I'll Keep Your Seat Guarded
Hari kelima tanpa Adelia. Dhimas yakin pasti ia tidak salah hitung. Setiap hari ia mencatatnya, mencoretnya di kalender yang tergantung di dinding rumahnya setiap pagi. Sore ini pula, ia lagi-lagi harus memasuki ruangan bimbel dingin in dengan perasaan hampa. Ditatapnya kursi kosong di barisan belakang, tempat Adelia menaruh tasnya setiap hari. Ransel abu-abu muda yang tenang, atau sebuah tote bag blacu bergambar bunga lavender yang dijahit dengan benang hitam.
Namun, kini, bangku itu kosong. Dhimas memandanginya dari depan kelas, kesal karena kursi itu terdorong kesana-kemari. Lebih kesal kali karena yang mendorong dan menggesernya asal-asalan adalah Badrul. Seseorang yang mencoba mencomblangkan temannya dengan Adelia. Lebih, lebih kesal lagi karena Badrul menggunakan kursi itu sebagai sandaran kakinya.
Pemuda itu memilih untuk memberikan kesempatan untuk Badrul menyandarkan kakinya. Nanti, kalau ada kesempatan, akan ia patahkan—tidak, tidak, maksudnya Dhimas akan mengambil kursi itu dan mengamankannya di sisinya. Sudah lima hari ini, Dhimas duduk di barisan paling belakang. Selalu di tempat yang sama, di sebelah kursi Adelia, dan selalu menggunakan kursi gadis itu untuk menaruh tasnya.
Gue bawa laptop, nih. Berat, kalo ditaro di kursi gue juga takut jatoh.
Begitu alasannya. Terkadang, Dhimas dengan sengaja membawa tambahan tas berisi sepatu futsalnya agar ada alasan untuk mengamankan kursi Adelia. Tidak ada yang protes—tidak ada lagi yang berani protes semenjak Dhimas membungkam semuanya. “Nggak ada orangnya ini. Lu semua udah pas juga, kan, duduk di tempat masing-masing? Biasanya ini bangku juga nggak ada yang mau pake, selalu Adel yang duduk sini. Kenapa sekarang pada rebutan gitu, sih?”
Ah, Adelia, andai gadis itu melihat betapa gagahnya sang pangeran melindungi gadis itu. Sejauh ini, yang Adel tahu hanyalah sisi menyenangkan seorang Dhimas Wijaya. Ramah, supel, selalu lembut tutur katanya, dan nyaris tidak pernah sarkas terhadap orang lain. Adelia belum pernah melihat sisi Dhimas yang seperti ini—lebih tepatnya, Dhimas tak pernah mau menunjukkannya.
Kalau dipikir-pikir, pemuda itu juga belum memberitahu Adel bahwa jabatannya lebih tinggi dari Haris. Paling tinggi di antara semua organisasi siswa di sekolah. Biarlah semua mengalir sebagaimana mestinya, Dhimas juga enggan sombong. Apalagi menyombongkan sebuah jabatan yang hanya membuat jam pulangnya terlambat.
Entah sudah berapa menit Dhimas memainkan ponselnya. Jam masuk masih sekitar setengah jam lagi. Biasanya ada Adelia yang sibuk dengan cimol pedas manisnya, kini Dhimas hanya bisa gigit jari. Suntuk, pemuda itu memilih untuk memantau sekitar. Ia menopang dagu dan mengedarkan pandangannya ke depan kelas. Sesekali melirik ke arah kursi yang dipakai Badrul. Tepat sekali Badrul berdiri dan melenggang keluar. Entah mau jajan atau ke toilet—persetan. Dhimas segera menarik kursi Adelia dan meletakkan tasnya di sana.
Sesaat berikutnya ia dikagetkan oleh suara denyit kursi di depannya. Matanya menangkap Nazma yang kini berbalik menghadapnya. Dhimas memundurkan sedikit tubuhnya. Kata Ayah, harus menjaga jarak aman dengan perempuan.
“Kenapa, Naz?”
“Lo kenapa, sih? Dari kemarin sendirian terus. Udah gitu diem aja, kayak lagi galau!”
Emang. Namun, bukan Dhimas kalau mengutarakan perasaannya secara gamblang. Maka ia menggeleng dan mengusahakan senyum tipis. “Nggak, kok. Lagi capek aja.”
Nazma mengangguk, berusaha mengerti. “Kemarin kenapa nggak les?”
“Nggak pa-pa. Lagi ada urusan aja di luar,” jawab Dhimas singkat. Ia tak menaruh curiga, mungkin Nazma bermaksud baik. Kalau ada Adel, mungkin gadis itu sudah menginjak kakinya keras-keras—atau meliriknya dengan tatapan membunuh. Sayangnya, Adelia lagi-lagi tak terlihat hari ini.
