Glimpse of The Past
Adelia mengetuk-ngetukkan kakinya gelisah. Entah sudah berapa menit berselang, Haris tak kunjung datang. Perutnya sudah meronta, asam lambungnya mulai bergejolak lantaran makannya tertunda akibat si motor jadul yang mogok mendadak. Segala cara sudah ia kerahkan, beberapa orang pun sempat berhenti dan membantunya. Namun tetap saja tak membuahkan hasil. Berujung ia kembali ditinggalkan sendirian.
“Mana lagi si Haris? Lama banget, berangkatnya dari Ujung Kulon apa, yak!?”
Speaking of the devil, lelaki dengan tinggi menjulang itu tiba. Tetapi ia tidak sendiri, melainkan kompak dengan teman-temannya. Termasuk Dhimas. Rasanya Adel ingin mengumpati Haris tepat di wajahnya. Bisa-bisanya ia membawa Dhimas untuk kembali menemui Adel di tengah situasi memalukan seperti ini.
Haris datang dengan wajah penuh sumringah, pasti besar niatnya untuk mengejek Adel habis-habisan. “AHAHAHAAA, kasian banget, sih, di pinggir jalan. Kenapa, Neng, motornya, Neng?”
PLAK! “ANJING LU! LAMA BANGET DARI MANA, SIK!? TOLONGIN GUE DULU!” ujar Adel setelah satu pukulan mendarat di lengan Haris. Pemuda itu masih setia tertawa geli. “Kenapa lagi, sih? Mati? Bensinnya ada nggak?”
“Full, anjir! Gue selalu isi bensin dengan benar!”
“Perasaan udah gue bawa ke bengkel dengan benar,” balas Haris. “Abang bengkelnya kali nggak bener, tuh! Muka lu jangan kayak orang kaya banget makanya, nanti dikadalin mulu!” sahut Adel.
“Goblok!” umpat Haris. “Ya udah lu balik sana! Ini gue yang urus nanti,” usulnya lagi.
Adel mendelik tajam pada Haris, memandanginya dari atas ke bawah. “Lah, gue pulang pake apa, Ris? Motor gue—”
“Sama gue, Del,” potong Dhimas. Otomatis Adel menoleh ke arah Dhimas. Gagal sudah upayanya untuk mengabaikan Dhimas. Gadis itu memandangi Dhimas bingung seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Melihat Adel terpaku, Dhimas kembali bersuara. “Mau langsung pulang apa nyari tempat buat lo makan dulu? Sakit banget nggak perutnya? Asam lambung beneran?”
“Kalo belom kebakar perutnya, mah, masih santai dia, Dhim,” cibir Haris. Membuat Adel memukulnya sekali lagi.
Damar ikut nimbrung dengan kekehan halusnya. “Cari tempat buat makan aja dulu, Dhim. Takutnya nanti keburu parah. Lo juga tadi belom sempet makan, kan?” ucap Damar, kode. Dan berhasil membuat sudut bibir Dhimas berkedut. Andai saja tidak ada Adel, mungkin Dhimas sudah bilang i love you terang-terangan.
“Dam, gue bawa motornya. Lu yang stut, ya!” ujar Haris. “Lah, terus gue ngapain? Ikut Dhimas?” tanya Ojan menunjuk diri sendiri.
Haris berdecak. “Duduk manis aja lu, mah. Jangan merusak tatanan alam semesta,” ucap Haris. Memancing tinju dari Ojan pada bahu kirinya. Tak ingin berlama-lama, ketiga pemuda itu kemudian melakukan aksinya. Meninggalkan Dhimas yang masih terdiam di posisinya, sama dengan Adel.
“Ayo, Del,” ajak Dhimas. Tak ingin terdampar sendirian di jalan raya lagi, Adel segera menjawab ajakan Dhimas. Keduanya kemudian melaju pelan setelah memakai helm dengan benar. Bukan modus, melainkan jalanan cukup ramai sore itu. Mungkin karena jam pulang kerja.
“Lo tadi lagi maen, Dhim?” tanya Adel. “Hah?” sahut Dhimas. Kali ini sengaja, agar Adel tak duduk terlalu jauh.
“LO TADI LAGI MAEN?”
