tengah-tengah ring.
“Siap ya? Satu.. dua.. tiga!” Dhimas memberi aba-aba, membuat Alwan dan Gia mengeluarkan 'senjata'-nya tepat pada hitungan ketiga. Dhimas terperangah di tempatnya seiring helaan napas kecewa dan sorakan gembira terdengar secara bersamaan dari dua arah berbeda.
Kertas melawan batu. Alwan resmi menang tanpa adanya kecurangan sedikit pun. Itu artinya, Gia-lah yang harus menjadi perwakilan kelompok. “YES! Sumpah makasih banget, Kak Dhimas!!” sorak Alwan girang. Mengabaikan Gia yang masih tertunduk lesu di tempatnya. Di sisi lain, Dhimas hanya tertawa seraya menepuk-nepuk pundak Gia pelan, “Semangat ya, Gi!”
Pasrah, Gia akhirnya menerima nasib. Setelahnya Gia terus mengerucutkan bibir hingga Dhimas kembali bersuara. “Siapin lagunya ya, Gi. Nanti kirim ke gue aja,” ucap Dhimas yang hanya dijawab anggukan lesu oleh Gia.
“Udah, lanjut. Bagi tugas aja, ada yang buat name tag sama sisanya pikirin yel-yel kelompok,” celetuk Haris. “Siapa yang mau bikin name tag?”
“Yang bikin name tag jangan banyak-banyak. Banyakin ke yel-yel aja, butuh lebih banyak otak untuk mikirin itu sumpah dah!” usul Dhimas yang setelahnya disetujui Haris.
“Kak, saya, Gia, sama Dinda bikin name tag deh. Soalnya kemaren kita bertiga udah hampir nemu cara buat bentuknya, ukurannya juga udah nyaris betul. Jadi tinggal lanjutin aja,” ucap Alwan.
“Oh gitu?” balas Haris. Datar. Namun Dhimas dengan kemampuan 100% pekanya itu dapat menangkap dengan jelas ketidaksukaan yang menguar dari kalimat singkat Haris. Membuat pria itu setengah mati menahan tawanya agar tidak menyembur di hadapan banyak orang.
Rupanya tak hanya Dhimas yang menyadarinya, Dinda pun berpikiran sama. Adik kelasnya yang berdiri tepat di sebelah Gia itu tertawa, “Kak Haris nadanya nggak suka banget, Kak?”
Haris mengangkat sebelah alisnya terkejut, “Oh enggak, saya nanya. Ya udah, kalo emang maunya begitu. Mulai aja.”
“Ya udah, Ris. Lo pegang mereka, gue sama yang buat yel-yel ya? Lo kan juga jago tuh ngukur-ngukur. Gue lebih jago bersosialisasi,” ucap Dhimas, yang Haris tahu, menyiratkan ejekan dan kejahilan untuk Haris. Namun, sebelum Haris sempat mengeluarkan umpatannya, Dhimas melipir secepat kilat menuju perkumpulan anak-anak yang membuat yel-yel kelompok.
Alhasil, Haris dengan pasrah ikut duduk melingkar. Bersatu dengan Alwan, Dinda, dan.. Gia. Dapat Haris lihat dengan jelas bahwa Gia tengah gugup. Seseorang yang sudah lama tidak ia jumpai dan selalu ia nantikan untuk bertemu kembali itu terus menggigit-gigit bibir dan meneguk ludahnya sendiri. Berkali-kali pula Gia berusaha untuk mengalihkan perhatiannya dari Haris yang meski hanya duduk di sana, tetap 100% berhasil memikat hatinya. Namun Haris cuek, ia sama sekali tidak mempedulikan Gia di sana.
“Oke! Ayo, Wan. Kemaren punya siapa sih yang ukurannya hampir bener? Yang bedanya bener-bener dikiiiiiiiiit banget sama punya kakak-kakaknya yang di meja OSIS?” tanya Dinda.
“Punyaku!” jawab Gia. Setelahnya ia mengeluarkan kertas karton kuning yang sudah setengah mati ia bentuk menyerupai logo OSIS sesuai perintah para kakak kelas 12 yang akan menjadi panitia LDKS. “Tapi kemarin aku salah di lekukan bawah ininya, loh, Din. Susah banget.”
“Coba diameter atasnya kita lebarin kali ya? Mungkin punya lo kurang tuh karena dari atasnya ini udah kecil,” balas Dinda. Gia hanya mengangguk-angguk, setelahnya ia mengikat rambutnya dengan gaya messy bun agar tidak menggangu sebelum akhirnya memulai menggambar pola bersama Alwan dan Dinda.
Sekon berikut ketika ia ingin memulai menggambar pola, Gia berniat mengambil penggaris. Namun gadis yang sedari tadi menahan gugup itu teringat bahwa penggarisnya terakhir kali berada di tangan Alwan. “Wan! penggarisku mana?”
Alih-alih memberi jawaban sesuai, yang ditanya itu malah cengegesan seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Hehe, patah..”
