Kak Haris Mode On

“Eh, Dhimas masih lama nggak sih?” tanya Ojan tiba-tiba dengan wajahnya yang gelisah.

“Kayaknya masih, ngapa lu?” balas Haris.

“Duh, mules lagi gue. Kayaknya tadi belom keluar semua. Gue ke toilet dulu dah yak!” ujar Ojan. “Mules banget.”

“Jorok anjir, ya udah sana buruan,” ujar Damar. “Nitip nitip nih kunci motor,” balas Ojan. Setelahnya pria itu menyerahkan kunci motornya pada Haris.

“Buruan lu, lama gue tinggal nih. Kunci motor di gua soalnya hahaha,” canda Haris.

“Ah bangke lo!” umpat Ojan. Kemudian benar-benar berlari ke dalam rumah sakit guna mencari toilet untuk menjawab panggilan alam.

Kini tersisa Damar dan Haris, yang masing-masing duduk di atas sepeda motor yang sudah diparkir rapi. Haris duduk menyamping, dengan sebelah kakinya ia naikan ke atas pahanya. Lengan kirinya ia sandarkan di atas speedometer motor Ojan. Sementara tangan kanannya memegang ponsel yang sedari tadi fokus ia mainkan.

Damar hanya diam. Memandang pada sembarang arah meski larut dalam pikirannya sendiri.

“Ris,” panggil Damar.

“Oi,” Haris menjawab tanpa berpaling sedikitpun dari ponselnya.

“Gue mau nanya dong,” ujar Damar.

“Ya tanya aja tai, formal amat lu.”

Damar berdecak, “Serius, anjir ah!”

“Apaann? Nanya apa si lu? Tumben amat serius-serius.”

“Menurut lo ya, Ris. Dhimas sama Aghni bener-bener cuma temenan nggak, Ris?” tanya Damar.

Haris menoleh pada Damar, akhirnya mengalihkan pandangannya dari ponselnya. “Hah?”

Damar tak menjawab, pria itu hanya memandangi Haris. Memberi isyarat bahwa pertanyaannya serius dan dirinya menanti jawaban Haris.

“Anjrit! Ini lo maksudnya curiga sama Dhimas gitu?” tanya Haris tak percaya.

“Jujur iya. Ya, lo tau kan? Kata orang—”

“Cewek sama cowok nggak bisa temenan tanpa ada rasa gitu?” potong Haris. Damar mengangguk.

Haris terkekeh, setelahnya pria itu menyimpan ponselnya. Seakan bersiap memberikan petuah pada sahabatnya yang sedang dilanda keraguan.

“Kenapa lo bisa mikir gini dah, Dam? Asli gue nggak nyangka sih,” balas Haris.

“Kenapa nggak nyangka? Bukannya semua orang di sekolah juga mikir gitu? Mereka cocok, mereka harusnya pacaran.”

“Oh anjrit!!! Lo cemburu maksudnyee?” tanya Haris.

Bukannya menjawab, Damar menghela napas. “Nggak tau. Gue tadinya juga biasa aja. Tapi Revan waktu itu chat gue, dia bilang kalo ngomongin soal Aghni, Dhimas yang akan selalu menang. Nggak bakal ada yang bisa ngalahin Dhimas di hidup Aghni.”

“Iya itu bener,” jawab Haris. Damar lantas melirik ke arah Haris tidak terima.

“Kenapa? Lo nggak terima?”

“Jujur enggak,” jawab Damar.

Haris menghela napas. “Gini, gini. Menurut lo kenapa Dhimas sama Aghni temenan?”

“Ya, satu sekolah.”

“Kagaak, goblok. Maksud gue, kenapa mereka temenan sampe deket banget kayak gitu?” tanya Haris.

“Karena sering bareng?” tebak Damar.

“Elu sama Salsa sering bareng, emang deket? Deket banget kayak Aghni Dhimas?” tanya Haris.

Damar terdiam sejenak, setelahnya menjawab. “Enggak.”

“Kenapa?”

“Nggak cocok aja gue sama dia. Maksudnya banyak sifat dia yang emang nggak cocok aja buat gue jadiin temen,” jawab Damar.

Haris menjentikkan jarinya, “Nah!”

“Ape?”

“Lo sadar nggak, Aghni sama Dhimas tuh sama. Mereka kalo ketemu sering banget debat hal-hal nggak penting, sering banget bercanda berdua, ledek-ledekan. Banyak banget inside jokes yang cuma mereka doang yang ngerti. Mereka tuh sama, Dam,” jelas Haris. “Aghni tuh kayak versi ceweknya Dhimas, Dhimas kayak versi cowoknya Aghni.”

Damar masih diam. Menuntut Haris untuk melanjutkan penjelasannya yang ia harap dapat membuka pikirannya.

