Salam

“Paa, pergi dulu yaa!” Aghniya berpamitan kepada Aji yang sedang santai di rumah. Hari Minggu pagi, sesuai janji, Damar sudah hadir di rumahnya. Pemuda itu menyalami Aji dan turut berpamitan sebelum membawa anak gadisnya pergi. “Pergi dulu, Om!”

“Yaa, hati-hati!”

Setelahnya Damar melajukan motornya menuju rumahnya, menghampiri ibu kemudian berangkat bersama.


Damar, Aghniya, dan ibu sudah sampai di sebuah tempat pemakaman. Damar yang berada di depan membayar taksi online yang ia pesan melalui ponselnya dan mengucapkan terima kasih. Sementara Aghniya dan ibu keluar lebih dulu.

“Yuk,” ajak Damar. Baru saja pria itu ingin menggandeng tangan ibu, ibu sudah lebih dulu mengamit lengan Aghniya yang berada di sebelahnya. “Mas Damar duluan sana!”

Pada akhirnya Damar mengalah, memilih membiarkan dua wanita itu berjalan bersama di belakangnya. Sudut bibirnya terangkat, hatinya pun menghangat mendengar ibunya sendiri berbincang dengan seorang lain yang mengisi hatinya.

“Di sini makamnya bapaknya Mas Damar, Mbak. Sengaja makaminnya di sini biar deket sama kakeknya. Abis neneknya dimakamin di Jawa malah jadi susah ngunjunginnya,” cerita ibu.

Aghniya, seperti biasa, menanggapinya dengan penuh semangat. “Oh iya, Bu? Orang tuanya Papa juga di sini. Tapi bukan di depan sini, di ujung sana tuh masih ke sana lagi. Jauh bangettt.”

“Oalaah, di sini juga toh? Wah, kalo gitu bisa barengan ya kalo lebaran ke sini? Ziarah bareng,” balas ibu seraya tertawa.

“Boleh bolehhh, nanti tinggal bilang Papa aja, Bu. Kita atur aja atuuur!” ucapnya yang hanya dibalas tawa beserta anggukan oleh ibu.

Setelahnya mereka sampai pada sebuah makam dengan nisan bertuliskan nama beserta tanggal lahir dan wafat bapak. Damar menghela napasnya sebelum berjongkok di dekat makam bapak. Aghniya melepas genggaman tangan ibu kemudian membiarkan ibu mengambil posisi di sebelah kanan Damar, lebih dekat dengan nisan suaminya itu. Sementara dirinya memilih berjongkok di sebelah kiri Damar.

Pria satu-satunya di antara mereka itu kemudian memulai memimpin doa. Setelahnya mereka sama-sama membersihkan nisan bapak dengan air mawar yang dibawa dari rumah. Aghniya turut membantu menggosokkan keramik yang memperkokoh makam bapak sebisanya. Kemudian ketiganya menabur bunga.

Setelah selesai, baik Aghniya dan ibu sama-sama menepuk-nepuk tangannya, membersihkan sisa kotoran dan rumput-rumput kecil yang masih menempel.

“Masukin sini aja sampahnya, Bu,” ucap Aghniya seraya membukakan sebuah plastik kosong bekas bunga tabur. Kemudian menunggu ibu memasukkan botol-botol beling air mawar yang telah kosong serta plastik yang sudah tak terpakai. Setelah sampah-sampah itu bersih gadis itu dengan telaten mengikat plastik berisi sampah itu agar lebih mudah dibawa dan dibuang.

Gadis itu kembali berjongkok di sebelah Damar yang kini menatap ke arah tanah yang dijaga keramik itu dengan tatapan kosong.

“Mas Damar masih mau di sini? Ibu tunggu di depan ya?” ucap ibu. Damar hanya mengangguk. Sementara Aghniya menjadi kebingungan, siapa yang harus ia temani?

Beruntung ibu memahami kebingungannya, wanita itu tersenyum ke arahnya seraya berkata lembut. “Kamu sini aja, Mbak. Temenin Mas Damar nggak pa-pa, ibu cuma di depan situ, kok,” ucap ibu.

“Nggak pa-pa, Bu?”

