Marah
Damar mengedarkan pandangannya pada halaman sebuah toko buku yang sudah tutup. Terlihat dari penerangan toko buku itu yang sudah sirna. Netranya berhenti ketika mendapati seorang gadis yang sangat ia kenali berteduh di pinggir jalan sana, memeluk dirinya sendiri dengan wajah yang nampak sangat marah sekaligus ingin menangis. Dalam hati ia berdecak dan ingin marah ketika menyadari gadisnya hanya memakai kaus berlengan pendek saat hujan malam-malam begini.
Damar melajukan motornya menghampiri gadis itu. Aghniya terlonjak ketika mendengar suara klakson dari jarak dekat. Baru saja gadis itu ingin mengumpat, bibirnya kembali bungkam ketika mendapati seorang Damar yang muncul di hadapannya.
“Bagusss, aku udah bilang tadi perasaan suruh pake jaket atau baju panjang atau hoodie? Mendungnya dari tadi sore kan? Ternyata malah pake baju pendek,” celoteh Damar. Gadis di hadapannya itu malah memutar bola matanya jutek. Sama sekali tak peduli dengan ucapan Damar.
Damar mematikan mesin motornya, lebih tepatnya motor Jauzan yang ia pinjam dengan alasan urusan mendadak dan motor Jauzan lebih bisa ngebut. Memposisikan motor itu dengan standar miring lalu turun dan berdiri di hadapan gadisnya. Aghniya memalingkan wajahnya lalu menggeser tubuhnya menjauhi Damar. Tanpa banyak bicara, Damar melepas hoodie hitam yang ia kenakan, lalu memakaikannya paksa pada sang gadis. Menyisakan kaus putih tipis berlengan pendek di tubuhnya.
“Apaan sih, ah!”
“Sst, pake dulu baru boleh marah! Pasti mau ngoceh panjang kan lo? Makanya pake dulu, biar kalo kita lama-lama berdiri di sini juga lo nggak kedinginan,” ujar Damar.
Aghniya berdecak lalu memakai hoodie Damar dengan marah. Dengan inisiatif, Damar membantu mengeluarkan rambut panjang Aghniya yang terjepit di dalam hoodie-nya. Membuat gadis itu kian marah, “Nggak usah pegang-pegang!”
“Iyaaa, enggak,” ucap Damar pasrah. “Udah, udah boleh marah sekarang,” lanjutnya.
“Ngapain lo ke sini? Orang gue bilang nggak mau dijemput sama lo! Nggak mau naik motor Damar lagi soalnya bekas Salsabil Congek. NGAPAIN SIH LAGIAN NEMENIN DIA GITU? Gue juga sendirian di sini tau nggakkkkkkkk digodain kuli bangunan, noh! Lo malah nemenin dia?! Nyebelin! Nyebelin! Nyebelinnnn!!!!!” Aghniya berujar sambil memukul-mukul lengan Damar penuh amarah. Sekon berikutnya gadis itu justru menangis sangking kesalnya.
Damar menghela napas, mengusap-usap pucuk kepala Aghniya. “Iyaa, maaf yaa? Emang gue ngeselin banget, kata-katain aja nggak pa-pa. Maaf yaa ngebiarin lo sendirian di sini? Tadi gue juga nggak tau kenapa chat lo nggak ada di notif.”
“PASTI DIAPUS SAMA SALSA LAHHHHHHH! MAKANYA JANGAN DEKET-DEKET DIA LAGI!” balas Aghniya.
“Iya ya? Iyaa iyaa, nggak deket-deket Salsa lagi enggak,” jawab Damar. “Udah? Udah marahnya udah?” tanyanya.
Aghniya masih diam, kembali memalingkan wajahnya. “Hei, kalo udah ayo pulaang. Dingin,” ajak Damar.
“Orang nggak mau pulang sama Damar. Nggak mau dibonceng Damar. Motornya bekas Salsa. Kan tadi udah dibilang.”
Damar terkekeh, “Eh, bocil! Liat noh motor siapa yang gue bawa! Motor Ojan yeeeee malu.”
Aghniya mengangkat alisnya bingung, “Ngapain pake motor Ojan? Motor lo kenapa emang?”
Damar tersenyum lebar, “Motor Ojan kan nggak bekas Salsa. Jadi, mau dong pulang sama gue?”
“CURAANG!”
“Bukan curang tau, itu namanya cerdik. Dah, ayo buru pulang. Menggigil gue lama-lama di sini!” ajak Damar. “Udah ya? Jangan marah lagi, nanti gue ganti jok motor biar nggak ada bekas Salsa lagi. Oke?”
“HOKEEEE!” ujar Aghniya. Kini gadis itu sudah tersenyum, amarahnya hilang entah ke mana. Damar balas tersenyum, “Sini ketekin dulu, baikaaaann!”
Tanpa berlama-lama, Aghniya menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Damar. Keduanya berpelukan singkat setelahnya bergegas pulang.
“Lo nggak dingin pake kaos doang gitu? Tipis loh ini bahannya! Sok pahlawan luu makein gue hoodie,” ujar Aghniya di atas motor ketika keduanya sudah melaju pulang. “Kagakk, peluk makanya biar anget.”
Aghniya terkekeh lalu menoyor kepala Damar pelan, “Yeeuuu, modus lo!”
“Aduh! Ya sama pacar sendiri mah sikat aja, Breee!” balas Damar. Sekon berikutnya, Aghniya melingkarkan tangannya ke perut Damar. Memeluknya erat dari boncengan motor Jauzan yang dipinjam Damar, menyalurkan sedikit kehangatan agar pria itu tak terserang dingin malam sehabis hujan. Selalu seperti itu, amarah sebesar apapun mudah sirna ketika keduanya bertemu. Karena Yudhistira Damar selalu punya cara untuk melenyapkan amarah seorang Aghniya Zhafira.