Rabu
Hari ketiga, berbeda dari dua hari sebelumnya. Kali ini, koridor depan perpustakaan yang biasanya menjadi markas besar mereka melakukan diskusi kelompok dan bertempur dengan name tag ajaib yang tak kunjung bisa dipecahkan ukurannya selama dua hari berturut-turut itu sepi. Hanya ada Haris dan Dhimas yang menjaga tas-tas yang berjajar rapi ditinggalkan empunya. Seakan dibekali strategi perang yang mumpuni oleh dua panglima paling baik pilihan yang memegang kuasa, seluruh anggota kelompok 1 kini sudah tau harus melakukan apa tanpa harus diberi instruksi apapun lagi. Membuat Dhimas dan Haris diam-diam bangga, sebab keduanya mendapat anggota-anggota yang cerdas lagi cekatan. Bahkan umpatan-umpatan Haris sejak pertama kali melihat daftar nama anggota kelompok itu sirna, tergantikan oleh rasa syukur yang mendalam karena Vio menempatkannya pada kelompok yang bisa diajak kerja sama.
“Udah dapet cap semua name tag-nya?” tanya Haris peduli, memastikan tak ada satupun anggota kelompok bimbingannya yang tertinggal. Kompak, semuanya mengangguk. Membuat Haris mengangguk seraya tersenyum sangat tipis hingga hanya yang penglihatannya setajam elang yang dapat menyaksikannya.
“Coba di-list aja dulu apa yang udah, apa yang belom. Biar nanti ngerjain sisanya gampang,” usul Haris.
“Udah semua, Kak. Ini tinggal ditaliin aja name tag-nya sama pylox sendal,” balas Alfi.
“Ya udah, bagi lagi kayak kemarin. Yang pylox sendal dua orang aja,” sahut Haris.
“Ayo, Fi. Sama gue deh pylox sendal,” ajak Dinda. Membuat Dhimas berdecih pelan, “Bilang aja males ngurusin name tag lu Dinda!”
Sementara yang diajak bicara hanya cengegesan, “Hehe, tau aja, Kak Dhimas! Emang iya, pengennya main pylox. Seru, semprot-semprot.”
“Bawa koran nggak? Dialasin koran dulu, Dinda, baru dipilok biar nggak kena lapangan,” usul Haris.
“Iya, Kak. Itu katanya Gia bawa banyak,” balas Alfi. “Gi, mana Gi, koran?”
“Di tasku, Fi. Sebentar aku nulis name tag dulu nanti aku ambilin,” balas Gia dari jauh. Setelahnya Alfi hanya mengangguk dan mulai menjejerkan sandal-sandal yang dikumpulkan padanya pada awal pertemuan. Setelahnya ia memutuskan untuk membaginya, terpaksa harus dua kali kerja sebab lapak yang seadanya. Lahan kosong lain di lapangan pun sudah diambil alih oleh kelompok lain.
“Koranin dulu Dindaaa lu denger nggak sih Abang lu ngomong?” ucap Alfi pada Dinda yang sudah bersiap menyemprotkan pylox berwarna hijau kepada sandal-sandal yang entah milik siapa itu.
Dinda mendelik, “Siapa Abang gue?”
“Itu Kak Haris,” balasnya. “Sama-sama tinggi,” lanjut Alfi.
Haris yang mendengar itu, bukannya marah, melainkan ia tertawa kecil. Sepertinya kebersamaan mereka beberapa hari ini berhasil mencairkan sedikit gunung es yang selama ini Haris jadikan benteng pertahanan. “Makasih deh, Fi. Adek saya udah banyak,” balas Haris.
Alfi tertawa membalasnya. “Iye sih, Kak. Males juga punya adek kayak Dinda. Bawel!”
“Gue semprot nih muka lu, mau?! Biar ijo lu jadi Shrek sekalian!” balas Dinda kesal.
Selang beberapa menit, Alfi sudah dengan telaten menyemprotkan cairan pewarna hijau kepada sandal teman-temannya. Memastikan semuanya terbalut sempurna dengan warna hijau yang seragam. Agar kompak, atau lebih tepatnya agar tidak kena marah kakak-kakak kelas 12 yang menjadi panitia LDKS. Setelahnya ia mengipasi sandal-sandal itu agar catnya cepat mengering.
