Secret Message

Aghniya menghela napas yang kesekian kali dengan tampang yang menunjukkan bahwa suasana hatinya semakin hancur. Sejak acara cup ini dibuka, setiap orang bisa mengirimkan pesan rahasia yang akan langsung dibacakan pada orang yang dituju. Syaratnya hanya membayar sebesar dua ribu rupiah, kemudian menuliskan pesan yang ingin dituju, tentunya dengan menyertakan orang yang akan dituju pula. Setelahnya pesan akan langsung mengudara hingga sampai pada telinga si penerima pesan rahasia, juga telinga-telinga semua orang yang hadir tentunya.

Sejak tadi, yang menjadi alasan dibalik suasana hati Aghniya yang kian hancur itu adalah banyak sekali pesan yang tertuju pada kekasihnya, seorang Yudhistira Damar.

“DUP DUP, untuk kakak yang nomor punggung 27 anak SMA yang jadi tuan rumah. IHACOY KAKK!!”

“DUP DUP, dari hamba Allah buat Yudhistira anak SMA Pelita Nusantara yang nomor punggungnya 27, udah punya pacar belom, Yud?”

Pesan kedua tadi langsung mendapat jawaban dari Aghniya secara diam-diam, “Idih sok akrab banget Yud Yud, pala lo mlenyud”

Pesan-pesan itu terus masuk dan masih tertuju untuk Yudhistira yang bernomor punggung 27.

“DUP DUP, Yudhistira nomor punggungnya 27, kalo nomor HP kosong delapan berapa?”

“KOSONG DUA SATOOO DIE MAHHH! HAHAHAHAH!” Dhimas membalas pesan itu dengan asal dari pinggir lapangan. Setelahnya pemuda itu tertawa bersama teman-temannya yang lain, termasuk Damar yang hari itu lebih dikenal sebagai Yudhistira dengan nomor punggung 27.

“DUP DUP, buat Kak Yudhistira yang kapten futsal. Senyumnya mengalihkan duniaku, Kak.”

“DUP DUP, Yudhistira lesung pipinya manis banget. Aw.”

“DUP DUP, buat Yudhistira lagi—Yudhistira mulu banyak amat fansnya Yudhistira. Ampe bosen gue bacainnya. Buat Yudhistira lagi neh, katanya yang kebobolan bukan cuma gawang sekolah aku tapi hati aku juga.”

Aghniya menjambak rambutnya frustasi, pesan-pesan itu terus masuk dan tak berhenti sejak tadi. Gadis itu menjadi kesal. Sekian banyak manusia yang berjenis kelamin laki-laki yang memenuhi sekolahnya hari ini. Namun, mengapa terus-terusan Damar-nya yang menjadi sasaran. Sedari tadi gadis itu ingin berteriak frustasi, namun sebisa mungkin ditahannya agar tidak turut merusak citra sekolah dan Damar, tentu saja.

Aghniya yang sedari tadi memperhatikan dari balkon lantai tiga bersama teman-temannya itu menatap lurus pada Damar yang sedang mengelap keringat dengan handuk kecil yang pria itu bawa. Gadis itu memilih menonton dari sana sejak selesai membersihkan make up dan mengganti bajunya dengan kaus hitam biasa yang sudah ia persiapkan untuk menonton pertandingan sang pujaan hati. Namun, Yudhistira Damar rupanya tak hanya membuat hatinya semakin terpikat hari itu. Tetapi juga perempuan-perempuan lain yang hadir menonton dari sekolah lain. Walaupun Aghniya mengerti, tak ada yang bisa menolak pesona seorang Damar kecuali Ayesha—karena sahabatnya itu berkali-kali bilang bahwa tipenya adalah laki-laki berkulit kecoklatan sehingga Damar tak pernah masuk kriteria tampan miliknya—hati Aghniya tetap jengkel. Sangat jengkel.

Sementara itu Damar hanya cuek, mengabaikan semua pesan rahasia hingga terang-terangan yang tertuju padanya. Bahkan ada yang dengan berani menghampirinya dan mengajak berkenalan hingga meminta foto. Damar hanya menanggapinya dengan senyum tipis dan alasan untuk segera pergi.

