Lil Help
“Aghniya ya?” panggil seseorang.
Aghniya menoleh, mendapati seorang gadis yang ia ketahui berada di kelas yang sama dengan Damar, Haris, dan Jauzan.
“Iyaa, Orin kan?” tanyanya memastikan.
“Eh boleh panggil Orin?” tanya Aghniya lagi. Takut-takut panggilan tersebut hanya ditujukan untuk orang-orang terdekat.
“Boleh, lah. Gue malah aneh kalo dipanggil Maureen. Lo tadi dipanggil guru Bahasa Indonesia, katanya tugas lo nggak ada,” balas Orin.
“Hah? Serius? Gue udah ngumpulin kok tadi bareng yang lain,” jawab Aghniya yakin.
“Waduh, gue nggak tau deh, Agh. Coba samperin aja, siapa tau kalo lo yang nyari ketemu,” usul Orin.
“Duhh, iyaa makasih banyak yaa Orinn, maaf jadi ngerepotin!” celetuk Aghniya. Lalu gadis itu berlari dengan cepat menuju ruang guru untuk mengonfirmasi bahwa dirinya sudah mengumpulkan tugas bersama yang lain.
“Assalamu'alaikum, Ibu. Maaf, tugas saya nggak ada ya, Bu?” tanyanya.
“Iya, Nak. Tugasmu mana? Ibu suruh kumpulkan tadi kan?”
“Iyaa, Bu. Saya udah ngumpulin, kok. Inget banget judulnya Kemiskinan. Saya buat teks eksplanasi soal Kemiskinan. Udah saya kumpul bareng sama punya yang lain, Bu,” balas Aghniya. Gadis itu masih berusaha tenang meski hatinya dilanda kepanikan.
“Iyaa, tapi faktanya di sini nggak ada, Nak. Ibu sudah hitung berkali-kali juga jumlahnya cuma 34 dari 36 siswa. Kosong satu punya Dhimas, karena tidak masuk. Satu lagi punyamu. Kenapa nggak mengumpulkan?”
“Maaf, Bu. Tapi saya yakin tadi udah ngumpulin juga,” jawab Aghniya yakin.
“Iyaa tapi nggak ada. Ya sudah begini, Ibu kasih kesempatan. Kamu kerjain lagi, di kertas folio, Ibu tunggu sampai pukul 5 sore ya? Kalau sudah langsung bawa sini.”
Aghniya terkejut, namun tak ada waktu untuk tetap bingung dan larut dalam pikiran sendiri. Gadis itu segera melirik jam tangan yang melingkari lengan kirinya. Pukul 15.30, seharusnya masih cukup untuk mengerjakan tugas ini.
“Iya, Bu. Segera saya kerjakan, terima kasih banyak, Ibu. Permisi, assalamu'alaikum,” ujarnya. Lalu Aghniya keluar dari ruang guru dengan tergesa. Gadis itu melangkahkan kaki jenjangnya dengan cepat menuju koperasi sekolah, namun sayangnya koperasi sudah tutup.
Gadis itu menyugar anak rambutnya gusar, fotokopian cukup jauh dari sekolah, entah cukup waktu atau tidak jika dirinya membeli kertas folio di sana. Dan entah mengapa, di saat-saat seperti ini Aghniya justru tidak menemukan Ayesha atau Vio yang bisa diharapkan untuk menolongnya.
Aghniya mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Ayesha. Gadis itu mengirimkan pesan sambil berjalan hingga tak sadar di depannya ada seseorang.
BRUKK! Aghniya pada akhirnya menabrak seseorang. Bahkan batang hidungnya terasa sakit. Aghniya memalingkan wajahnya, menahan sakit pada hidungnya dengan matanya yang mengeluarkan sedikit air mata. Tak lupa ia mengambil ponselnya yang terjatuh. Setelah kembali berdiri, barulah Aghniya menyadari bahwa orang yang ditabraknya adalah Yudhistira Damar. Dan ini yang kedua kali.
“Aghni? Sakit nggakk? Ya Allah maaf yaaaa,” Damar memulai pembicaraan.
“Hah? H-hah? Enggakkk. Nggak pa-pa, Dam. Duhh, maaf ya. Gue buru-buru banget, lo nggak pa-pa?”
“Gue? Gue ya nggak pa-pa, lo ada yang sakit nggak? Mata lo berkaca-kaca gitu,” balas Damar.
“Enggak, nggak sakit asli. Nggak pa-pa, misi Damarr,” ujar Aghniya. Gadis itu lalu melangkah melewati Damar. Namun, sesaat kemudian ia kembali berbalik.
“Damar, punya folio?”
Damar mengingat-ngingat, sesaat kemudian mengangguk. “Ada, mau?”
“MAUUU! Mau, Dam!”
Damar tertawa lalu membuka ranselnya guna mengambil selembar kertas folio dan menyerahkannya pada Aghniya. “Nih, satu aja cukup?”
“CUKUP, makasih banyak, Dammmm! Sumpah gue udah mau nangis!” seru Aghniya.
Damar mengangkat sebelah alisnya, “Kenapa?”
“Tugas gue ilangg. Padahal tadi udah dikumpulin, tapi ilangg. Sumpah nggak tau, tiba-tiba ilang. Ini disuruh ngerjain lagi tapi batasnya cuma sampe jam 5, mana temen-temen gue ilang semua lagi,” cetus Aghniya.
“Kok bisa ilang?”
“Nggak tau..” Aghniya menjawab dengan nada yang berubah lesu. Nampak dari kedua bahunya yang merosot dan bibir gadis itu yang mengerucut.
Damar lagi-lagi terkekeh mendapati ekspresi menggemaskan. “Ya udah kerjain, sini aja nih, bangkunya jadiin meja. Ketinggian nggak?”
Seperti tersihir, Aghniya menuruti perkataan Damar. Gadis itu bergegas meletakkan tasnya di bangku panjang, mengeluarkan tempat pensil miliknya, lalu berniat lesehan. Namun, sebelum berhasil duduk, Damar menahannya.
“Jangan di situ, basah! Nanti roknya kotor,” ujar Damar.
“Hah? Terus di mana dong? Basah semua, kok basah sih? Anak basket kali ya naro minum di sini?” Aghniya berujar sendiri sambil celingak-celinguk mencari tempat yang bisa ia duduki.
“Lo mau ngapain?” tanya Damar pada Aghniya yang melepas sepatunya.
“Duduk, duduk di sepatu aja,” jawabnya.
“Basah nanti kaos kakinya?”
“Nggak pa-pa, lah. Kelamaan, nanti pulangnya nggak usah pake kaos kaki juga nggak pa-pa,” balas Aghniya.
“Lah, Damar. Ngapain?”
“Duduk,” jawab Damar.
“Ngapain?”
“Nemenin lo, emang mau sendirian?” tanya Damar.
“Yaa.. nggak pa-pa. Emang lo nggak pengen pulang?”
“Nanti aja. Udah cepet kerjain, gue temenin,” balas Damar.