“Sini, Fi, gantian!” ucap Dinda. Gadis itu merebut pilok dari tangan Alfi untuk turut mengecat sandal-sandal yang sedari tadi ia pisahkan.
“Ini Kak Haris nontonin doang, dahh! Nggak ada niatan bantuin gitu, Kak?” tanya Dinda seraya mulai menyemprotkan pylox di tangannya.
“Nggak boleh, kalo ketauan saya milokin sendal kalian atau turun tangan bantuin kalian langsung pasti kita sekelompok kena hukuman di sana nanti. Saya kan pembimbing doang,” sahut Haris. Dinda dan Alfi kemudian hanya mengangguk mengerti. “Kemarin aja ada temen saya ditegur pas rapat karena ketauan gambarin pola name tag kelompoknya.”
“Demi apa, Kak? Dimarahin?” tanya Dinda. “Iya, dimarahin.”
“Ya udah jauh-jauh deh, Kak. Nanti kita dimarahin lagi,” ucap Alfi.
“Kalo saya nggak ada nanti dimarahin juga, soalnya nanti dikira nggak membimbing kalian, nggak ngawasin kalian,” sahut Haris lagi.
“APA SIH SERBA SALAH BANGET?!” Dinda berseru tidak terima.
Haris mengangguk, “Emang iya. Makanya kan saya bilang, jangan sampe buat kesalahan sekecil apapun. Kalo lagi era begini, pasti kesalahan kita dicari-cari.”
“Iya sih, hadehh. Heran deh, kok ada orang yang mau masuk OSIS,” keluh Dinda.
Di sisi lain, Dhimas sedang memimpin pasukannya untuk melatih yel-yel yang sudah mereka buat sebab mereka sudah selesai dengan urusan per-name tag-an.
“Mulai lagi, Wan!” titahnya. Kemudian sebagai ketua kelompok, Alwan memberi aba-aba untuk mulai menyanyikan yel-yel yang telah disepakati bersama. Sebuah yel-yel dengan nada lagu Anak Kambing Saya dengan lirik yang dimodifikasi menjadi pilihan mereka semua. Sebab nadanya mudah diingat dan liriknya pun cocok untuk dijadikan sebuah yel-yel kelompok.
“Eh lu gimana sih, lu yang bikin lirik lu yang lupa?” canda Dhimas ketika Alwan salah lirik. “Kelompok paling hebat dulu kann baru paling kompak?”
“IYA KAKK SALAH SALAH, maap,” balas Alwan. Pemuda itu kemudian mendapat protes dari anggotanya yang lain sebab karenanya mereka semua harus mengulang dari awal.
Mereka terus berlatih selama kurang lebih lima belas menit. Dengan Dhimas sebagai mentor yang tepat, ia terus mengoreksi dan memberi masukan agar semuanya menjadi selaras. Bahkan ia memberi sedikit koreografi agar kelompoknya tidak terlihat kaku saat menampilkan yel-yelnya. Bergerak ke kanan dan kiri, mengatur beat tepukan tangan, Dhimas bahkan menyontohkannya sendiri dengan gayanya yang luwes. Pemuda itu memang sudah tidak kenal malu.
“Nggak pa-pa, Wan. Kalo bisa harus serame mungkin. Mau suaranya sember, kek, mau fals, biarin aja. Yang penting rame terus heboh,” ucap Dhimas.
“OKE, ayo everybody kita berdiri semua,” titah Alwan. Kini mereka semua akan berlatih dengan menggunakan koreografi ala-ala yang dibuat Dhimas.
“Kanan duluuu baru kiri, inget ya!” ucap Alwan. “Oke, satu, dua, tiga!”
Mereka pun mulai bergerak sesuai irama. Meskipun belum sempurna, tetapi sudah jauh lebih baik. Dhimas di pinggir hanya tertawa sesekali melihat beberapa anggota kelompoknya bertubrukan satu sama lain lantaran bergerak ke arah berlawanan.
Sekitar tujuh menit, Alfi dan Dinda akhirnya bergabung. Meninggalkan Haris yang memilih untuk menjaga sandal-sandal mereka dan mengipasinya.
“Eh, ulang dong! Ikutan!” ucap Dinda.