Kedua bola mata Gia membelalak, “LAGI?! Astagaaaa, penggarisnya Jara aja udah berapa patah sama kamu? Sekarang punyaku juga? Kamu.. Samsons apa gimana...”
Alwan masih cengegesan, cengirannya seakan mewakili kecerobohan dan perasaan merasa bersalahnya. “Punya Jara tiga biji patah sama gue, gila ya? Punya lu.. empat sama ini WAHAHAHAHAH!”
“DEMI LU WANNN??” ujar Dinda tidak percaya. “Gila lu—coba kurangin dikit tenaga lu, Wan.”
“Tau ya? Alwan sehari nggak matahin penggaris tuh kayaknya sengsara banget gitu,” balas Gia.
“Gue ganti, Gii, ya elah!”
“Ya.. diganti terus dipatahin lagi buat apa?” sahut Gia lagi.
Sasaran empuk untuk diledek, jawabannya itu membuat Dinda sontak memberi jawaban jahil. “Iya ya, Gi? Tapi ini yang dipatahin penggaris lo doang kan? Hati lo enggak, kan?”
Gia dan Alwan sontak mendongak. Termasuk Haris yang sedari tadi berusaha menulikan telinga. Namun ketiganya hanya diam tanpa merespons, sebab Dinda adalah satu-satunya orang yang tidak tahu sesuatu yang tersembunyi di antara ketiganya.
“Ngaco luu!” Alwan berinisiatif membalas, mengusir canggung jauh-jauh. Namun usahanya gagal ketika Dinda kembali membuka suara. “Tapi lo sama Gia cocok, kokk! Lucu gitu gemes, soalnya berantem-berantem kecil mulu. Jadian aja sumpah, gue dukung dah!”
Alwan menipiskan bibir, memang itu yang ia inginkan. Dulu. Sebelum akhirnya ia mengetahui lawannya, yakni seseorang yang kini duduk santai tepat di sebelahnya. Memantau mereka dengan raut wajah yang sulit diartikan. Alwan tahu, Haris pasti merasa gerah mendengar segala tutur Dinda yang menjodoh-jodohkan dirinya dengan Gia. Namun pemuda itu menutupinya dengan bermain ponsel. Entah mengetikkan pesan kepada siapa.
“Kak tuh Kak, Dinda becanda mulu, Kak!” Alwan mengadukan Dinda pada Haris, berusaha mencairkan suasana walaupun dalam hatinya pun ia ketar-ketir mengajak Haris bicara.
Pria itu menoleh, mengalihkan pandangannya dari layar gawai. Meleset dari dugaan Alwan, Haris justru tertawa kecil dengan senyuman tipis di ujung bibirnya. “Biarin aja, nanti kalo kerjaannya nggak kelar salahin Dinda. Dari tadi juga kan Kak Vio mondar-mandir, ngeliatin yang nggak kerja. Dinda fix banget dicatet, sih. Ditandain.”
“DEMI APA SIH KAKK? Kak lo dendam sama gue ya?”
“Banget, sih,” balas Haris. Bercanda namun jujur. Dinda berdecak sebal, dengan bola matanya yang diputar malas. “Kak Haris s-nya sensi. Liat aja tuh mukanya galak banget kayak mau makan orang.”
“Muka saya emang begini, Din! Masa mau diganti?” balas Haris.
“Tutupin deh, Kak. Pake emoji senyum lope-lope biar agak ramah dikit mukanya,” Dinda menjawab lagi.
“Lu ngajak ribut banget ege, Din. Hajar aja, Kak!” balas Alwan tanpa melihat ke arah Dinda. Alwan dan Gia fokus membuat name tag yang kini sudah hampir jadi.
“Liatin aja dulu, nanti kalo meleng baru kita selengkat,” balas Haris ikut bercanda. Segalak apapun kelihatannya, pemuda itu tetap ingin menjadi kakak pembimbing yang benar-benar bisa membantu adik-adik kelasnya tanpa membuat mereka merasa terintimidasi atau takut akan kehadirannya. Maka Haris menanggalkan sedikit sisi garangnya hari itu.
“Kak, ini name tag bentuknya ribet banget sih? Mau ditulisin apa deh?” tanya Dinda.
“Nanti kasih foto kamu, foto formal ya, pas foto gitu. Terus nama, kelompok, cita-cita, sama motto hidup. Cukup-cukupin aja lapaknya, tulisannya kecil-kecil nggak pa-pa,” jawab Haris. “Kalo bentuk name tag, emang dari tahun ke tahun susah banget sih. Jaman saya dulu bentuk bunga tujuh kelopak.”
“Serius, kak?” ucap Alwan tak percaya. Dengan santai Haris mengangguk seraya memutar-mutar ponsel miliknya yang ia pegang dengan tangan kanan. “Iya, susah banget itu. Ukuran kelopaknya semua harus sama, kan. Susahnya di situ. Kadang mencong-mencong. Dulu bikin itu abis berapa karton karena gagal terus.”
“Ribet yah.. lo kenapa masuk OSIS, Kak?” tanya Dinda. “Maksudnya emang pengen, apa dipaksa, apa gimana?”