“HAH?”
“NGGAK JADI!”
Dhimas membalasnya dengan tawa pelan. “Iya, lagi maen. Terus tiba-tiba Haris bilang lo terdampar di tengah jalan.”
“Sorry ya, Dhim. Jadi ganggu lo semua. Gue nggak tau mau minta tolong siapa lagi soalnya selain Haris,” balas Adel. Pemuda itu lagi-lagi tertawa. “Santai, Del. Itu juga tadi udah pada mau pulang, cuma kebetulan Haris bilang gitu. Ya udah, sekalian.”
“Mau makan di situ aja nggak, Del?” tanya Dhimas lagi. Memecah lamunan Adel. Seketika Adel menyadari keduanya melewati sebuah taman yang cukup ramai, dengan banyak tempat duduk mumpuni untuk menghabiskan makanannya. Sontak Adel mengangguk, menyetujui inisiatif Dhimas.
Efisiensi waktu, Dhimas memarkirkan motor dan segera mencarikan tempat duduk untuk Adel. Keduanya kini duduk berhadapan. Lampu gantung taman yang mulai menyala di tengah langit yang mulai menggelap itu membuat keduanya diam-diam meromantisasi hidup. Untuk sesama pejuang cinta yang berakhir kalah, sesekali memenangkan hari tak apa, kan?
“Makan, Dhim,” tawar Adel. Gadis itu kemudian meng-unboxing makanannya setelah Dhimas mengangguk. “Makan aja, gue nantian.”
Sekon berikutnya Dhimas memilih untuk memainkan ponsel. Membalas pesan Haris yang meracau posesif. Sesekali Dhimas tertawa membaca pesan Haris yang terlihat seperti bocah. Dan tentu saja tawanya mengundang rasa penasaran Adel. “Kenapa lu ketawa-tawa sendiri? Lagi chat-an sama cewek lu ya? Eh, marah nggak dia lu jalan sama gue begini? Nanti gue dikata-katain lagi.”
“Hah? Cewek apaan? Ini gue membalas pesan satpam lu,” sahut Dhimas seraya menunjukkan bukti ucapannya. Adel ikut tertawa, “Satpam banget?”
“Abis posesifnya nggak ketulungan. Kayak gue mau ngapa-ngapain lo aja,” balas Dhimas. “Tadi juga pas mau nyamperin lo, malah gue dilarang ikut. Akhirnya boleh gara-gara Damar menjabarkan logikanya.”
Lagi-lagi Adelia tertawa seraya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Emang begitu orangnya. Sorry, ya.”
Dhimas menggeleng pelan, “Santai. Gue juga tau, kok, Haris kayak gimana.”
“Dia sama ceweknya gitu juga nggak, sih, kalau di sekolah?”
“Menurut lo?”
“Iya, lah. Apalagi ceweknya lebih muda juga. Gue yakin nanti kalau udah lulus juga Haris masih rela bolak-balik ke sekolah cuma buat ceweknya. Not that i don't like Gia, tho. She seems sweet. Sayang gue belom sempet ketemu dan kenalan langsung,” ucap Adel. “Tapi, gue kaget, sih, pas tau Haris tiba-tiba pacaran sama adek kelasnya.”
“JUJUR, IYA! ITU TAI BANGET!” sambar Dhimas. “Del, trust me, kita-kita temennya aja nggak tau.”
“HEH, GUE JUGA ENGGAK!! EMANG KURANG AJAR DIA TUH!!”
“LAH, LU JUGA NGGAK DIKASIH TAU!?”
Keduanya kini bertukar pandang. “Lu berani bakar rumah Haris nggak, Del?”
Seketika Adel menggebrak meja. Tubuhnya mundur dan tangan kanannya melepas genggaman sendok plastiknya. Ia menyelesaikan kunyahannya sebelum bicara. “Nggak berani. Nggak sanggup ganti ruginya,” balas Adel. “Kalau rusakin engsel pintu kamarnya gue berani.”
Keduanya lalu tertawa receh. Entah setelah ini keduanya harus meminta maaf atau berterima kasih pada Haris. Bagaimanapun, keberadaannya bisa menjadi topik yang kian mengikis jarak. “Tapi Gia cantik banget,” ucap Adel spontan, “manis anaknya. Lo kenal, kah, Dhim?”