“Adel nggak masuk-masuk, tuh, ke mana, Dhim?” tanya Nazma tiba-tiba. “Ya, ada urusan juga, lah.”
“Masa, sih? Gue kira dia males aja...”
“Yeh, sok tau lo!” balas Dhimas pedas, namun tertutupi oleh tawanya. Seketika Nazma tertawa sok asik, mungkin ia menyangka Dhimas menanggapinya dengan candaan. “Lah, abis kata yang lain emang dia males lesnya dari dulu. Waktu itu juga pernah nggak masuk-masuk.”
Dhimas menghela napasnya. Kemarin-kemarin ia selalu menasehati Haris agar tak langsung menghajar orang-orang yang bermulut lancip terhadap Gia. Kini, Ia mengerti sekarang yang dirasakan oleh Haris. Beruntung Dhimas jauh, berkali-kali lipat lebih sabar dari Haris. “Udah, jangan ngomongin orang. Apalagi kalau nggak lo kenali dengan benar,” balasnya. Masih lembut untuk seukuran lelaki yang mulai dikuasai emosi.
“Oh, emang lo deket sama dia? Kenal bener-bener ya?”
“Ya, kenal. Orang temen les.”
Nazma berdecak. “Is, bukan gitu, Dhimas! Maksudnya lo deket sama dia?”
“Dia siapa, Naz? Sebut aja namanya emang kenapa, sih?”
Nazma berdecak (lagi). “Adel.”
“Kalau deket kenapa emangnya? Lo cemburu?” tanya Dhimas. Kesabarannya mulai surut.
“Biasa aja,” balas Nazma. “Orang cuma nanya, kok.”
Pertanyaan lo ngeselin, batin Dhimas. Sekon berikutnya Nazma menunjuk kursi Adelia dengan dagunya. “Lo sering banget naro tas di situ. Hak milik ceritanya?”
“Punya Adel.”
“Punya semua orang, Dhimas. Semua orang boleh duduk situ, sih, harusnya.”
“Punya Adel, Nazma. Adelnya nggak ada, jadi gue pake. Semua orang boleh pake, kan? Gue juga boleh berarti, kan?” sahut Dhimas. Mati-matian pemuda itu mengatur nada bicaranya agar tidak keluar bentakan. “Dari tadi pada diem aja, giliran gue udah taro tas gue baru lo semua ribut. Kenapa, sih? Ada apa, sih?”
“Lo pada emang nggak suka gitu sama Adel apa gimana?” tembak Dhimas. Lama-lama kesal juga. Kalau dipikir-pikir, memang Adel tidak banyak mengobrol dengan anak-anak sekelas yang lain. Hanya Dhimas dan Badrul yang menjadi teman bicaranya di kelas. Entah apa alasan mereka.
“Sorry to break it to you, tapi gue denger—Adel, tuh, pernah jadi selingkuhan.”
Gerakan Dhimas terhenti. Rahangnya mengeras hingga giginya bergemeletuk. “Sekali lagi ya, Naz. Jangan—ngomongin orang yang nggak lo kenali dengan benar.”
Pemuda itu berucap dingin dan tajam. Ia menatap mata Nazma sengit—tanpa berkedip, sampai ucapannya selesai dengan baik. Dapat ia lihat Nazma sedikit mundur. Bagus, lah, kalau perempuan itu takut. Dan sumpah demi Tuhan, Dhimas akan lebih memaklumi Haris kalau-kalau pria itu kembali meninju orang yang mencemooh Gia di hadapannya.
“Oke, okee. Maaf.”
Dhimas membalasnya dengan lirikan malas. Tidak akan ia maafkan. Setidaknya, inginnya begitu. Tetapi hatinya begitu bersih hingga tak akan pernah menaruh dendam pada siapa pun. Awan hitam yang tadinya mengepul di atas kepala Dhimas sudah mulai pergi. Sayangnya, Nazma kembali buka suara.
“Tapi lo tau, Dhim?”
“Apa?”
“Adel pernah jadi selingkuhan?”
Lagi-lagi Dhimas membuang napas gusar. “Naz, tau nggak? Kalau pikiran lo kayak gitu, mau gue ceritain sampe satu buku tebel faktanya gimana juga lo nggak akan mau terima. Soalnya emang pikiran lo yang jelek. Emang lo yang dari awal mandang Adel jelek. Dari tadi gue dengerin lo ngomong aja, yang keluar dari mulut lo, tuh—semua hal yang ngejelekin Adel.”
“Lo ke sini, duduk di bangku ini, setiap hari ngedeketin gue, cuma mau ngulik informasi tentang Adel doang apa gimana, Naz?” tanya Dhimas. Tidak membentak, namun begitu lugas dan tegas. “Terus kalau lo udah dapet informasinya, lo sebarluaskan dan lo gosipin sama temen-temen lo apa gimana, Naz?”
