School Cup
Damar berjalan santai memasuki sekolahnya yang kini dihiasi flyer yang mewakili tema dari acara cup sekolahnya. Pria itu mengenakan celana jeans hitam dengan jaket hijau yang paling sering ia gunakan. Kali ini, jaket itu melapisi kaus hitam sederhana miliknya Sebelah tangannya menggendong ransel berisi baju dan sepatu futsal yang ia sampirkan asal pada bahu kanannya sementara tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku. Kalau Aghniya berada di hadapannya sekarang, Damar tahu gadis itu akan terperangah dah tak henti-henti memuji penampilannya. Damar tahu berteman dengan Aghniya membuat hari-harinya lebih cerah. Namun, ia tak menyangka ketika gadis itu menjadi kekasihnya, hidupnya bagaikan seribu kali lebih cerah. Damar bersemangat setiap hari bahkan hanya untuk perkara memasang dasi ketika akan pergi ke sekolah. Pemuda itu jadi lebih sering memperhatikan penampilannya—yang biasanya pun sudah rapi—hanya untuk mendengarkan gadisnya berucap, “YA ALLAHHHHHH GANTENG BANGET KAMU MAKAN APA SIH????”
Damar mengedarkan pandangannya hingga terhenti pada pintu perpustakaan yang mulai terbuka. Menampakkan beberapa anak saman yang sudah rapi dengan kostum dan hiasan kepala yang membuat mereka semakin nampak berkharisma. Hari ini, adalah pembukaan acara cup sekolahnya. Damar hadir ke sekolah untuk mengikuti pertandingan futsal yang berlangsung pada hari pertama. Sebenarnya pertandingan futsal baru akan dimulai setelah Zuhur, alasan yang membuat pemuda itu datang sepagi ini adalah untuk melihat sang pujaan hati yang akan tampil membuka acara. Aghniya akan menjadi salah satu anggota saman yang akan menampilkan tarian khas sekolahnya pada pembukaan cup sekolah mereka.
Sebagai seorang kekasih, Damar hanya bisa memberi dukungan dengan turut menyaksikan sebab ia tentu tidak bisa memberi bantuan yang lain. Sejujurnya, Damar merasa bangga. Mengingat betapa lelahnya Aghniya berlatih bersama teman-temannya selama satu bulan penuh lantaran waktu yang begitu mepet. Sering kali gadis itu menemui Damar dengan wajah kelelahan setiap pulang sekolah ketika mereka akan pulang bersama, tak lupa keluhan-keluhannya mengenai pahanya yang mulai membiru dan pegal akibat terus ditepuk dan ditekuk. Namun, gadis itu tetap berusaha memberikan yang terbaik, senyumannya tak lepas setiap kali berlatih, badannya tetap tegak dan menatap ke depan tanpa ragu, bahkan tak jarang ia turut membantu rekannya yang lupa gerakan atau gerakannya sedikit berbeda dari yang lain. Entah bagaimana caranya, gadis itu begitu jeli. Damar mengetahuinya, itu hasil pengamatannya dari pinggir lapangan.
Damar berhenti di dekat tiang bendera yang tak jauh dari perpustakaan. Pemuda itu mengirimkan pesan pada Aghniya seraya melirik-lirik ke arah pintu perpustakaan, mencari keberadaan gadis itu.
Gue depan tiang bendera
Tak lama kemudian ia mendengar suara tawa yang familiar, sudut bibirnya pun terangkat. Itu pasti Aghniya. Dugaannya semakin kuat ketika ia mendengar seseorang memanggil nama gadisnya, meminta tolong dipakaikan hiasan kepala.
“Kak Aghni, mau ke mana? Boleh minta tolong pasangin kepalaku dulu nggak?”
“Boleh bolehhh, sinii. Tapi penitiinnya sama yang lain ya? Aku mau ke luar, hehe.“
Setelah menunggu tak cukup lama, muncullah Aghniya yang sudah rapi dengan kostumnya. Pakaian khas penari Saman berwarna kuning dengan kain keemasan menjadi busananya hari itu. Cantik.
“Haii,” ujarnya. Langkahnya yang tadinya bersemangat berubah sedikit pelan dengan bibir yang mengerucut. Membuat Damar mengerutkan keningnya.
“Kenapa tuh begitu?”
“Ganteng.. terlalu ganteng..”
Damar terkekeh, tuh kan, benar dugaannya. Rasanya setiap hari adalah hari apresiasi ketampanannya. Bahkan meskipun Damar sangat berkeringat dengan wajahnya yang berubah seperti kepiting rebus, Aghniya tetap akan memujinya dan berujung Dhimas mengejeknya. “Halah, Aghniya mah bulol ege, elu baru bangun tidur ileran jigongan juga tetep ae dibilang ganteng.”