“Kenal. Emang manis banget anaknya. Keliatan anak baik-baik gitu, sejujurnya gue kasian dia pacaran sama demon macem Haris.”
“YAHAHAHAH, DEMON, ANYING KESELEK!”
Dhimas ikut melepas tawanya. “Gue kenal Gia, tuh, karena gue kakak pembimbing kelompoknya pas LDKS. Barengan sama Haris. Sebelum itu gue juga tau Gia, sih. Dia temenan sama tetangganya temen sebangku gue. Ah, gitu, deh. Rumit. Intinya dunia ini sempit banget ternyata.”
“I see. Ini, kita berdua juga bukti dari dunia yang sempit banget. Gue kenal lo karena lo temen Haris, ternyata kita satu lesan,” balas Adel. “Rumit kalo dipikirin, tapi sejujurnya itu menarik.”
“Setuju,” balas Dhimas.
“Tapi, lo sama sebangku lo, tuh, pacaran?”
Bull's eye. Adelia menembakkan panahnya, tepat sasaran. Matanya menatap Dhimas tanpa berkutik. Mengharap jawaban yang tidak mengecewakan. “Enggak!” Pria itu menggeleng agresif, “temenan doangg. Temen sebangku gue itu pacarnya Damar.”
“OH? INTERESTING! Seru, ya, pacarannya kayak dari channel gitu berarti. Tapi, Damar nggak marah lu sebangkuan sama ceweknya gitu?” ucap Adel non-stop.
“Pernah, gue pernah berantem sama Damar. Tapi masalah eksternal aja, abis itu udah, sih. Nggak pernah berantem lagi. Damar bestie gue sekarang,” sahut Dhimas.
“Terus musuh lu siapa sekarang?”
“Haris, mungkin?”
“Kenapa?”
“Kenapa ya? Menurut lo kenapa?” balas Dhimas, sok penuh teka-teki. Namun Adel menyukainya. Sudut bibir gadis itu berkedut, matanya memincing seakan menangkap sesuatu yang lain. Namun keduanya hanya diam, membiarkannya tersimpan dalam diri masing-masing. Belum waktunya.
“Di sekolah, lo OSIS juga, Dhim, bareng Haris?”
“Gue MPK,” sahut Dhimas, “tadinya bareng tapi tiba-tiba dipindahin pas regenerasi. Beberapa temen gue juga ada yang dipindahin.”
“Ohh, keren. Apakah lu adalah kakak-kakak idaman masyarakat?” ucap Adel. Lagi-lagi Dhimas tertawa. “Enggak, Del. Gue orang biasa.”
“APAAN, SIHH, HAHAHAHAH. Kenapa, yaa? Tiap gue liat lo kayaknya vibes lo sedih banget, Dhim,” ujar Adel. Sementara menunggu jawaban Dhimas, Adel memilih untuk membereskan sampah makanannya. Di sisi lain, Dhimas mengerutkan keningnya. “Emang keliatan banget, kah!?” kesalnya. “Semua orang kayaknya bilang gitu ke gue, deh.”
“Ya... Keliatan...” Adel kini melipat tangannya di atas meja, duduk rapi dan bersiap mendengar cerita Dhimas lebih serius. “Besok gue totok aura aja apa ya, Del? Biar aura wajah gue makin cerah gitu.”
Adel terkekeh geli, sekon berikutnya ia melempar bola tisu kecil hasil karyanya ke wajah Dhimas. “NGARANG! Emang kenapa, sih? Maksudnya apa yang membuat lo dibilang begitu mulu? Ada legenda masa lalu, kah?”
“Ya... Ada...”
“Apa? Kenapa?”