“Eh, Dam, gue ngeri emak gue jadi Ultraman, dah,” ucap Ojan yang menonton di dekat tas para pemain yang diletakkan asal di bangku panjang pinggir lapangan. Pria itu juga tengah bersiap untuk pertandingan basket hari ini. Damar terkekeh, “Dikit lagi kayaknya sih. Mana sih anaknya? Nggak nemu gue dari tadi.”

“Noh di atas, matanya udah kayak elang noh. Tajem bener.” Dhimas membalas Damar seraya menunjuk Aghniya yang berada di lantai tiga menggunakan dagunya.

Damar menoleh dan mendongak guna menemukan gadisnya. Setelahnya ia tersenyum manis pada Aghniya yang juga melihat ke arahnya. Bibirnya yang tadinya mengerucut lantas segera diubah menjadi sebuah senyuman dipaksakan yang tak begitu jelas terlihat oleh Damar.

“Gue samperin Aghni dulu deh ya? Kita udah kelar kan?” tanya Damar pada tim futsalnya. Dhimas mewakili teman-temannya untuk menjawab. “Maen satu lagi, Dam. Samperin deh sono samperin, nanti Ibu Negara marah,” ucapnya seraya terkekeh.

“Nggak pa-pa? Nanti panggil gue aja ya, Bro!” ucap Damar. Setelah mendapat anggukan pada Dhimas, Damar melempar handuknya asal. Membiarkannya menyatu dengan handuk teman-temannya yang juga berceceran. “Bentar yak!” ucapnya kemudian berlari kecil menghampiri Aghniya yang kini sudah berada di koridor lantai satu. Mungkin gadis itu turun ketika Damar berbincang dengan Dhimas tadi.

Damar memperlambat langkahnya ketika seorang gadis sebaya dengan Aghniya menghampirinya. Damar turut bingung ketika mendapati ekspresi Aghniya yang nampak bingung menatap seseorang di hadapannya.

Sorry, mau nanya dong. Lo anak sini kan ya?” tanya gadis itu pada Aghniya. Gadis itu mengangkat alisnya bingung, namun berusaha untuk tetap ramah meski suasana hatinya sudah hancur.

“Iya, kenapa ya?”

“Tadi gue liat lo ngobrol sama anak-anak futsal. Lo kenal Yudhistira yang nomor 27 tadi nggak?” tanyanya.

Aghniya mengembuskan napasnya kasar. Lagi?

“Kenal,” jawab Aghniya.

Gadis di hadapannya itu tersenyum sumringah, “NAH, CAKEP! Lo punya kontaknya nggak? Gue minta dong!”

Aghniya mengerjapkan matanya terkejut. “Punya sih, tapi kayaknya nggak sopan deh kalo gue langsung kasih ke lo, nanti gue tanya orangnya dulu ya?”

“Yahh nggak usah lahh, kasih aja sini langsung. Nanti gue yang izin ke dia, siapa nama lo?” tanya gadis itu.

“Aghniya,” jawabnya.

“Siapa? Agh—aduh susah. Ya udah pokoknya itu dah. Mana sini nomornya?”

Aghniya terkekeh pelan, “Nggak bisa, maaf ya. Itu kan privasi orang, jadi nggak bisa sembarangan. Gue aja nggak tau nama lo siapa, masa tiba-tiba nyebar privasi temen gue ke lo?”

Gadis itu berdecak, “Talitha. Gue Talitha. Ya udah kalo nggak bisa nomornya, IG-nya aja deh. Apa namanya?”

Aghniya memutar matanya malas, “Minta langsung aja sama orangnya deh, gue nggak berani ngasih kontak orang sembarangan.”

“Sha lo ke kantin sendiri aja deh, gue ke atas lagi aja,” ucap Aghniya pada Ayesha. Setelahnya gadis itu kembali menatap gadis yang katanya bernama Talitha itu. “Permisi, yaaa?” ucapnya sebelum berlalu pergi.

Dari tempatnya berjalan, Aghniya dapat mendengar jelas teriakan Talitha yang mengarah padanya. Wuu, pelit! Belagu!

