He's (Un)Sure
Masih bersisa senyum kecil di ujung bibir Dhimas setelah ia membaca pesan terakhir Adelia. Pemuda itu bahkan tak tahu apa yang diwakili seulas senyumnya barusan. Kepuasannya karena berhasil menjahili Adel, atau justru perasaan yang kini terus menggelitik perutnya. Dhimas terkekeh setelahnya, menertawakan dirinya sendiri. Mungkin benar kata Ita, apa yang sedang berusaha ia hindari itu sama sekali tak bisa ditampik keberadaannya.
Mendadak wajahnya murung. Banyak elemen tanda tanya merasuki otaknya sekarang. Ucapan Aghni yang ia terima lewat ponselnya itu membuat Dhimas berpikir lebih keras.
Yang biasanya ahli dalam beginian kan elu, kenapa skrg lu malah kayak clueless gini?
Benar juga. Harusnya Dhimas tidak berbangga ketika teman-temannya menyematkan predikat dokter cinta—atau bahkan ahlinya dalam masalah percintaan, sebab nyatanya, ia pun sama bodohnya. Bahkan mungkin lebih bodoh dibanding yang lain.
Helaan napas menguar dari satu-satunya insan di ruangan. Matanya terpaku pada layar ponsel yang kini hitam sebab terkunci otomatis. Asik melamun, dunia pun jahil membawakannya seorang Haris yang datang menggebrak pintu sekaligus kesadaran Dhimas.
BRAK!
“Woi, ketumpek! Tanda tangan lagi, dong! Yang kemaren direvisi lagi. Gue sebel banget, anjing! Om lu, tuh!” umpat Haris. Pria jangkung itu dengan tergesa meraih kursi kosong di sebelah Dhimas, tak lupa melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Emosi jiwa raganya, pening kepalanya sehabis berdiskusi dengan kesiswaan perihal proker melantik anggota OSIS/MPK yang baru. Mengernyit adalah respons pertama lawan bicaranya, “Siapa om gue?”
“Indra.”
“AMIT-AMIT!” sahut Dhimas spontan, memantik kekehan ringan milik Haris. “kenapa lagi emangnya yang kemarin?”
“Suruh ganti tema, coba! Orang gila emang, tuh. Untung Pak Asep sekarang bae sama kita, Pak Asep yang bilang nggak usah ganti tema. Suruh kembangin lagi aja penjabaran tema yang kemarin, lagian mana cukup, sih, waktunya kalo harus ngulang lagi dari awal anjir!”
“Freak, anjir, si Indra. Ada dendam apa ya itu orang sama kita?” balas Dhimas, “lagian lu aneh juga, sih, Ris! Ngapain ngajuin proposal pas ada dia?”
“Jeeh, tadinya gue cuma mau diskusi sama Pak Asep. Nanyain udah bener apa belom sekalian minta tanda tangan, biar besok pagi udah bisa langsung ke Bapak. Tapi tiba-tiba Pak Indra dateng terus ikut-ikutan. Sebel banget gue jadinya,” kesal Haris lagi. “Itu barusan gue kerjain lagi langsung pake komputer kesiswaan, untung aja file-nya ada di HP gue. Gue kirim e-mail terus langsung gue edit, gue print.“
“Buru-buru banget apa?” tanya Dhimas seraya matanya fokus memindai setiap baris huruf yang tercetak di proposal. Di sebelahnya Haris mengangguk, “Iye. Mau nggak mau ngajuin ke Bapak harus besok, soalnya abis itu Bapak nggak ke sekolah sampe hari Kamis. Takut molor lagi, makanya disuruh selesain sekarang sama Pak Asep.”
Dhimas mengangguk paham. “Ya udah. Ini udah bener, kan, kata Pak Asep?” tanyanya yang disambut anggukan oleh Haris. “Gue tanda tangan, nih. Bae-bae jangan sampe ilang, mahal, nih! Besok-besok gue jadi artis lu akan gue kenain tarif satu tanda tangan maratusrebu“
“Makin liar aja imajinasi lu gue liat-liat,” canda Haris. Dhimas terkikik seraya menandatangani berkas di hadapannya. Otomatis Haris menampar bahu sahabatnya itu pelan, “Jangan ketawa mulu, anjir, muncrat ituu! Jorok lu!”