“Eh, bentar. Itu sendal kurang satu, emang ada yang milok sendiri apa ada yang belom ngumpulin?” tanya Alfi.
Seketika Gia menepuk kepalanya sendiri, teringat bahwa ia belum mengumpulkan sandalnya pada Alfi untuk ikut dipilok. “FI PUNYAKU BELUM! LUPAA!”
“Yehh, Anggia!”
“Pylox-nya mana, Fi?” tanya Gia seraya bangkit untuk mengambil sandal jepit miliknya dari dalam tas. “Itu sama Kak Haris piloknya.”
“Hah?” balas Gia. Sekon berikutnya nyali Gia seakan ciut. Tidak berani melanjutkan langkahnya, yang ia lakukan hanyalah meremas sandalnya di depan dada.
“Sana, Gi. Minta aja,” Dhimas meyakinkan. Gia menoleh, “B-bentar, ya, Kak.”
“Iya, santai aja,” balas Dhimas. “Ayo yang lain lanjut lagi. Contohin dulu Alfi sama Dinda, mereka kan baru dateng jadi belom tau.”
Percakapan selanjutnya tak lagi terdengar jelas oleh kedua telinga Gia. Gadis itu berjalan dengan ragu, mendekat ke arah Haris yang kini sedang berjongkok seraya sedikit-sedikit menyemprotkan pilok pada bagian-bagian yang agak luntur.
“K-Kak, boleh pinjem piloknya nggak? Sendal saya belom di-pylox,” ucap Gia.
Haris tak langsung menjawab, namun Gia dapat melihat gerakan pemuda itu terhenti sesaat. Detik berikutnya Haris menoleh pelan, melirik Gia melalui ekor matanya. Membuat Gia mau tak mau menahan napasnya takut. “Taro situ aja dulu sendalnya,” ucap Haris pelan. Kemudian kembali melanjutkan aksinya yang tertunda seakan tak memedulikan Gia sama sekali.
“Hah, gimana, Kak?” tanya Gia. Namun tak ada jawaban. Entah tidak dengar atau pria di hadapannya ini sengaja menulikan telinganya. Alhasil, Gia memilih menyerah dan meletakkan sepasang sandal jepit miliknya di dekat Haris. Kemudian memilih pergi.
Sudah biasa, seharusnya ia tak perlu merasa kecewa lagi dan lagi, 'kan?
Gia melangkahkan kakinya kembali pada teman-teman sekelompoknya setelah berhasil mengendalikan ekspresi wajahnya. Gadis itu kembali berlatih yel-yel dengan suasana hati yang ia kondisikan untuk menjadi sebaik mungkin agar tidak merusak suasana.
Dan setelah latihan usai, mereka kembali duduk melingkar. Istirahat sejenak, dan Dhimas mengambil alih. “Gimana perlengkapannya? Dipastiin jangan sampe ada yang kelewat apalagi ketinggalan ya! Soalnya besok kan kita udah nggak kumpul lagi, nih. Ketemu lagi nanti hari Jumat, langsung LDKS.”
“Udah, Kak. Tadi udah ngumpulin senter sama lilin, baju udah ditanda tangan semua, terus name tag juga udah jadi semua. Sandal udah di-pylox semua, diktat juga udah megang semua. Pelengkapan kelompok semuanya udah,” balas Alwan.
Dhimas mengangguk-angguk, setelahnya mengacungkan kedua jempol ya sebagai tanda apresiasi pada Alwan yang bisa diandalkan sebagai ketua kelompok. “Ya udah, gue—” Dhimas mencari Haris, rupanya pemuda itu tak lagi ada di tempatnya sebelumya, sandal-sandal kelompoknya kini tak ada yang menjaga. Entah ke mana Haris pergi. “Gue mewakili Haris juga ya, mau bilang banyak-banyak makasih buat kalian semua karena selama tiga hari ini beneran bisa diandalkan dan cepet banget kerjanya. Makasih udah kompak dan seru banget, pesennya sama. Jangan lupa dijaga etikanya, sama nanti pas di sana harus lebih kompak dari ini ya?!”
“SIAP KAKKKK!!”
