Kani — Kayu
Hari Jumat, hari yang paling ringan untuk ditempuh di antara hari-hari sekolah lainnya. Satu-satunya pelajaran berat yang ada di jadwal Aghniya adalah Fisika.
Waktu terasa berjalan lebih cepat. Kini waktunya istirahat, Aghniya memilih menunggu di kantin sementara Ayesha menyempatkan ibadah duha kala itu. Gadis itu mendudukkan dirinya di bangku kantin yang menghadap langsung ke masjid sekolah sambil menyesap susu ultra cokelat yang sengaja ia beli untuk mengganjal perutnya.
Gadis itu asik bermain ponsel ketika Damar baru saja keluar dari masjid sekolah. Rambutnya yang sedikit panjang itu terlihat masih basah dengan sisa air wudhu. Tak lama juga terlihat Ojan yang turut duduk dan memakai sepatu. Netra Jauzan yang lebih dulu menangkap Aghniya di kantin, membuatnya segera menyiku Damar pelan.
“Aghniya, Bro,” ujar Ojan, menunjuk gadis yang sedang sibuk bermain ponsel itu dengan dagunya.
Damar otomatis menoleh, namun tak bicara apa-apa. Pria itu memilih lanjut memakai sepatu hingga terikat rapi. Ojan berkata lagi, “Kok sendirian sih tumben dah, biasanya sama Ayesha.”
“Ayeshanya lagi jajan kali, lo mau langsung ke kelas apa gimana, Jan?”
“Ke kelas aja dah, gue tadi udah beli makan pagi-pagi. Makanan gue udah di kelas. Lo ngantin? Anjay iyalah, ngapain pake gue tanya yak hahahahah,” balas Ojan.
Damar hanya terkekeh. Setelahnya Ojan yang lebih dulu selesai memakai sepatu itu bangkit dan memilih pamit ke kelas. “Cabut, Dam!”
“Yooo!” balas Damar seadanya.
Setelahnya Damar berjalan menuju kantin. Tentu saja tak lupa menyapa pujaan hatinya terlebih dulu. “Sst sst!”
Aghniya mengalihkan pandangannya dari ponsel menuju sumber suara. Matanya sedikit terbelalak ketika mendapati Damar berada di hadapannya sambil tersenyum.
“Sendirian?”
Masih sambil meminum susu cokelat miliknya, gadis itu mengangguk. “Ayeshanya lagi salat dulu.”
“Oalaah, lo nggak?”
“Masih libur, belom selesai,” balas gadis itu. Damar hanya mengangguk-angguk paham. “Bentar ya gue beli makan dulu,” ujar Damar. Aghniya hanya mengangguk.
Tak lama kemudian Damar kembali dengan sepiring nasi dengan lauk yang ia pesan. Pemuda itu mendudukkan dirinya di sebelah Aghniya. “Eh gue duduk sini ya, Agh?”
“Iyaa duduk aja.”
“Makasihh,” balasnya.
“He'emmm,” Aghniya membalas lagi.
Baru saja Damar ingin memulai percakapan, seorang adik kelas menginterupsi keduanya dengan menghampiri Aghniya.
“Kani,” panggilnya.
Aghniya lantas menoleh, “Yaa?”
“Tadi Mamaku chat aku, katanya Mama mau pergi terus kuncinya dititip di rumah Kani. Nanti pulang bareng ya? Sekalian mau main di rumah Kakak aja. Aku males sendirian di rumah,” ujarnya.
“Ohh, ya udah, Jar. Kamu ke kelasku berani nggak?” tanya Aghniya pada Zahra, adik kelas yang juga tetangganya itu.
“IH, ya nggak lah, Kak! Itu satu koridor isinya angkatan Kakak semua mana aku berani,” jawab Zahra.
“Ah nggak jelas lo, Jara-Joro! Ya udah nanti ketemu di depan TU aja ya? Kamu chat aku kalo udah di sana!”
“Nah, begitu lebih baik. Nanti nonton film ya, Kani?” pinta Zahra.
“Iyaaa,” jawab Aghniya.
“Sekalian makan masakan Bunay, ya, Kani?”
“Iyaaa,” jawab Aghniya lagi.
“Sekalian bantuin pr aku mau nggak, Kak?”
“Emang paling bisa ya, ini anak. Ya udahh, ini pulang aja belom, Jaraa! Yang penting nanti kamu ke rumahku dulu aja, kan?” balas Aghniya.
Zahra hanya tertawa. “Ya udah, aku mau jajan. Dadah, Kani, love you, muach!”
“IDIH,” canda Aghniya sambil bergidik geli.