Dhimas menghela napas pelan. Tubuhnya kini bersandar pada kursi. Kedua tangannya memainkan bola tisu yang tadi Adel lemparkan ke wajahnya. “Dulu, tuh, pas gue kelas sepuluh. Gue suka sama orang, Del, ceritanya. Ada, lah, namanya. Terus yaa, gue memulai pergerakan. Nah, dia, nih, terlihatnya menyambut pergerakan gue gitu. Terus gue jadi makin semangat dong? Gue pikir dia juga suka sama gue. Terus makin deket, makin deket, gue dapet kabar kalo dia mau pindah sekolah. Nah, gue jadi memanfaatkan momen yang tersisa gitu, lah, Del. Terus gue nyatain perasaan gue tapi ditolak. Ya, gue nggak marah, itu biasa, lah. Tapi yang bikin gue kesel banget, sakit hati banget, tuh, dia ternyata udah punya pacar, Del. Dia selama ini bukan menyambut pergerakan gue tapi cuma manfaatin gue doang, itu juga dia pindah sekolah karena nyusul pacarnya. Gue bener-bener merasa kayak orang bego. Gitu, deh. Sampe sekarang gue males ngurusin gituan. Awalnya, sih, nggak pa-pa. Tapi lama-lama suntuk juga, ye. Apalagi temen-temen gue sekarang semuanya punya pacar gitu.”
“Paham. Gue juga suka ngerasa gitu. Temen gue cuma dua, Haris sama Cipon. Dua-duanya sekarang punya pacar, kadang gue juga kesepian, sih.”
“Lo kenapa nggak pacaran? Boong banget, lah, kalo nggak ada yang suka sama lo.”
Kini giliran Adel yang menghela napasnya. “I don't trust men. I hate them, kecuali Haris.”
“Kenapa? Lo juga nggak suka gue, dong?”
“Sebentar, gue cerita dulu. Baru gue jawab pertanyaan lo,” ucap Adel. Butuh sedikit waktu untuk Adel menyiapkan diri mengungkit lukanya. “It all started with my father. Papa sama Mama cerai. Beda sama alasan pisah orang tuanya Haris yang emang dari internal, papa gue pisah sama mama karena dia nemu orang lain. Papa—selingkuh sama sahabatnya mama dari jaman kuliah. Mereka kenalannya di rumah gue btw, kocak banget, kan? Sahabatnya Mama ini emang udah lama sendiri, anaknya seumuran kita, perempuan juga. Gue suka main sama dia dulu, tapi emang nyebelin, sih. Apa yang gue pegang pasti direbut, tapi gue nggak nyangka dia juga rebut papa gue.”
“I'm sorry to hear that, nggak usah diterusin kalo lo nggak mah cerita, Del.”
Adelia menggeleng, ia masih kuat. “Terus gue jadi tumbuh dengan penuh kebingungan, kekosongan, tapi untung ada Haris. Nah, terus gue SMP, nih. Cakep banget gue pas SMP, lu pasti naksir, soalnya gue aja naksir. Gue deket sama cowok, Dhim, namanya Julian. Dia baik banget, bener-bener green flag pada masanya. Pokoknya dia berhasil bikin gue percaya kalo di dunia ini masih ada cowok baik-baik ceunah. Tapi kayaknya emang dunia ini nggak suka aja sama gue, tiba-tiba Julian kenal sama—itu, anaknya temen mama. Dan ternyata mereka emang udah pacaran lama, beda sekolah makanya nggak ketauan. Julian deketin gue kalo lagi berantem sama ceweknya aja. Sampe sekarang gue jadi memilih untuk jauh-jauh dari cowok. Gue jadi anti banget sama cowok.”
Dhimas masih diam dan menyimak. Sementara Adel melanjutkan bicaranya. “But it's different with you. Alarm gue, benteng gue, pager gue, semua yang membatasi diri gue dari apa yang seharusnya gue jauhi itu—ilang mendadak. They were never there. Gue juga nggak tau kenapa, i'm happy having you around.“
“Gue nggak sebaik itu, Del,” sanggah Dhimas. “Pasang aja alarm lo, pager lo, benteng lo. Buat jaga-jaga. Takut gue jadi bagian yang ikut bikin lo makin sakit lagi.”
“We'll see.”
Dhimas mengangguk pelan. “Jadi, lo nggak akan pernah mau pacaran, kah?” tanyanya.
Gadis di hadapannya itu mengerucutkan bibirnya. “Actually—i wanna be someone's pretty girlfriend too,” sahut Adel. Dan Dhimas tahu, gadis itu mengucapkannya dengan penuh harap.