“Lo perempuan—tapi seneng gitu, ya—kalo liat perempuan lain yang menurut lo nggak setara sama lo itu hancur karena lo?”
“Gue nggak bilang Adel nggak setara sama gue, kok?” katanya merasa tidak bersalah. Dhimas terkekeh. “Emang enggak. Tapi gue nggak bego juga, sih, Naz. Dari awal lo masuk, lo selalu liat Adel dengan tatapan kasihan. Bahkan cenderung jijik. Apalagi kalau gue lagi berduaan sama Adel, lo selalu cari cara misahin. Gue cowok, Naz, tapi jangan kira gue nggak tau pikiran picik cewek-cewek kayak lo.”
“Sekali lagi ya, Naz. Toleransi gue terakhir buat lo. Jangan ngomongin orang yang nggak lo kenali dengan benar—apalagi, kalau orangnya Adelia!” tegas Dhimas.
Nazma terdiam. Seisi kelas terdiam. Dhimas pun terdiam karena tidak sadar telah meninggikan suaranya. Semua mata tertuju padanya dan Nazma yang berada di tengah-tengah kelas barisan paling belakang. Mengamankan situasi, Nazma segera mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja. Mengusir semua pasang mata itu.
Setelahnya gadis itu menatap Dhimas dengan tatapan canggung. Dhimas juga heran, bisa-bisanya Nazma tak gentar.
“Oke, gue minta maaf, Dhim.”
“Tadi juga maaf lo nggak bertahan lebih dari lima detik.”
“Maksud gue nggak gitu, Dhim. Gue, kan, anak baru. Gue denger dari anak-anak sini juga rumor kayak gitu. Makanya gue tanya lo, buat memastikan. Maaf kalau cara gue salah dan bikin lo marah, tapi gue nggak bermaksud begitu...”
Dhimas mendongak terkejut. Apakah ini berarti dirinya yang salah?
“Sorry,” ucap Dhimas, “gue berarti yang salah. Lama-lama kebawa emosi sampe bentak lo gitu.”
Nazma tersenyum manis, menggeleng setelahnya. “It's okay.”
“Gue juga mau temenan sama Adel, kok, Dhim. Tapi kayaknya dia yang nggak suka gue, sih? Berasa soalnya, sedikit...”
Dhimas menggeleng pelan. “Adel nggak gitu, kok. Coba aja, ajak ngobrol pelan-pelan. Adel baik, Naz. Lo aja yang belom kenal. Kalo belom kenal emang Adel keliatannya galak, padahal nggak juga.”
Nazma terkekeh pelan. “Nggak juga? Berarti ada iyanya?”
Dhimas ikut tertawa pelan. “Ya, ada... Dikit. Tangguh dia, tuh.”
Nazma mengangguk-angguk. “I see,” katanya. “Maaf ya sekali lagi kalau pertanyaan-pertanyaan gue bikin lo emosi.”
“Gue yang minta maaf.”
Hening sesaat. Nazma menatap Dhimas tanpa berpaling sedikit pun. Sementara Dhimas canggung sendiri. Pemuda itu memilih untuk kembali meraih ponselnya, beralasan untuk melirik jam digital di layar kunci. Hingga Dhimas kembali terpaku saat jemari halus Nazma menyugar rambutnya yang berantakan.
“Marah-marah sampe berantakan gitu rambut lo, Dhim,” ucap Nazma. Dhimas tak langsung merespons, pemuda itu terdiam selama beberapa detik.
That's it. Dhimas meletakkan ponselnya di meja lipat yang bersatu dengan kursinya. Memundurkan tubuhnya hingga ia bersandar pada kursinya, kemudian Dhimas meluncurkan kekehan sinis.
“I see where you are gong.”
Lagi-lagi Dhimas mengakhiri ucapannya dengan lugas. Dengan suara pelan, namun nada yang lebih dingin dari sebelumnya. Sekon berikutnya, Dhimas pergi. Persetan dengan kegiatan belajar mengajar yang akan dimulai lima menit lagi. Persetan dengan Nazma dan segala yang direncanakannya. Persetan dengan seisi kelas yang setelah ini akan memandangnya buruk.
Yang ia pedulikan dan pastikan hanya satu—
“Jangan ada yang mindahin tas gue dari kursinya Adel!” . . .
Bahwa kursi milik Adelia akan selalu terjaga. Tak akan pernah dicuri orang lain, atau di-hak-miliki orang lain secara terang-terangan. Sebab menurut Dhimas, apa yang sudah Adelia tempati, adalah milik Adelia. . . . . . Kursi—dan hatinya.