Setelahnya ia kembali menghadap Damar yang sedari tadi terpaksa ia abaikan. “Sorry ya, Dam. Jadi dicuekin,” ujar Aghniya.
“Santaai,” balas Damar. “Dia tetangga lo?”
“Iyaaa. Tetangga gue tapi sekolah di sini juga. Heran, kerjaannya ngintilin gue aja. Dari SD bareng mulu masa sekolahnya,” balas Aghniya.
“Serius? Hahahahah. Tapi keliatannya lo sama dia deket banget ya?”
“Iyaa, lah. Gimana enggak? Dari kecil sih sebenernya. Gue kan anak tunggal, nah dia juga. Jadi kita berdua sering main bareng, dia udah kayak adek gue sendiri juga sih. Abis gimana ya, temen gue dia doang. Temen dia gue doang,” jawab Aghniya lagi.
Damar mengangguk-angguk. Sekon berikutnya alisnya bertaut, teringat panggilan yang sebelumnya adik kelas itu gunakan pada Aghniya. “Tapi tadi dia manggil lo apa?”
Aghniya mengangkat sebelah alisnya menanggapi pertanyaan Damar. “Oooh, Kani. Dia manggil gue Kani, kadang sih. Kalo dia lagi mau aja.”
Damar semakin bingung, “Kok Kani?”
“Kak Aghni. Tapi sama dia disingkat, jadi Kani.”
“Oooh, hahahahah. Biar apaa dah?”
Aghniya terkekeh, “Gue kan manggil ortu gue tuh Bunay—Papaji. Singkatan dari Buna Ayna, Papa Aji. Terus kata Zahra, biar sah jadi anak mereka gue harus buat singkatan juga gitu, biar kayak Bunay sama Papaji. Makanya dia bikin 'Kani'. Singkatan dari Kak Aghni. Ah, nggak tau deh nggak jelas emang Jara-Joro. Tapi lucu sih, hehehe.”
“Lah berarti secara nggak langsung lo manggil orang tua lo pake namanya juga ya? Hahaha,” balas Damar.
“Iyaa. Kata Papa biar inget nama orang tuanya. Biar ketanem dalem otak.”
Damar hanya tertawa kecil menanggapi ucapan gadis di sebelahnya. Setelahnya memilih memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
“Kalo Damar manggil orang tuanya gimana?”
“Normal-normal aja gue, mah. Ibu—Bapak,” jawab Damar.
“Ih lucu deh tapi. Udah jarang nggak sih sekarang orang yang manggilnya Ibu—Bapak? Biasanya Papa—Mama, Mama—Ayah, gitu-gitu, deh! Eh, lah tapi berarti gue nggak normal, dong?”
Damar lagi-lagi terkekeh, lalu setelahnya menggeleng. “Bukan nggak normal, unik. Lo doang kan yang punya panggilan begitu ke orang tua lo?”
“Iya juga sih. Waw, positive thinking sekali ya, Yudhistira Damar.”
Damar lagi-lagi tertawa. “Eh tapi gue juga mau dong punya singkatan nama panggilan gitu. Tapi jadi apaan ya? Masa Kadam? Kamar? Jelek, dah!” ujar Damar.
Aghniya masih diam. Diam-diam gadis itu benar-benar memikirkan singkatan nama panggilan untuk Damar. Damar pun masih terdiam, pemuda itu memikirkan hal yang sama disela kunyahannya.
“Kayu?”
Damar menoleh, “Hah?”
“Kak Yudhistira. Kayu.”
“Iya juga,” balas Damar. “Okee, gue Kayu. Haloo, Kani!” ucapnya sambil melambaikan tangan ke arah Aghniya di hadapannya. Tak lupa senyum manisnya itu kembali ia pamerkan.
“Ahahahaha, halo juuuuga Kayuuu!”
“Eh, tapi di antara kita tuh siapa yang lebih tua sih?” tanya Damar tiba-tiba.
“Hmmm, nggak tau. Lo lahir bulan apa?” tanya Aghniya. Pencitraan, sebenarnya gadis itu sudah mengetahui bahwa Damar-lah yang lebih tua. Tentu saja ia menghapal tanggal lahir Damar.
“Mei, gue 7 Mei. Lo?”
“Juli, tanggal 22,” balas Aghniya.
“Oh iya tuaan gue. Tapi ulang tahun kita deket juga, gue kira jauh,” balas Damar.
“Ultahnya doang yang deket kitanya enggak? Enggak lah, bercanda doang, Damar. Damaiiii,” ujar Aghniya. Setelahnya gadis itu cengengesan. Lalu merutuki dirinya sendiri yang suka kelepasan meledek orang lain secara spontan.
