Kolam Ikan dan Eyang
Seperti biasa yang ia lakukan ketika berada di rumah Eyang, Yasmine memilih menghabiskan waktu di dekat kolam ikan milik Eyang yang masih terawat meski sudah ditinggalkan pemiliknya—Eyang Kakung, setelah bertahun-tahun. Kolam ikan sederhana berpenghuni ikan-ikan koi dengan corak warna yang cantik yang selalu menarik mata Yasmine sejak kecil, selalu menjadi tempat pelariannya acap kali diundang ke sini. Sebab dahulu, Yasmine sering sekali menghabiskan waktu dengan Eyang Kakung di sana. Bertukar cerita sembari menebar makanan ikan yang langsung jadi rebutan untuk disantap dan sesekali cipratannya mengenai gaun bermotif floral yang dikenakan oleh Yasmine kecil.
De javu, hari ini pun Yasmine mengenakan gaun bermotif floral. Gadis itu tekekeh, mungkin sejak dulu ia telah menemukan selera busana miliknya sendiri. Sering kali Yasmine menjadikan kolam ikan itu sebagai tempatnya menumpahkan keluh, kemudian bersamaan dengan makanan ikan yang disebarnya ia berharap berhamburan pula semua lelahnya ke dalam sana. Bertukar menjadi kebahagiaan sederhana seperti ketika air kolam menyiprati gaunnya.
Entah mengapa bagi Yasmine, kolam ikan adalah tempat yang sangat dekat dengan Eyang Kakung. Gadis itu merasa bahwa Eyang Kakung tak pernah benar-benar meninggalkan kolam itu, rasanya Eyang Kakung selalu menanti Yasmine di sana. Duduk bersila dengan tenang seraya menatap pada ikan-ikan yang dipeliharanya dengan penuh kasih sayang.
“Ada cerita apa hari ini, Nduk?”
Begitu. Selalu seperti itu Yasmine membayangkan Eyang Kakung menatapnya di dekat kolam ikan dengan senyum hangatnya, kerutan-kerutan pada sudut matanya yang semakin terlihat jelas ketika Yasmine menatap ke arah bola mata Eyang Kakung yang selalu ramah, suara serak namun halus yang selalu membuat hati Yasmine tenang, rambut tipisnya yang memutih namun tak sekalipun membuat ketampanan Eyang Kakung hilang ditelan waktu, dan setelan sederhana Eyang Kakung yang tak pernah berubah. Kaus polo berkerah dengan celana bahan hitamnya yang selalu digulung sebatas betis setiap kali menemaninya di kolam ikan.
“Yang Kung,” Yasmine bermonolog. Berucap memanggil Eyang Kakung yang seakan-akan berada di dekatnya. “Hari ini Yayas ke sini. Tapi tau apa yang beda, Yang? Hari ini Yang Ti nggak marahin Yayas lagi. Tadi Yang Ti meluk Yayas—”
Ucapannya terhenti. Rupanya dirinya masihlah Yasmine yang sama. Yang selalu kalah pada akhirnya, yang selalu menangis pada akhirnya setiap kali mengadu pada Yang Kung. Yasmine menarik napas panjang yang lebih terdengar seperti sebuah isakan. Kemudian dengan ibu jarinya ia menghapus air matanya sendiri, menggantikannya dengan sebuah senyuman sebab yang ingin ia sampaikan pada Eyang Kakung adalah sebuah berita bahagia.
“Tadi Yang Ti meluk Yayas. Yang Ti bilang Yayas cucunya Yang Ti,” ucapnya. Menyelesaikan apa yang ingin ia utarakan sebelumnya. Kini sebelah tangannya terulur untuk menyentuh air kolam yang tak terlalu dingin, juga tak terlalu hangat. “Yang Kung, makasih banyak ya.. selama ini selalu jagain Yasmine, selalu nemenin Yasmine, selalu memperlakukan Yasmine sebaik mungkin supaya Yasmine selalu merasa setara..”
