Her Mother's Good Karma
Adelia's POV
Maybe i blame my mother bleeding into my stride. Maybe it was my father and his wandering eyes.
Hi, this is Adelia speaking. Dhimas udah tidur, probably. Dan gue belom tidur—nggak bisa tidur. My life flashes before my eyes, dan emang biasanya terjadi di jam-jam segini. Makanya gue suka begadang, ya ... Karena itu. I was thinking, dulu rasanya gue susah banget buat dapetin that so called cinta. Sampai-sampai gue merasa bahwa gue adalah seorang pecundang. Untung aja ada Haris, dia lebih pecundang lagi dari gue. Nggak, deng, itu barusan gue mendoktrin diri sendiri.
Have you ever been ignored by the one you had crush on? Cause trust me, i have. Always been.
Now let me tell you stories, about my father's bad karma.
Dulu, waktu SMP, gue sama dengan anak-anak yang memasuki usia remaja pada umumnya. Mulai centil, mulai mikirin jerawat, mulai mikirin ... Cowok mana yang bisa gue miliki. Singkat cerita, gue mulai menemukan seseorang. Namanya Rafi. Anaknya pinter banget, ikut paskib—dipilih karena ganteng dan postur tubuhnya yang bagus. Rafi sekelas sama gue pas kelas 7, gue suka dia diam-diam karena super pinter. Rafi ini, mirip Dhimas. Sama-sama suka bantuin orang, mereka pinter tapi nggak sombong. Gue, yang masih sama bodohnya kayak sekarang, termasuk salah satu yang dibantu dia.
Tapi gue sama sekali nggak pernah manfaatin kebaikannya untuk kepentingan modus. Gue beneran nggak ngerti dan gue beneran mau minta tolong. But fuck puberty and those hormones yang membuat lu bisa suka sama orang, gue jadi suka salah tingkah kalau Rafi nolongin gue ngerjain tugas. Rafi mungkin nggak menangkapnya dengan jelas, tapi seisi kelas yang lain menangkapnya. Mereka jadi suka ngeledekin gue dengan lirikan mata. Tapi, entah siapa yang laporin perasaan gue itu ke Rafi. Suatu hari, tiba-tiba gue jadi kayak kriminal yang ketangkap basah.
“Raf, boleh nanya nggak?” Gue menghampiri mejanya yang udah penuh sama manusia-manusia lain. Pemuda itu mendongak menatap gue, dia terpaku. Gue juga, posturnya itu memang paling bagus di antara yang lain. Duduknya aja tegap, bener-bener sikap seorang penjuru. “Ini nomor tiga gue udah sampe sini, bener nggak?” tanya gue.
Tiba-tiba, raut wajahnya berubah. Tiba-tiba dia jutekin gue, nyuekin gue gitu aja. Tapi, tepat sehabis itu, ada temen-temen cewek gue yang lain yang juga berdatangan ke mejanya Rafi. Dan dia merespon ramah. Saat itu gue tau kalau emang cuma gue yang dianggap nggak ada.
Gue nggak pernah ngobrol sama Rafi lagi semenjak itu. Nilai gue mulai anjlok karena nggak ada yang bisa gue tanya di kelas. Mulai ketolong lagi ketika Haris tau dan marah-marah, katanya kenapa nggak nanya dia.
Yang kedua, namanya Julian. You guys already knew about him, aren't you? Manusia paling kek tai, might i add. He's what i called my father's worst karma. Gue selalu merasa gue harus menanggung akibat dari ulah Papa ke Mama. Balasannya numpuk di gue, dan diantarkan oleh Tuhan lewat orang ini. Dia mempermainkan gue seenaknya, making me the backburner of all time. To the point i burnt alive.
Tapi, sekarang-sekarang ini, gue merasa bahwa sedang ada yang bersahutan di hidup gue. It's like my father's bad karma vs my mother's good karma. Yep, Mama selalu baik. Mama nggak pernah balas kelakuan Papa sejahat apapun itu. Fokus Mama hanya gue, selalu gue. Mama memutuskan untuk cut off Papa juga demi kebahagiaan gue. Mama pernah bilang, bahwa beliau selalu melangitkan doa agar anak perempuan satu-satunya yang tidak tau diri ini, bisa ngerasain bentuk cinta yang seindah-indahnya.
Strange, i would say. But i bet you guys know already. Dhimas is what i called my mother's good karma. Apa yang selama ini Mama tahan sakitnya, apa yang selama ini Mama pendam lukanya seberat apapun beliau ingin membalas, dibayar tuntas lewat orang ini. Gue pernah bilang bahwa kehadirannya terasa kayak pelukan hangat untuk diri gue di masa lalu. Dhimas mematahkan semua hal buruk yang pernah dilemparkan orang-orang ke gue.
Dulu, gue pernah ditinggal di pinggir jalan sama Julian karena gue minta mampir ke suatu tempat, tapi katanya terlalu jauh untuk puter balik. Alhasil gue jalan kaki, dan dia ninggalin gue gitu aja. Sekarang, Dhimas willingly mesenin gue ojol dan minta maaf berkali-kali karena dia batal jemput walaupun dengan alasan yang jelas. Not to mention Dhimas yang keluar lagi malem-malem dengan wajah pucat dan tangan dingin untuk nyari gue ke seluruh penjuru waktu gue “kabur”.
Dulu, Julian akan straight up ngatain gue, marahin gue, dan ngusir gue kalau-kalau air mata gue turun barang setitik. Meskipun ketika gue nangis karena kesalahannya. Sekarang, Dhimas stood there, telling me to calm down, calmly.
Dulu, Julian nggak akan segan-segan maki-maki gue kalau gue menuntut kehadirannya. Julian akan bilang bahwa gue perempuan paling posesif sedunia setiap kali gue cemburu. Sekarang? Hey, young Adelia would cry out loud knowing that the older Adelia has someone who's really considerate about her feelings. Yes, baby girl, we have Dhimas.
Kehadiran Dhimas menjawab dan memenuhi semua aduan Adelia yang dulu kepada Adelia yang lebih dewasa. Easy there, little girl, love has become easier these days. And we started to have this kind of love we've been manifesting. Sumpah demi Tuhan, rasanya bentuk cinta paling baik yang didoakan Mama pun tiba akhir-akhir ini. Entah seberapa lama, tapi semoga dia bertahan paling lama. Because i want to experience this in such a long time.
Katanya cinta itu bertaruh. Well, baby, i'm all in. Gue mulai nggak takut lagi sekarang. For here comes my mother's good karma. . . . . . . . Or maybe—because even in the hardest of circumstances, he made love feels so easy.