COTY

“Woi!” panggil Aghniya. Membuat Damar kembali menoleh ketika ia sudah hampir sampai pada motornya.

“Segitu doang usahanya?” ejek Aghniya.

Damar mengerutkan alisnya, “Maksudnya?”

“Gue aja berhari-hari nggak berhenti-henti chat lo, lo ngusir gue tapi gue masih chat lo, walaupun lo melengos di sekolah gue masih nyapa lo,” balas Aghniya. “Gue baru nolak lo sekali, masa udah nyerah?”

Damar masih terdiam di tempatnya. Masih dengan kebingungan yang menyelimutinya. Baru saja ia merasa bagai ditimpa batu besar di atas kepalanya, namun kini secara tiba-tiba batu itu kembali terangkat.

Tatapan pemuda itu semakin bingung ketika Aghniya justru ikut bangkit dan menghampirinya. Setelahnya gadis itu memilih memeluk salah satu tiang penyangga rumahnya seraya tersenyum ke arah Damar.

“Padahal i won't last a day without you too tau, Dam.”

“Hah?”

“Nggak mau, nggak mau ngulang. Malu,” ucap Aghniya seraya menyembunyikan wajahnya di balik tiang penyangga itu. Membuatnya tidak menyaksikan Damar yang kini menahan tawanya seraya menutup mulutnya dengan buku jari tangannya.

“Woi!” panggil Damar setelah berhasil mengakhiri tawanya dalam sekejap.

“Apaaa?!” jawab Aghniya, masih dengan wajah yang bersembunyi.

“Liat sini dulu!” balas Damar.

“Nggak mau!”

“Sst sst, cewek!” canda Damar. “Nengok dong!”

“Aaaaaaaa Papaajiii aku digodainnn!” ucap Aghniya seraya tertawa.

“Aghni,” panggilnya.

“Aduhh, iyaa apa?” jawabnya. Pada akhirnya menghadapkan wajahnya ke arah Damar. Pantas saja gadis itu memilih menyembunyikannya, rupanya wajahnya sudah memerah menahan malu.

“Gue punya pertanyaan,” ucap Damar.

“Apa?”

“Lo mau nggak—kalo punya pacar kayak gue?” tanya Damar.

“Hah?” ucapnya terkejut. “kalo punya pacar kayak Damar? Mau,” jawabnya lagi.

Damar terkekeh geli, pun gadis di hadapannya. Keduanya kini saling menahan tawa, sama-sama berusaha sembunyikan bahagia yang membuncah dalam hati meski kupu-kupu di perut terus menggelitik tanpa henti.

“Kalo pacarnya gue, mau nggak?” tanya Damar.

Aghniya tertawa, masih dengan tangan yang setia memeluk tiang penyangga rumahnya. “Ini maksudnya lo ngajak gue pacaran apa gimana?”

“Gue menunggu izin tuan rumah,” balas Damar. “Boleh nggak gue masuk? Boleh nggak—gue jadi pacar lo?”

Aghniya memalingkan wajahnya untuk kesekian kali. Tanpa Damar ketahui, Aghniya menggigit jarinya sendiri guna menahan teriakannya. Gadis itu berkali-kali berusaha menetralkan jantungnya, juga tubuhnya sendiri yang gemetar. Ia mengibaskan tangannya, berharap supaya bisa merasa jauh lebih tenang. Setelah dirasa siap, Aghniya kembali menatap Damar yang masih menatapnya sejak tadi.

“Enggak.”

“Nggak boleh?” tanya Damar.

“Nggak nolak, maksudnya—ADUH MALUUUUUUU YA ALLAH GEMETERAN!!”

Damar tergelak menatap Aghniya yang sudah kembali bersembunyi. “liat sini dong, ei! Masa pacarnya di sini malah ngumpet gitu?”

“DIEM NGGAK?!” ucap Aghniya kembali membuat Damar tertawa girang.