Yasmine mengembuskan napasnya untuk kesekian kali. Tak lupa kini ia menjaga agar air matanya tak kembali bersatu dengan air kolam. “Yang Kung.. sekarang istirahatnya tenang aja ya! Kalo dulu Yayas cuma punya Bunda, Mas Jiel, sama Yang Kung, sekarang Yayas udah bisa bergabung sama yang lain, Eyang. Yayas nggak sendirian lagi sekarang. Ada Ayah, Bunda, Mas Jiel, Yang Ti, semua. Yayas punya semua sekarang. You can rest easily, now. Tapi Yayas akan ke sini terus, cerita terus sama Yang Kung. Biar nggak kangen, hehe.”
“I'll love you forever, Yang Kung, Thank you for always treating me like a princess even when no one considered me as one,” tutupnya.
Lega. Hilang sudah semua gumpalan yang selama ini menyimpan semua kata yang tak terucap sebab hak bicaranya dicabut seluruhnya. Yasmine membuang napasnya kasar, membuang pula segala keresahan dan semua luka di hatinya. Hari itu, seperti keluarganya yang bersedia membuka lembaran baru, Yasmine pun memutuskan untuk meninggalkan semua lukanya di masa lalu dan memulai semuanya dari awal.
Yasmine mengeringkan tangannya yang sedari tadi ia gunakan untuk memainkan air. Menyapu sedikit ujung gaunnya yang mencapai lutut, membersihkan kotoran yang mungkin menempel di sana. Sekon berikutnya gadis itu bangkit, berniat kembali bergabung dengan sang kakak yang kini turut berbincang di ruang tengah. Namun Eyang Putri justru menghampirinya, membuat Yasmine mau tak mau mengurungkan niatnya.
“Eyang?” ucap Yasmine bingung. “Kenapa di sini?”
“Kamu sering ke sini, ya, Nduk?” tanya Eyang Putri, yang kini justru malah duduk di tepi kolam ikan. Seperti yang Yasmine lakukan sebelumnya.
Mau tak mau, Yasmine pun kembali duduk. Kali ini gadis itu mengisi tempat di sebelah Eyang Putri. “Iya, Yayas selalu ke sini kalo lagi di rumah Eyang.”
Eyang Putri mengangguk paham, “Yang Kung yang suka ajak kamu ke sini, ya?”
Lagi-lagi Yasmine mengangguk. “Mamas juga,” balasnya menambahkan.
Eyang tersenyum getir seraya menunduk. “Yasmine pasti nggak pernah suka, ya, kalo ada acara kumpul keluarga?”
Tak menjawab, Yasmine hanya tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Eyang. Sekon berikut, diraihnya kedua tangan Yasmine sebelum akhirnya digenggam erat oleh Eyang Putri. Membuat gadis itu kembali mendongakkan wajahnya menatap Eyang.
“Yang Ti minta maaf ya, Nduk. Yang Ti betul-betul minta maaf,” ucapnya tulus. Yasmine dapat merasakannya dengan jelas melalui pancaran mata Eyang. Tersirat penyesalan dan luka yang begitu besar dalam diri Eyang Putri yang dapat Yasmine temukan kala itu. Setelahnya Eyang Putri mulai bercerita.
Perihal masa kecilnya. Perihal—luka yang membuatnya turut menghancurkan dunia Yasmine.
“Dulu, Yang Ti punya ambisi besar. Yang Ti mau sekolah yang tinggi, karena Yang Ti suka belajar. Senang gitu rasanya ya, kalau pergi ke sekolah terus ketemu teman. Belajar banyak hal baru, terus diselesaikan di rumah kalau masih penasaran karena belum ketemu jawabannya,” Eyang mulai bercerita. Namun kemudian ia jeda sejenak, “Yasmine mau jadi apa kalau sudah besar?”
Yasmine membiarkan sudut bibirnya tersungging manis, “Dokter, Eyang.”
Sesaat, Eyang Putri terperangah mendengar jawabannya. Tubuhnya bahkan sedikit menegang, seakan ucapan Yasmine begitu menamparnya dengan keras. Namun sesaat kemudian senyuman teduh Eyang kembali menghiasi wajahnya yang meski sudah tua, tetap ayu layaknya selalu dirawat dengan baik.
“Dulu, cita-cita Yang Ti persis seperti punya Yasmine,” ucapnya getir. Ah, rupanya benar apa yang diucapkan orang-orang. Mimpi yang tak pernah terwujud itu rupanya tak akan pernah mati, melainkan hanya mendekam di bagian hati paling dalam. Membuat sang empunya menjadi seorang punuk yang merindukan bulan, selamanya.