“Iseng aja sebenernya. Eh, kepilih,” sahut Haris disertai kekehan khasnya. “Iseng lu bermanfaat ya, Kak? Perasaan gue iseng mah gigitin kuku, nyoret-nyoret meja, ngelopekin cat..”
Lagi, Haris hanya tertawa pelan menanggapinya. “Dinda mau OSIS?” tanyanya kemudian.
“Aduh. Up deh, Kak. Ngurusin beginian aja mager banget, nggak mau deh ikut LDKS lagi!”
“Kenapa? Seru tau,” balas Haris. Berusaha mendoktrin yang baik-baik agar semakin banyak pula yang mendaftar menjadi calon pengurus OSIS. Kenyataan pahitnya, silakan terjun sendiri untuk mengetahuinya.
“Nggak deh, makasih!” balas Dinda.
“Alwan mau OSIS?” tanya Haris. Alwan menjawabnya tanpa ragu. “Mau, Kak. Tapi bedanya OSIS sama MPK apa deh?”
“Sama aja sih, beda yang dianungi aja. Kalo OSIS naungin ekskul, kalo MPK naungin OSIS,” jawab Haris. “Kak Haris apa?” tanya Alwan.
“OSIS,” jawabnya.
“Itu milih sendiri, Kak?” tanya Alwan lagi, masih semangat mengulik informasi mengenai organisasi yang ingin ia ikuti.
“Dipilihin, sama BPH. Jadi pas nanti keterima jadi pengurus itu masih gabungan. Belom kebagi jadi OSIS atau MPK. Nah nanti setelah satu tahun kepengurusan, baru dibagi. Dibaginya berdasarkan kinerja juga sih, kalo udah satu tahun kan keliatan tuh siapa yang cocok di OSIS, siapa yang cocok di MPK.”
Alwan hanya mengangguk-angguk paham. Dalam hati ia berterimakasih kepada Haris yang tanpa keberatan menjawab semua pertanyaannya. Memang benar kata Gia, Haris tidak seburuk itu. Hanya saja penampilannya membuat semua orang mundur untuk mendekatinya.
Hening mengambil alih untuk sementara. Sebelum akhirnya Dinda, yang rupanya tak hanya menyaingi Haris perkara tinggi, melainkan juga dalam perkara mulut pedasnya yang jika bicara selalu tepat sasaran itu kembali bersuara. “Temen saya satu lagi nggak ditanya, Kak?”
Tak ada yang dapat membuat Haris tertohok seribu kali selain Dinda, adik kelasnya yang bahkan keberadaannya di sekolah ini baru ia kenali semenjak satu hari yang lalu. Di sebelahnya, Alwan pun otomatis mendongak. Termasuk pula Gia yang merasa dibicarakan.
Haris berusaha tenang, sesuatu yang ada- atau pernah ada di antara dirinya dan Gia tidak boleh menjadi rahasia umum hanya karena tindakannya yang mudah terbaca. Atau karena emosinya yang meledak akibat ejekan-ejekan receh dari orang lain. Maka Haris lagi-lagi menjadikannya sebuah candaan, “Nggak, ah. Lagi serius, jangan digangguin!” balasnya datar.
Yang tidak Haris tahu, seseorang menghela napas kecewa diam-diam. Yang tidak Haris tahu, ada seseorang yang justru mengharapkan kesibukannya diganggu. Sama seperti yang lain, Gia ingin berbicara tanpa henti. Gia juga ingin bercengkerama tanpa harus merasa takut atau canggung. Gia.. ingin Haris menganggap keberadaannya.
“Parah, Gi, Lo nggak dianggep!” ucap Dinda. Gia sontak mendongak, membuat kedua matanya tak sengaja bertemu dengan milik Haris yang rupanya juga menatapnya. Seakan tak ingin misi rahasianya ketahuan, Haris lebih dulu memutus kontak mata. Membuat semakin banyak elemen tanda tanya menerobos masuk pikiran Gia tanpa mengetuk pintu.
Masih marahkah, Haris padanya? Terganggukah Haris berada di satu tempat yang sama dengannya? Atau apakah Haris benar-benar membencinya? Gia memutuskan untuk mencari tahu. Maka gadis itu berpura-pura bertanya ada sang kakak pembimbing.
“Kak, ini nanti name tag-nya dipakein tali-”
Belum selesai. Belum selesai Gia bicara namun yang Haris lakukan adalah..
“Saya ke toilet sebentar ya? Buat aja dulu ya, Wan, nanti kalo udah langsung ke meja piket OSIS aja! Biar dicap kalo udah bener, terus temen-temen yang lain jadi bisa ngikutin ukurannya.”
Seiring Alwan mengangguk, Gia resmi membungkam dirinya sendiri. Gadis itu seakan bersumpah bahwa ia tak akan lagi mengajak Haris bicara. Sebab semuanya jelas sekarang, semuanya sudah usai pada hari di mana Haris menyuruhnya 'pergi'.
Gia mengerti sekarang. Haris benar-benar membencinya.