“Daripada ngeliat mereka as a couple, gue ngeliat mereka as a twin siblings sih, Dam. Cara mereka ngejaga satu sama lain, dua-duanya sama-sama se-serem itu kalo satunya kenapa-napa. Dhimas pernah seganas itu nendang Revan tanpa mikir waktu tau doi bikin Aghni sakit hati banget, jangan lupa juga Aghni pernah nampar cewek yang ludahin Dhimas,” ucap Haris.

“Revan bener, kalo ngomongin soal Aghni, emang Dhimas bakal selalu menang. Begitu juga sebaliknya. Mereka pasti menganggap satu sama lain se-berharga itu di hidupnya masing-masing. Don't you think they're family?

“Lo mikir gitu?” tanya Damar.

“Iya. Jujur iya,” balas Haris.

“Kok bisa?”

“Lah, kocak. Elu begimana bisa mikir dia demen sama Dhimas? Emangnya lo kagak sadar?”

Damar mengerutkan alisnya, “Apaan?”

Haris mengangkat alisnya, tidak percaya bahwa pemuda di hadapannya ini benar-benar tidak menyadari yang ia maksud. “Lo beneran nggak sadar?”

“Ah, gue nggak ngerti maksud lo.”

“Lah, begimana lu? Emang Aghniya nggak keliatan salting-nya kalo lagi ngomong sama lo?” tanya Haris.

Damar berpikir sejenak, berusaha mengingat-ingat bagaimana gadis itu bersikap ketika bicara berdua dengannya. Tak lama ia mengangguk, “Keliatan.”

“Nah, menurut lo itu kenapa?” tanya Haris. Damar tak menjawab, pria itu hanya menatap ke arah Haris sambil menutup mulutnya tak percaya. Damar baru menyadari maksud Haris sejak tadi. Kali ini, wajahnya jauh lebih sumringah dari sebelumnya.

Haris menggelengkan kepalanya. “Adeeh, Damar. Lo jangan suka menutup mata akan hal-hal yang sudah sangat sangat jelas, deh! Bego sendiri jadinya,” lanjut Haris lagi.

Ketika keduanya ingin melanjutkan bicara, tiba Ojan dan Dhimas yang sudah selesai dengan urusannya masing-masing.

“Ih jangan deket-deket Ojan bego, Dhim. Abis BAB dia, bau,” ucap Haris.

“Anjir, udah wangi ini! Cium!” ujar Ojan sambil menyodorkan tangannya ke arah Haris yang langsung ditepis oleh Haris. “JOROK!”

Damar menoleh pada Dhimas, “Udah, Dhim?”

Pemuda itu mengangguk dengan senyuman tipis, “Udah.”

“Lo nginep apa pulang?” tanya Damar.

“Disuruh pulang sama Mama. Disuruh sekolah dulu, gue dimarahin gara-gara udah lama nggak masuk. Pulang sekolah baru gue ke sini lagi, sekalian ambil baju buat Mama,” jawab Dhimas.

Damar mengangguk. “Ya udah, balik, dah yuk. Biar lo istirahat.”

“Lo sama Ojan langsung balik apa gimana, Ris?” tanya Dhimas. Kedua temannya itu menggeleng bersamaan, “Anter lo balik dulu. Baru kita-kita balik,” jawab Ojan mewakili suara Haris.

“Kenapa nggak langsung balik, dah?” tanya Dhimas.

“Kagak, ah. Sekalian aja baliknya sama Damar nanti, selaw, Dhim,” jawab Ojan lagi. “Tau, kayak sama siapa aja lu,” sambung Haris.

“Bukan gitu, emangnya gua penganten dianter-anter?” canda Dhimas.

“Uwaduh, udah bisa bercanda dia, Bunggggg!” ucap Ojan yang disambut tawa oleh ketiga temannya yang lain.

“Selaw, Orin aja bukan penganten dianterin mulu sama Ojan,” canda Haris lagi.

“Ah, bisa aja Kak Harissss. Mending anterin aku pulangg,” Ojan meledek balik.

“JHAHAHAH, KAK HARIIIIISSS, Kak Haris nggak mau nganter saya pulang, Kak?” Damar ikut meledek.

“Heh, diem lo! Gue bikin ancur beneran hubungan lo nanti ya, anjir Damar!” balas Haris tak terima.

“ANJ— eh, iya iya. Saya minta maaf ya, Kak Haris,” ucap Damar dibuat-buat. Menyindir Haris perihal hubungannya dengan seorang adik kelas yang memang sering ia tangani. Sering pula ia marahi, maka kata-kata yang Damar ucapkan adalah ucapan andalan adik kelas itu.

Semua temannya tahu Haris mulai tertarik padanya, namun pemuda itu tetap pada pendiriannya. Alias denial.

“Ah, males ah gue kalo begini! Dhim, Damar jangan direstuin sama Aghniya Dhim! Pisahin aja pisahin!!” ucap Haris yang kemudian dibalas tawa oleh Dhimas.