“Nggak pa-pa, Cah Ayu, sini aja ya!” balas ibu. Kemudian Aghniya mengangguk seraya tersenyum dengan pandangan yang masih memperhatikan ibu dari jauh. Memastikan wanita itu berjalan dengan selamat dan tidak terperosok.

Pandangannya kembali ditujukan pada Damar yang masih termenung setelah ibu sampai ke pinggir. Gadis itu kembali berjongkok di sebelahnya tanpa mengganggu Damar dan isi pikirannya yang mungkin sedang ia utarakan dalam hati.

Detik berikutnya, Damar menggenggam tangannya. Menautkan jemarinya dengan jemari Aghniya yang berjengit terkejut di sebelahnya. Aghniya menoleh, menatap Damar yang masih menatap lurus pada arah yang sama.

“Sebenernya aku ngajak kamu ke sini bukan karena disuruh Ibu,” ucapnya. Aghniya memilih diam dan mendengarkan penuturan Damar kala itu. “Aku—Bapak sempet titip salam buat kamu.”

Perkataan yang baru saja Damar ucapkan itu berhasil membuat Aghniya membulatkan matanya sedikit. Kemudian detik selanjutnya netranya sudah semakin berkilat akibat berkaca-kaca. “Bapak punya buku harian, isinya nyeritain aku. Aku punya temen baru, aku ngobrol sama dia—” Damar menggantung ucapannya.

“Sampe aku sadar sama kehadiran kamu, terus kita jadi temen, terus aku—sayang sama kamu.”

Aghniya menyeka air matanya yang menetes dengan tangan kirinya yang bebas. Arah pandangnya masih setia pada Damar yang juga masih tak mengubah arah penglihatannya. Pria itu tersenyum tipis sebelum melanjutkan bicaranya. “Waktu itu aku cerita sama Bapak. Aku bilang ada perempuan yang namanya Aghniya Zhafira, yang berhasil jadi pusat perhatian aku selama beberapa lama. Bapak setuju waktu aku bilang kamu baik banget orangnya. Bapak juga ngebolehin aku deket sama kamu. Bapak seneng, aku bisa nemuin kamu.”

Damar tersenyum tipis seraya menghela napasnya. Entah seberapa kuat pemuda itu hingga tak ada lagi air mata yang menetes hari itu. Berbanding terbalik dengan Aghniya yang pipinya berkali-kali dialiri air matanya sendiri.

Damar menoleh dan terkekeh geli kala mendapati wajah Aghniya yang dipenuhi air mata. Tangan kanan pemuda itu terangkat menghapus sisa-sisa air mata di pelupuk serta pipi gadis itu. Setelahnya Damar mengusap kepala Aghniya lembut. Sambil tersenyum, Damar mengucapkan kalimat tulus dari hatinya. “Terima kasih ya, mau ikut ke sini. Terima kasih mau bantuin aku untuk sampein salamnya Bapak ke kamu, Aghni. Bapak udah dua kali nitip salam buat kamu, tapi belom sempet aku sampein. Bapak juga sebenernya pengen kenalan sama kamu, tapi sayangnya nggak bisa. Waktu terakhirnya kali Bapak ada di rumah juga—aku ngusir kamu..”

“Terima kasih ya, Aghni?” ucap Damar. Sementara Aghniya mengangguk seraya masih menangis.

“Nggak bawa tissue tauk! Kenapa sih kamu bikin aku nangis begini? Meler banget lagi nggak elit banget jadinya!” ucap Aghniya pada sela-sela tangisannya.

Damar terkekeh geli, “Maaf, maaf. Udah jangan nangis, malu nanti diliatin Ibu.”

Menjawab perkataan Damar, Aghniya memukul bahu pemuda itu pelan. Setelahnya memilih bersandar pada bahu Damar, menyembunyikan wajahnya dan menuntaskan tangisannya. Sementara Damar hanya tertawa seraya mengelus rambut hitam Aghniya yang dibiarkan tergerai hari itu.

Setelahnya Damar bernapas lega. Ia berhasil menyampaikan salam yang selama ini menjadi amanah untuk disampaikan. Salam yang dititipkan padanya oleh bapak untuk Aghniya.

Salam dari orang yang tercinta untuk orang yang dicinta.