Resmi sudah. Keduanya menjadi sepasang kekasih pada siang hari yang bersahabat. Mentari tidak terik, namun sinarnya cukup membantu keduanya menyalurkan keceriaan serta kebahagiaan yang baru muncul itu dengan baik. Keduanya kini saling tergelak, dengan tawa paling keras berasal dari Aghniya yang tak habis pikir dengan ide seorang Yudhistira Damar. Mulai dari dikejar naga, hingga presentasi pemuda itu.

Damar pun tertawa. Sejak pernyataan beserta pertanyaan itu meluncur dari bibirnya, baik dirinya sendiri maupun Aghniya, keduanya jadi lebih mudah tertawa. Meskipun tak ada yang lucu, keduanya tertawa. Wajar, mengingat cinta keduanya sempat layu ketika hampir bersemi. Namun kali ini, Aghniya bersyukur amat sangat, karena cintanya kembali.

Siang itu, seorang Aghniya Zhafira dan Yudhistira Damar tak henti-hentinya mengumbar senyum. Keduanya tak peduli meski kedua otot pipi terasa pegal. Suasana keduanya yang sempat canggung kini kembali mencair. Interaksi yang terlihat kaku dan malu-malu kini berganti menjadi suasana hangat selayaknya menyapa teman lama yang lama tak jumpa.

Dalam hatinya Aghniya mengakui, bahwa Yudhistira Damar benar-benar pantas menyandang predikat Crush of The Year sebagaimana yang ia sematkan selama ini. Mengingat bagaimana pemuda itu berhasil membuatnya menjadi manusia paling bahagia sedunia, kemudian membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya. Jatuh pada pesonanya, jatuh pada dirinya, pula jatuh dari ketinggian angan yang semakin lama tercipta sendiri. Hingga hari ini, gadis itu membali menjadi manusia paling bahagia sedunia.

Yudhistira Damar had always been her crush of the year. But he said he wants to be more than that.

So she changed it a little bit. From Crush of The Year,

to Boyfriend of The Year.

Setelah tawanya mereda, kini Aghniya kembali melihat ke arah Damar yang sudah lebih dulu menghentikan tawanya. Pemuda itu tampak tenang, menatap gadisnya dengan tatapan berbinar dan senyum lega.

“Ke rumah gue, yuk?” ajak Damar.

“Ngapain?” tanya Aghniya.

Damar menghela napasnya dengan sebuah senyuman terukir di wajahnya. “Kenalan sama Ibu.”

Balasan dari Damar membuatnya terperangah sesaat, sekon berikutnya ekspresinya berubah menjadi panik. “Eh, bilang Papaji dulu.”

“Udah, semalem gue udah izin Papa lo buat ke sini. Terus sama dia malah disuruh ngajak lo pergi,” balas Damar.

“Kok bisa?” tanya Aghni.

“Bisa, dong! Gue juga kompromi sama Zahra, sama Ayesha. Makanya mereka nggak ada yang mau lo ajak pergi,” ucap Damar.

“Niat banget?”

“Niat, lah.”

“Ya udah, ganti baju dulu ya?”

Damar hanya mengangguk seraya tersenyum. Setelahnya pemuda itu terkekeh menyaksikan kekasihnya yang melangkah riang masuk ke dalam rumah.

“Eh itu bawa masuk dong buah naganya,” ucap Damar. Gadis itu tersenyum malu, “Hehe, lupa.”

“Ini piala buat kamu karena menjadi anak baik selama ini,” canda Damar seraya tertawa.

“OMEJIIII, YA AMPYUN, MAKASIH YA! Amazing sekali ya Allah aku terharu,” balas Aghniya mengikuti alur candaan Damar. Sekon berikutnya keduanya kembali tertawa.

“Sana sana masuk, ganti baju!” ujar Damar.

“Bawel!”

Setelahnya gadis itu kembali masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian. Sementara Damar kembali duduk di kursi teras yang terdapat di rumah Aghniya, kursi yang sama dengan yang ia tempati tadi. Pemuda itu pada akhirnya kembali tertawa, masih tak bisa dipercaya bahwa kini tak hanya hubungan pertemanannya yang kembali. Justru keduanya menjadi lebih dari itu.

“She said that i've always been her crush of the year. Little did she know, all i ever wanted was to be with her. And make us the couple of the year.”

—Yudhistira Damar