“Ini biasa aja loh padahal. Elu tuh,” balas Damar.
Aghniya mengangkat alisnya, “Apa?”
“Masa nggak tau?”
Dengan senyum tertahan, Aghniya menggeleng. “Enggak, nggak tau. Emang apa?”
“Cantik.”
“Aku nggak mau warna kuning tapi, maunya merahh,” balas Aghniya.
“Emang kenapa kalo kuning?”
“Udah sering pakeee. Ini udah empat kali pake kuning. Maunya merahh, soalnya belum pernah,” balas Aghniya lagi.
Damar lagi-lagi terkekeh, “Sama aja lagi. Bagus kok pake kuning. Cerah. Nanti tampilnya di lapangan kan? Makin cerah pasti soalnya kena matahari. Silauuu, Men, silaauu!”
“Tapi bagusan meraah!”
“Tch, ngeyeel!” ujar Damar seraya menoyor pelan Aghniya. “Yellow suits you well. Besides, it's a happy color isn't it?“
“Iya tapi bosen,” balas Aghniya lagi. Gadis itu masih berat hati lantaran tidak mendapatkan warna baju yang ia inginkan.
“Lohh, tapi kan gue belom pernah liat lo pake baju kuning. Gue baru liat lo pake orange, pink, tosca, ungu, kuning belum,” ucap Damar beralasan agar gadis itu tak lagi merasa kecewa.
“Emang iya?” tanya Aghniya.
“Iyaaa.”
“Kok bisa? Padahal sering pake kuning,” balas Aghniya.
“Ya bisa, pas lo pake kuning gue berarti lagi nggak nonton,” balas Damar. Pada akhirnya gadis itu menyerah. Berusaha melapangkan hatinya sendiri menerima pakaian yang menjadi miliknya hari itu.
“Tampilnya jam berapa?” tanya Damar.
“Satu jam lagi, tapi masa syekh aku belom dateng. Gimana dong? Mules.”
“Loh? Telepon lagi coba. Santai santai, tenang dulu masih lama,” ucap Damar.
“Udahh, tapi nggak diangkat dari tadi,” balas Aghniya panik.
“Lagi di jalan kali,” ucap Damar berusaha membuat Aghniya tenang. “Jangan panik, nanti kalo panik makin mules, nanti nggak fokus malahan. Udah sarapan belom?”
“Udahh, eh apa gara-gara sarapan ya gue jadi mules?” tanyanya.
Damar tertawa di tempatnya, “Iya kali tuhhh, nggak setoran lu pagi-pagi?”
“Nggak pernah setoran gue mah, sesakit perutnya aja.”
“Damar tandingnya jam berapa emang? Pagi?”
Pria itu menggeleng seraya masih menatap gadis di hadapannya. “Siang, abis zuhur.”
“Loh? Masih lama bangett, lo ngapain ke sini pagi-pagi?”
Damar menatap Aghniya tak percaya, “Ya mau—nonton..”
“Hah? OOOOOOHHHH IHHHHHH JADI MALU HAHAHAHAH.”
“Nggak jelas, dih,” balas Damar menahan senyumnya. Menahan pula perasaan gemasnya pada Aghniya.
“Nontonnya jangan di depan gue loh, Dam! Awas lo! Nanti gue gemeteraaan kalo liat muka lu, mana cakep banget lagi siapa sih yang nyuruh begini ya Allah sedih,” celoteh gadis itu.
“Iyaaa nanti gue ngumpet di balik Haris biar nggak keliatan,” balas Damar membuat Aghniya tertawa. Damar tertegun di tempatnya. Entah lah, rasanya gadis itu selalu punya seribu satu cara untuk terlihat menawan di hadapannya. Baru saja keduanya ingin melanjutkan obrolan, ponsel gadis itu berdering. Membuatnya dengan segera mengangkat telepon itu.
“Halo? Iya, Bang? Ohh udah di parkiran? Iya sebentar, Bang saya ke sana,” ucap Aghniya.
“Bang Dedinya udah dateng, dadaaaah! Aku mau latihan lagi.”
Damar hanya mengangguk seraya tersenyum menjawab Aghniya.
“Tos dulu! Kamu juga semingiiiiitt!!!!”
Setelahnya Damar kembali tergelak seiring telapak tangannya bersentuhan dengan milik Aghniya, menjawab ajakan tos gadis itu dan melihatnya melangkah jauh menuju parkiran.
Gosh, i love her.