Damar terkekeh geli melihat wajah gadisnya yang mendelik secara rahasia akibat teriakan Talitha yang tertuju padanya. Dengan langkah cepat pria itu menyusul Aghniya.

Ketika Damar berada satu langkah di belakangnya, seperti biasa, Damar memilih menggoda Aghniya.

“Sst sst,” ucapnya seraya menahan senyum. “Aghniyaa,” panggilnya. Gadis itu tak menggubris, masih terus berjalan.

“Aghniyanya ada nggak?”

“Nggak ada.”

“Udah jadi ultraman ya?”

“Iya.”

“Yahh, balik lagi dong jadi Aghni.”

“Nggak mau.”

Damar tertawa geli, dengan segera ia meraih tangan Aghniya yang mengayun penuh kekesalan.

“Ayaaang,” panggil Damar, meniru kebiasaan Aghniya ketika membujuknya kala Damar marah karena sesuatu. Cara paling jitu karena biasanya Damar akan otomatis tersenyum setiap kali mendengarnya.

“Iiiii basah tangannya,” ucap Aghniya yang pada akhirnya menghentikan langkahnya. Ia melepas tangan Damar dan memeperkan keringat Damar yang menempel di tangannya pada bahu pria itu. Damar tergelak lebih keras, “Iya keringetan maaf ya.”

“Mau ke manaa? Tadi bukannya jalan mau ke kantin sama Ais?” tanya Damar.

“Nggak jadi,” balas Aghniya.

Damar mengernyit, “Kenapa?”

“Nggak pa-pa, lo udahan mainnya?”

“Belum, satu lagi kata Dhimas. Doain yaa?” ucap Damar. “Lo nonton di atas dari tadi?”

“Iyaa, kan biar nggak keliatan,” balas Aghniya. “Terus udah minum belom? Kenapa malah ke sini bukannya duduk dulu istirahat?”

Damar tersenyum manis dengan sangat lembut, membuat Aghniya merasakan hatinya kembali seperti pertama kali jatuh cinta. Lesung pipi yang nampak sempurna, rambut yang sedikit berantakan akibat terlalu sering ia sugar, serta tubuh tegapnya yang terbalut jersey biru tua khas sekolahnya. Damar selalu menawan, dan Aghniya selalu terpana.

“Ini namanya perjalanan dinas, menemui Ibu Negara soalnya mukanya dari tadi bete banget?”

“Beteeeeeee, capeeeeeeeek, sebeel. Masa tadi ada yang minta nomor Damar? Maksa lagi, nggak jelas. Mana pas nggak dikasih malah ngatain, Damar mau marah nggak kalo digituin? Pengeng kuping aku tau nggak sih?”

Nah, kan. Benar tebakannya. Damar tersenyum lembut, ia paham perasaan Aghniya saat ini. Sayangnya, ia pun tak bisa berbuat apapun untuk menahan semua pesan-pesan yang masuk untuknya. Pun, orang-orang yang tanpa sengaja terpikat pesonanya.

“Yang tadi itu ya?” tanya Damar.

Gadis itu mengangguk dengan bibir mengerucut, “Iya!”

“Maaf yaaa, tapi aku juga nggak bisa ngapa-ngapain soal itu.. nggak usah didengerin ya?” ucap Damar.

“Tapi kan kedengeran,” balas Aghniya jengkel.

“Hehe, iya sih. Tapi aku nggak ngeladenin kok, suwer. Kalo kamu yang ngirim baru aku ladenin,” balas Damar seraya tertawa.

“Gue ngirim tadi satuuu!” balas Aghni.

“Boong banget, nggak ada yang bahasanya kayak elu,” balas Damar lagi.

“Kok tau sih?”

“Tau, lah. Tau, dong!”

Pada akhirnya gadis di hadapannya itu menampilkan kembali senyumnya. “Ya udah, tadi mau ke kantin kan? Bareng yuk? Gue juga mau beli minum lagi buat nanti main,” ajak Damar.

