He's Home
Dhimas melangkahkan kakinya menuju kamar tempat sang ibu dirawat dengan tergesa sekaligus semangat. Tak sabar kembali berjumpa dengan ibunya yang selama ini terbaring lemah di rumah sakit. Pemuda itu terpaksa masuk sendirian, jam besuk yang memang sudah habis membuat teman-temannya tak bisa turut menemani.
“Mama!” panggilnya. Wanita yang terbaring itu menjawab panggilan sang anak dengan senyum tipis di wajahnya yang tetap ayu meski terdapat luka kecil.
Dhimas terperangah, rupanya ia tak salah mendengar. Mamanya benar-benar sudah sadar dan kini tersenyum padanya. Dhimas masih terpaku kala mamanya membentangkan tangan lebar-lebar untuk menyambutnya ke dalam pelukan.
“Sini,” ucap mamanya. Membuat Dhimas kembali tersadar. Air matanya jatuh lantaran terlalu bahagia, dengan segera ia menghambur ke pelukan sang ibu yang selama ini ia rindukan.
Dhimas kembali menangis, semakin keras tangisannya kala mendapati usapan halus sang ibu pada punggungnya.
“Dhimas.. Mama nggak pa-pa, Sayang.”
“Nggak pa-pa gimanaaaa? Mama kebiasaan! Orang udah jelas sakit bilangnya nggak pa-pa mulu!” Dhimas menjawab disela tangisannya.
Mamanya terkekeh pelan, sembari menahan sakit, wanita itu membelai rambut anaknya seraya berkata, “Sama kan, Dhimas juga gitu.”
Dhimas terdiam. “Kok gitu sih, Mama?”
Mamanya tak menjawab, hanya kembali mengulas senyum tipis. “Dhimas ke sini sama siapa?” tanyanya dengan suara pelan.
“Sama anak-anak. Ada Damar, Haris, Ojan. Tapi pada nggak boleh masuk soalnya jam besuknya udah abis. Jadi pada nunggu di bawah.”
“Haduh, pada baik baik banget ya temenmu.”
Dhimas mengangguk, “Tadi sore juga Aghni ke sini. Bawain Dhimas makan. Terus abis Dhimas suruh pulang dia balik lagi sama Om Aji. Bawain makan malem.”
Mamanya terkekeh sebisanya, “Kangen juga deh Mama sama Aghni.”
Mendengar itu, Dhimas mendelik tidak suka. “Anak Mama siapa sih?”
Sambil tersenyum manis, ibunya menjawab, “Dua-duanya kesayangan Mama.”
Dhimas lagi-lagi terdiam. Namun, kali ini diamnya mengarah pada hati yang lega juga kian menghangat.
Dhimas tak mengingat hari lantaran sudah lama tidak masuk sekolah. Namun yang pemuda itu tahu, hari ini menjadi hari paling baik dalam hidupnya.
Entah dengan alasan apa, atau sebagai imbalan amal baik yang mana, Tuhan hadirkan bahagia berkali lipat untuknya hari ini.
Seperti manusia di tengah lautan, hari-hari lalu Dhimas tak punya pegangan. Hidupnya bagai terombang-ambing, diterpa arus yang kuat dengan tenaga miliknya yang tak sebanding. Seperti manusia di tengah hutan, hari-hari lalu Dhimas tak tahu arah. Dhimas tak tahu jalan pulang.
Yang ia tahu adalah dirinya dalam bahaya. Nyawanya seakan bisa meninggalkan tubuhnya kapan saja. Dhimas sendirian, dengan ketakutan melebihi kapasitas yang dapat ditanggung dirinya sendiri.
Namun hari ini, Dhimas kembali miliki teman. Dhimas kembali terima pelukan paling hangat, Dhimas kembali terima ucapan kasih sayang yang tulus terucap untuknya.
Dalam hati ia bersyukur, selain kondisi sang ibu yang membaik, beban dalam hatinya turut sirna. Pun, Dhimas bersyukur atas keberadaan teman-temannya. Yang tanpa beban, bahkan dengan semangat ikut mengantarnya kembali ke rumah sakit untuk menemui ibunya atau yang datang seorang diri menjumpainya dan membawakannya makan siang.
Dhimas kembali berbahagia. Karena hari ini, Dhimas kembali temukan jalan pulang.