“Dulu, Yang Ti juga mau jadi dokter. Yang Ti bilang sama Mbah Buyut, mau sekolah yang tinggi karena mau jadi dokter. Supaya bisa mengobati langsung Mbah Buyut kalau lagi sakit, karena dulu Mbah Buyut itu sakit paru-parunya, Yas. Kalau napas susah, Yang Ti nggak tega. Mau berobat bukan nggak punya uang, tapi Yang Ti kasihan karena Mbah Buyut harus bolak-balik ke rumah sakit dan nunggu lama di sana sementara beliau udah kesusahan,” tutur Eyang. Yasmine manggut-manggut memahami cerita Eyang. Paham, sebab tujuannya menjadi seorang dokter pun sama. Ingin turut mengulurkan tangannya pada dunia, tentu dimulai dari yang terdekat yakni keluarganya.
“Tapi waktu Yang Ti cerita ke Mbah Buyut, Yang Ti langsung dimarahin abis-abisan. Katanya, yang boleh sekolah tinggi-tinggi itu cuma laki-laki. Perempuan kalau disekolahin tinggi-tinggi itu justru percuma, cuma bakal ngabisin uang. Karena ujungnya di dapur, ujungnya ngikut suami, ujungnya cuma di rumah, nggak bakal jadi apa-apa,” jelasnya. “Bahkan dulu Eyang nggak boleh masuk SMA, Mbah Buyut maunya Eyang berhenti sampai SMP aja terus menikah. Tapi Eyang berontak, cuma.. ya.. bayarannya jadi mimpi Eyang yang harus dikorbankan.”
Yasmine menelisik wajah Eyang dengan seksama seraya menyimak ceritanya. Kini mata Eyang berkaca-kaca. Rupanya Eyang juga sama dengannya, memiliki kelemahan yang membuat air matanya luruh seketika. “Waktu itu kami, Mbah Buyut sama Eyang, akhirnya bertukar syarat. Eyang boleh sekolah sampai tamat SMA, asal setelah itu nggak ada lagi permintaan untuk menjadi dokter. Eyang harus menikah. Begitu pinta Mbah Buyut.”
Ah, Yasmine mengerti sekarang. Rupanya kebencian Eyang Putri terhadapnya bukan tercipta akibat pemikirannya sendiri. Melainkan karena luka masa lalu akibat pergerakannya dibatasi. Sayap-sayapnya untuk terbang tinggi dan menggapai mimpinya yang tersimpan di balik bintang itu dipatahkan secara paksa oleh seseorang yang selalu berlindung dibalik kewajibannya untuk dihormati, ayahnya sendiri.
“Eyang bersyukur semua anak dan cucu Eyang laki-laki, karena entah kenapa rasanya seperti dendam yang terbalaskan terhadap Mbah Buyut. Sebab pion keluarga Eyang lebih banyak. Tapi pas lahir kamu, rasanya jantung Eyang kayak ditusuk. Karena sudah terpatri di kepala Eyang kalau anak perempuan itu cuma sampah keluarga,” ucap Eyang lagi. “Padahal Yang Kung dulu sudah bilang, kamu nggak akan jadi sampah keluarga kalau kami nggak memperlakukan kamu begitu. Tapi susah, Nduk, Yang Ti selalu marah—”
Eyang Putri menangis semakin deras. Membuat Yasmine dengan sigap merangkul Eyang Putri dan menariknya ke dalam dekapannya. Yasmine mengusap bahu Eyang pelan. Berusaha meredakan tangis sang nenek. “Yang Ti selalu marah kalau lihat kamu. Karena Yang Ti merasa nggak adil, kenapa kamu bisa melakukan apa yang kamu suka? Kenapa kamu bisa terus berprestasi begitu? Yang Ti iri.. dulu Eyang nggak bisa sebebas kamu sekarang..”
Yasmine kini turut menitikkan air matanya. Hatinya sakit sekali, kali ini bukan lagi karena mendengar pernyataan Eyang yang membencinya. Melainkan karena mendengar betapa Eyang mendambakan dunia yang ia miliki sekarang.
“Eyang masih marah, kah, sama Yasmine sekarang?”