“Oke, makasih semuanya. Ini masih ada tiga puluh menit lagi sebelum jam lima, kalo mau latihan lagi silakan. Kalo mau istirahat silakan. Soalnya baru boleh balik jam lima sama kakaknya, dimaksimalin aja ya waktunya,” ucap Dhimas lagi. Kemudian pria itu bangkit untuk mencari Haris.
Sementara itu Gia duduk di sebelah Dinda dan Alfi seraya mengipasi dirinya sendiri. Rupanya berlatih yel-yel dengan koreografi cukup menguras tenaganya, terbukti dari banyaknya keringat jagung yang mengalir di pelipisnya saat ini. Koreografinya memang tak sesulit itu, namun pengulangan berkali-kali cukup membuatnya hilang tenaga.
“Gia udah di-pylox sendalnya?” tanya Alfi. Jika Alwan adalah ketua kelompok, maka Alfi cocok dijadikan sebagai wakil ketua meski jabatannya tidak resmi. Sebab Alfi kerap membantu Alwan dalam mengelola segala kebutuhan kelompok, tak jarang Alfi pun turut mengambil peran ketika Alwan tidak ada.
“Tadi sih aku taro aja di situ, soalnya tadi pas aku mau pinjem piloknya, kata Kak Haris suruh taro aja sendalnya,” balas Gia.
“DIH, NGACO LU GI! Kakak pembimbing kita nggak boleh bantuin apa-apaaa! Nanti mereka yang dimarahin!” balas Alfi panik. “Pylox sendiri! Gue juga tadi pylox sendiri sama Dinda!”
“HAH IYA? Ya ampunn, aku nggak tau,” sahut Gia ikutan panik.
“Coba coba liat dulu, Gi! Takutnya belom di-pylox-in, soalnya bener kata Alfi. Kak Haris sendiri yang bilang emang kakak pembimbing itu nggak boleh bantuin secara langsung. Lo gituin sendiri aja. Pylox-nya juga tadi masih banyak, kok. Ada di situ deket sendal-sendal,” balas Dinda, dengan intonasi yang jauh lebih santai ketimbang Alfi.
Gia kemudian mengangguk, sesaat kemudian ia kembali bangkit dan buru-buru menghampiri lokasi di mana sandal kelompoknya berjajar untuk dikeringkan. Kedua matanya celingak-celinguk mencari sepasang miliknya.
Setelahnya gadis itu melirik ke tempat di mana ia meninggalkannya terakhir kali. Ada. Sandalnya ada di sana. Lengkap sepasang dengan warna yang berubah hijau, hijau yang sama dengan milik teman-temannya. Gia mengangkat sebelah alisnya terkejut, secuil hatinya mulai membuat dugaan perihal siapa pelakunya meski hanya ada satu tersangka yang bisa dijadikan jawaban.
Di sebelahnya, berdiri sebuah kaleng pylox yang tidak terlalu tinggi, sudah tak berisi. Digeletakkan di sana seakan-akan tanpa pemilik. Atau, seakan-akan seseorang yang terakhir kali memegangnya ingin meninggalkan jejak akan aksinya.
Gia memandangi sandalnya yang terbalut warna hijau mengkilat dengan sempurna, tanpa cela, tanpa ada bagian putih yang tersisa. Seseorang yang mewarnai sandalnya melakukannya dengan sangat baik, dan Gia berterima kasih untuk itu.
“Udah di-pylox, Gi?” tanya Alfi yang tiba-tiba menghampirinya.
“Udah, nih.”
“Lah, cepet amat keringnya?” balas Alfi bingung. Pasalnya jika Gia baru saja menyemprotkan warna pada sandalnya, tidak seharusnya sandal gadis itu sama keringnya dengan yang lain.
“Bukan aku yang warnain, pas aku ke sini udah begini,” balas Gia.
“Lah? Diwarnain Kak Haris?” tanya Alfi. Pada akhirnya tersebut juga nama yang menjadi satu-satunya tersangka.
Gia terdiam sejenak. Setelahnya menggendikkan bahu, “Nggak tau.”
Kemudian Gia pun memutuskan untuk kembali bergabung dengan kelompoknya. Tak lama kemudian Dhimas pun kembali, dengan Haris yang berjalan mendahuluinya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Haris, Dhimas menggelengkan kepala seraya menghela napasnya.
“Heran.. heran.. punya temen kok gengsian banget.”