Aghniya menghela napasnya, setelahnya senyum cerah kembali hadir menghiasi wajahnya. “Ayok! Let's gow!” ucapnya seraya berjalan mendahului Damar. Namun, belum sempat melangkah jauh, Damar menahan lengannya.

Aghniya kembali menoleh, menatap Damar dengan tatapan bingung yang tak lagi miliki amarah terselubung. Damar tersenyum untuk kesekian kali, setelahnya tangan kirinya terangkat untuk mengacak-acak rambut indah kekasihnya. “I know you're feeling uncomfortable, so, thank you for holding your anger in, anak baik!”

Ucapan Damar berhasil membuat Aghniya terperangah. Sekon berikutnya ia kembali mengerucutkan bibirnya, membuat Damar bertanya-tanya. “Kok manyun?”

“Terharu jadinya.”

“Hahaha, udah ah ayok, nanti keburu mulai lagi,” balas Damar. Setelahnya gadis itu mengangguk dan keduanya berjalan berdampingan menuju kantin.

“Nanti mau nonton nggak? Katanya mau nonton film Disney yang baru? Hari ini aja yuk?” ajak Damar, memulai perbincangan sembari keduanya berjalan bersama.

“Emang nggak pa-pa? Lo nggak capek? Nggak mau langsung pulang aja?”

Damar menggeleng, “Enggak, nggak capek. Abis main kan panas, enakan ngadem di mall. Sekalian nonton aja yuk?”

“Ya udah kalo gitchuuuu, ayok! Eh, tapi mau nonton Ojan sama Haris dulu boleh nggak?”

“Boleh banget, nanti kita nonton dulu abis itu caw! Tapi kok lo curang, Ojan Haris Dhimas disemangatin kok gue enggak?” keluh Damar.

Aghniya tertawa geli, “Iyaa, nanti gue semangatin. Tapi harus tau ya kalo itu pesen dari gue?”

“Pasti tau lah.”

“Hokeh, kita lihat nanti.”


Damar kini sudah kembali bersiap di lapangan. Pria itu akan bertanding untuk yang terakhir kali untuk hari ini. Jika menang, besok bertanding lagi, namun jika kalah, maka ini benar-benar menjadi pertandingan terakhirnya.

Pria itu mengarahkan teman-temannya untuk berkumpul melingkar untuk berdoa bersama sebelum benar-benar bertanding. Setelahnya memberikan arahan kecil pada timnya sebelum kembali membiarkan mereka menyebar.

Damar melirik ke arah Aghniya yang kembali pada tempatnya di balkon lantai tiga. Pria itu mengulas senyum tipis dengan mata yang menyipit menahan sinar matahari yang menyilaukan mata. Gadis itu mengepalkan tangannya sebagai isyarat memberi semangat, Damar menjawabnya dengan anggukan kecil.

Setelahnya Damar kembali mengedarkan pandangannya pada posisi lawan, mencari celah-celah supaya ia bisa menerobos membawa bola ke gawang lawan. Kemudian Damar menghela napasnya guna melapangkan hati sembari menunggu pluit dibunyikan.

Namun, sesaat sebelum pluit berbunyi, meja informasi kembali mengumumkan pesan rahasia.

DUP DUP, to the brightest Mr. Sun, semangat tandingnya! Menang atau kalah pokoknya kamu juara satu di hati akyu. Cihuy!

Setelah pesan selesai dibacakan, Damar memejamkan mata seraya menggigit bibir bawahnya guna menahan senyumnya. Fokusnya yang tadi sudah terkumpul kini kembali berantakan. Pada akhirnya Damar tersenyum lebar seraya memalingkan wajah. Kemudian pemuda itu bertumpu pada lututnya sendiri, salting.

Damar melirik ke arah wasit yang rupanya masih mengobrol dengan panitia. Akhirnya Damar memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari ke arah Dhimas yang sudah menertawainya lantaran mengetahui siapa pengirim pesan itu.

Damar memeluk Dhimas seraya tertawa terbahak-bahak, “Dhim tolongin gue Dhim gue salting.”

“GOBLOK BALIK ANJING UDAH MAU MULAI MALU-MALUIN DAH!”