Eyang Putri menggeleng, “Yo, Ndak, Cah Ayu!“
“Kenapa, Yang?” tanya Yasmine. Yasmine menggeleng cepat sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. Mencegah kesalahpahaman, dengan bola matanya yang berkilat menahan tangisnya agar jatuh lebih deras, Yasmine menjelaskan. “Yayas cuma mau tau kenapa, Eyang. Soalnya ini semua juga rasanya masih tiba-tiba buat Yayas.”
Eyang Putri kini tersenyum seiring setitik air matanya membasahi pipi. Ditangkupnya wajah cucu perempuan satu-satunya dengan kedua tangan. Ibu jari Eyang pun mengusap-usap pipi tembam Yasmine yang mulus, sekaligus menghapus jejak air mata gadis itu. Keduanya saling menatap, seolah ingin menjalin sebuah ikatan yang lebih kuat. Sekon berikutnya ketika Yasmine menatap lurus ke dalam netra Eyang yang persis dengan miliknya itu, Eyang Putri memecah keheningan di antara keduanya.
“Nduk, dulu Eyang pikir kamu lahir di keluarga ini sebagai simbol kekalahan bagi Eyang. Karena akhirnya ada seorang lagi dalam keluarga yang pada akhirnya nggak akan jadi apa-apa,” tutur Eyang. “Tapi sekarang Eyang tau, Cah Ayu ini lahir di keluarga ini, sebagai simbol kemenangan bagi Eyang. Karena ada yang akan meneruskan mimpi Eyang,” tutupnya.
Yasmine tak bisa merasakan apapun selain pipi beserta dadanya yang memanas. Seakan seluruh darahnya mengalir dan mendidih di dalam arteri. Baru ia mengenal Eyang, rupanya ambisinya sama. Menjadi seorang dokter, atau setidaknya, menjadi seorang perempuan yang dihormati. Yang tak dipandang sebelah mata, yang tak dianggap sampah dalam keluarga, yang tak dianggap sebagai simbol kekalahan—apalagi aib bagi keluarga.
Kedua bola mata Yasmine menajam menafsirkan seluruh ambisi dalam dirinya yang selama ini memadam. Perempuan itu mengangguk mantap. Ambisinya sudah kembali membara sekarang, sebab tak ada lagi yang akan berusaha menginjaknya agar tetap berada di posisi paling bawah.
Yang Ti, dialah sayapmu sekarang. Mereka tak pernah benar-benar patah, hanya tergantikan dalam bentuk yang paling baru. Yang jauh lebih kuat untuk menerpa badai sekalipun. Yang jauh lebih kokoh untuk menukik menghindari segala rintangan yang mencoba menghalanginya untuk terbang lebih tinggi.
“Kejar pendidikanmu yang betul, ya, Nduk, Cah Ayu? Nggak harus jadi dokter, kalaupun Yasmine berubah pikiran di tengah jalan, ndak apa-apa, Nduk. Apapun itu, nanti ceritakan sama Eyang apapun mimpi Yasmine. Ya?”
Yasmine mengangguk semangat, setelahnya gadis itu kembali menghamburkan diri ke dalam pelukan Eyang untuk menangis sejadi-jadinya. “Pasti, Eyang. Pasti.”
Hari itu otomatis menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Yasmine. Dan kolam ikan, bagi Yasmine akan selamanya menjadi sesuatu yang identik dengan Eyang. Entah karena sihirnya atau bagaimana, kolam ikan di rumah Eyang adalah satu-satunya tempat yang seakan selalu meminjamkannya waktu untuk berbahagia sejenak dalam hidupnya. Dan Yasmine bersumpah ia akan segera ke rumah Eyang untuk menuju kolam ikan ketika kesibukannya mulai mengganggu pikiran suatu saat nanti.
Memang tak ada lagi Eyang Kakung yang menemaninya di sana. Namun ada Eyang Putri, yang mulai saat ini, akan selamanya menyambut Yasmine dengan pelukan hangat—sehangat sweater rajut yang biasa ia buat untuk semua cucunya. Kemudian menemaninya duduk manis di dekat kolam ikan, menukar kesedihan dengan kebahagiaan sederhana seperti ketika air kolam menyiprati gaunnya.