“Oh kurang deket?” tanya Damar. Setelahnya justru pria itu menggeser posisinya mendekati Aghniya. Membuat bahu kanan Aghniya bersentuhan dengan bahu kiri milik Damar. Gadis itu lalu membeku di posisinya. “Udah deket belom nih?”
Melihat gestur Aghniya yang mendadak kaku, Damar tertawa lalu kembali menggeser posisinya menjauh dari gadis itu. Damar menangkap jelas bagaimana gadis itu pada akhirnya menghela napas lega setelah dirinya bergeser ke posisi semula. Diam-diam, Damar merasa gemas dalam hati.
“Iseng sihh, diisengin balik kaget kaan?” ejek Damar. Kini pria itu menunjuk-nunjuk wajah Aghniya yang memerah akibat ulahnya sendiri.
“Ah, curang! Tadi kan lo udah bales isengin gue masa sekarang gue diisengin lagi?”
“Biarin. 2-1 ya, Kanii. Coba lagi coba lagi, pasti nanti kalah lagi, sih,” balas Damar.
“Mana adaaaaa! Lo curang ah yang tadi nggak diitung!”
“Itung, lahh. Tuhh, berarti yang curang tuh eloo!” ujar Damar lagi.
“Enggak! Yang tadi pelanggaran. Nggak diitung. Iii Damar curang iii! Sorakin Damar! Huuuuuuu!”
“Iyaa deeh, ngalah sama anak kecil,” balas Damar.
“Ah malesin! Musuhan aja lah!”
“Tuh, ngambeknya aja kayak anak kecil. Itu kan bahasa anak kecil kalo lagi maen tau, Agh. Malesin, musuhan aja! Aku nggak mau temenan lagi sama kamu! gitu,” jawab Damar.
“APAAANNNNN NGGAK ADA!”
“Dihh nggak percaya, anak kecil di rumah gue begitu semua!” balas Damar tidak mau kalah.
“Iya karena elu kaptennya kan? Lo yang menghasut mereka menebar kebencian, kan?” tanya Aghniya bercanda.
“Bener, kok tau sih?” balas Damar.
“Ih demi apa, Dam?”
“Hahahaha, enggak lah. Gue mah anak—” Damar menggantung kalimatnya.
“Anak apa?”
“Anak Ibu gue, lah.”
“Ih apa sih nggak jelas.”
Namun setelahnya dua remaja itu sama-sama tertawa, padahal sama sekali tidak ada yang lucu. Mungkin memang benar kata Dhimas, Aghniya mudah tertawa jika bersama Damar. Namun, begitu pula sebaliknya. Lagipula, kalau rasa sudah tumbuh di dalam hati, siapa yang butuh usaha setengah mati untuk mengukir senyum pada wajah satu sama lain?
Aghniya bahkan bisa tersenyum hanya dengan melihat sepatu Damar tersusun rapi di rak sepatu masjid. Damar bahkan bisa tersenyum hanya dengan melihat susu ultra cokelat yang terpajang rapi di rak minimarket dekat rumah.
Kalau rasa sudah tumbuh di dalam hati, percakapan seringan julukan Kani—Kayu yang pada akhirnya beranak-pinak menjadi topik lain, tentunya menjadi sangat luar biasa.
Tak lama kemudian, Ayesha pada akhirnya selesai dengan ibadahnya. Gadis itu pun sudah selesai memakai sepatu. Ayesha lalu berjalan menghampiri Aghniya yang terlihat sedang bercengkrama dengan Damar. Ayesha hanya menahan senyumnya, tentu saja turut senang melihat teman dekatnya berbahagia. Awalnya bahkan Ayesha ingin meninggalkan Aghniya, membiarkan gadis itu memiliki waktu lebih lama dengan Damar. Namun, niat itu segera ia urungkan.
“Met, naik nggak?” panggilnya.
Aghniya dan Damar otomatis menoleh, lalu dengan cepat Aghniya mengangguk. “Naikkk!”
“Damar, duluan yaaa!” pamit Aghniya pada Damar.
“Iyaaa, tiati yaa, Kani!”
Aghniya terpaku sesaat, lalu tersenyum. “Iyaaa, dadah, Kayu!”
Setelahnya gadis itu berlalu dengan semangat, tak lupa membawa sampah susu kotaknya yang kemudian ia buang pada tempat sampah kantin. Setelahnya menggandeng lengan Ayesha dan menariknya pergi dengan langkah riang.
Aghniya berlalu tanpa menyadari satu hal, Damar tak melepas pandangannya pada gadis itu hingga dirinya benar-benar tak dapat lagi menjangkau Aghniya dengan netranya.