“Mane—ngarang, lu!”
Selesai membubuhkan tanda tangannya, Dhimas menyerahkan kembali proposal ke tangan Haris. Bersamaan dengan itu, ponsel Dhimas yang tergeletak di meja itu bergetar. Layarnya kembali menyala, menampilkan notifikasi dari sebuah nama yang lantas membuat Haris menatapnya tajam.
Delia Dhimmmmm Ini koma berapaaa kurang keliatan heuheuehe
Takut-takut, Dhimas menatap Haris yang menatapnya intens. “Sejak kapan lo chat-an sama Adel? Rutin lo ngobrol sama dia?”
“Tuker-tukeran soal doang—eh, maksudnya gue bantuin dia ngerjain soal MTK. Terus di les-an gue jelasin, gitu.”
Haris tak menanggapi, pria dengan wajah dingin itu masih enggan menerima alasan Dhimas begitu saja. Sepersekian detik Haris memalingkan wajahnya, kemudian kembali menatap Dhimas seiring otaknya mengingat sesuatu. “Gue mau nanya, deh,” ucap Haris. Membuat Dhimas otomatis meneguk ludahnya sendiri.
“Lo suka sama Adel?” tembak Haris, “apa enggak?”
Tak ada respons langsung dari Dhimas. Pemuda itu hanya diam dan mati-matian menghindari tatapan Haris. Dhimas bahkan berkali-kali mengubah posisi duduknya, persis seperti orang yang sedang gelisah. Melihat gelagat itu, Haris otomatis tersenyum miring. “Gue ganti, deh, pertanyaannya. Lo suka, ya, sama Adel?”
“Nggak.”
Haris tertawa meremehkan, “Kalo lo beneran nggak suka, lo nggak akan gelisah milih jawaban untuk pertanyaan gue yang pertama.”
Shit. Haris dengan mulut tajamnya itu akan selalu ampuh memecut kesadaran siapapun yang mendengarnya. “Apa, sih, yang bikin bingung?”.
”.... Banyak.”
Sontak Haris mengangguk. Sejahat apapun mulutnya, Haris masih punya hati nurani. Si antagonis ulung itu pun menangkap sorot mata Dhimas yang berubah sendu. “Emang lo pikir ini masuk akal, Ris?” tanya Dhimas tiba-tiba. “Gue aja nggak paham. Kayak—maksud gue, gue aja baru banget kenal dia? Apa ya, Ris—” ucapannya terhenti sesaat ketika empunya membasahi bibir, pula memilah kata dan resah yang ingin ia utarakan, “nggak tau. Bener-bener nggak masuk pikiran gue. Gue juga jadi takut salah langkah, lagi.”
“Paham,” ujar Haris. “Gue cuma mau bilang—jangan deketin Adel kalo lo sendiri masih unsure sama perasaan lo. Karena... Pasti ujungnya juga nggak akan bagus buat lo berdua, ini gue ngomong sebagai temen lo, juga temen Adel.”
Dhimas terdiam menyimak setiap tutur Haris. “Kalo soal nggak masuk akal—ya, emang lo pikir, gue suka sama Gia itu sebelumnya pernah terpikirkan di otak gue, kah? Sampe sekarang aja kadang gue masih suka amazed kalo pacar gue, tuh, orang kayak Gia,” lanjut Haris, “nggak semuanya perlu masuk akal, ege, Dhim. Tapi lu jadi cowok, tuh, kalo mau ya mau. Kalo enggak, ya enggak! Jangan maenin temen gue lu ya! Gue bom rumah lo ntar!”
“Apaan, sih? Galak lu!”
“Ya, iya, lah! Orang klemar-klemer kayak lu itu emang pantes digalakin!” ucap Haris. Setelahnya ia bangkit seraya merebut kembali proposal yang tergeletak di meja. “Udah, ah! Gue mau ke Pak Asep lagi. Jangan kebanyakan bengong, apalagi mikirin temen gue. Kesambet lu!”
“Paan, sih.”
Haris menampilkan senyum jahil, “Halah, suka kan lu sama Adel?”
“Paan, sih?” elak Dhimas. Sedetik kemudian ia kembali memanggil Haris, membuat temannya itu mengurungkan niatnya meraih kenop pintu.
“Ris,” panggilnya. . . . . . . . “Kalo iya, gimana?”