Cimol, Tahu Sumedang, And A Good Laugh
“Lo biasa beli cimol berapa, Del?”
“HAH?“
Maklum, Dhimas dan Adel sedang berboncengan di atas motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Efisiensi waktu, kata Dhimas. Adel sampai harus mendekatkan wajahnya ke bahu Dhimas agar dapat mendengar suara pemuda itu dengan lebih jelas.
“LO BIASA BELI CIMOL BERAPA!?”
“Ohhh, tujuh ribu!”
“HAH??”
Yeh, pikir Adel. Sekarang malah Dhimas yang tidak mendengar suaranya. “TUJUHHHHH REEBUUUUU!”
“Hah, apa, Del? Lo mau jadi ibu—dari anak-anak gue?”
TPAK! Dengan sekali pukulan kuat, Adel menampar kepala Dhimas yang tertutup helm hitam mengkilap. Membuat pemuda itu mengaduh kesakitan sekaligus tertawa renyah. “Jangan pukul-pukul lu! Nanti kita jatoh berdua gimana?” tanya Dhimas.
“YA, ELU! MULUT LU DIJAGA!”
Lagi-lagi Dhimas terkekeh, “Kenapa, sih, emang? Lo salting?”
“Kalo iya gimana, Dhim—EH, EH! KENAPA LU OLENG!?”
“ADA BATU, ADA BATU!”
Adelia memundurkan tubuhnya perlahan, menjauh dari Dhimas yang sedang memegang kendali motor. Mata dan bibirnya otomatis memincing, siap untuk menyinyir. “Salting, kan, lo!?”
Dhimas hanya diam. Tanpa Adel ketahui pemuda itu meneguk ludahnya sendiri. Jawabannya memang iya, bohong jika Dhimas tak merasakan percikan yang sama dengan yang Adel rasakan di dalam dadanya. Tetapi entahlah, ada yang membuat Dhimas tak bisa sepenuhnya membuka diri untuk menerima percikan yang lebih besar.
Selang beberapa lama, keduanya sampai di sebuah ruang terbuka hijau khusus untuk bermain anak-anak. Di depannya banyak sekali gerobak kaki lima menjajakan makanan ringan. Cimol, adalah salah satunya. Maka Dhimas segera memarkirkan motornya, kemudian melepas helm miliknya dan meletakannya di kaca spion. Dhimas menoleh ke arah Adel, kemudian menunduk menahan tawanya lantaran melihat Adel kesusahan melepas pengait helm yang ia kenakan. Tuhan, rasanya tak habis-habis tingkah seorang Adelia yang patut ditertawakan.
“Sini, sini,” ujar Dhimas. Tentu saja segera membantu Adel melepas helmnya dan menyimpannya dengan rapi di jok motor. Setelah ini keduanya tak perlu lagi mengenakan helm, sebab jarak menuju tempat les tidak perlu melewati jalan besar.
“Makasih,” ucap Adel. Kali ini dengan napas tertahan. Ada yang bergetar di dalam dadanya. Benaknya yang selalu mendamba kisah romansanya sendiri itu pun mulai bertanya-tanya, Ini, kah, jawaban dari segala doanya?
Dhimas mengangguk pelan menanggapinya. “Lo tunggu situ aja, gue yang beli. Mau cimol doang atau dicampur kentang goreng?”
“Cimol aja.”
“Bumbunya?”
“Pedes manis.”
“Nggak usah manis kali? Senyum lo—”
“Gue tampol kalo diterusin!” ancam Adel dengan mata melotot dan kepalan tangan yang begitu mengancam. Maka Dhimas tak melanjutkan lagi ucapannya. Ia memilih berjalan menuju gerobak cimol dan memesankan untuknya dan Adel. Sementara Adel memilih untuk mencari tempat duduk yang teduh dan nyaman untuk keduanya.
Tak perlu menunggu lama, Dhimas kembali dengan dua plastik berisi cimol berbumbu dan sekantung tahu sumedang. Membuat Adel mengernyit heran, “Kok lo beli tahu sumedang juga, Dhim? Buat apaan?”
“Buat maen chubby bunny, ya buat dimakan, lah, Adelia!”
Adel mau tak mau tertawa. “Laper, kan? Jam-jam pulang sekolah, tuh, emang laper banget, Dhim. Tenaga lo terkuras habis buat mikir. Padahal di sekolah juga gue nggak mikir... tapi kayaknya, stress juga butuh tenaga.”
“Apa kata lu, Del,” balas Dhimas seadanya, sebelum menyuapkan sebutir cimol ke dalam mulutnya. “Lo sering ke sini?” tanya Dhimas lagi, di sela kunyahannya.
“Iya,” jawab Adel.
“Ngapain?”
“I don't know, this place is probably my hideout from everything. Kalo gue sedih, galau, pengen marah, pengen nangis, pengen sendiri? Gue pasti ke sini. Makan cimol,” jelasnya. “Lo punya tempat hideout juga?”
Dhimas mengangguk yakin. “Lapangan Banteng.”
“Jauh amat?”
“Emang itu tujuannya, kan? Menjauh dari semuanya?”
“I see, you got a point, tho.“
Lagi-lagi Dhimas memamerkan senyum manisnya. Not to mention pipinya yang semakin lucu karena menggembung mengunyah cimol. Membuat Adel gemas hingga ingin mencubitnya sampai merah. “Dulu gue silat, dari jaman SMP sampe SMA kelas sepuluh. Tapi abis itu udahan, soalnya gue males. Nah, latihannya di Lapangan Banteng. Gue di sana dari jaman masih tanah merah, sampe sekarang udah enak banget dan luas banget buat sekadar jalan-jalan. Gue suka banget bengong di sana terus liatin matahari tenggelem dari tribun. Keliatan jelas banget, lo kapan-kapan harus cobain.”
“Nggak, ah! Coba-coba takut ketagihan,” canda Adel. Memantik tawa keduanya untuk menguar lebih besar. “Gue di sini juga sama, sih. Tapi gue di sini lebih ke fulfilling something inside me gitu jiakh. Di sini, kan, suka banyak anak kecil main, somehow gue menyerap suara tawanya? Jadi energi baru buat gue. Gue seneng liatin anak kecil main, dialog mereka kayak ditulis sama penulis naskah ternama di Hollywood.”
“PFFFT! UCAPAN LU—selalu se-ngasal itu, kah?”
“IYA! Sorry not sorry, sih. Soalnya di otak gue emang banyak banget kosakata yang kayak minta dikeluarin. Jadi gue langsung spit it out aja, sih. Tapi herannya orang pada ketawa, padahal gue nggak berniat ngelucu,” balas Adel jujur.
“Tapi emang lucu, Del. Jujur, sih, gue sampe ngikik banget waktu pertama kali chat-an sama lo. Soalnya kayak, balesan lo, tuh, nggak kepikiran aja sama otak gue,” sahut Dhimas lagi.
“LAHHH, LU PIKIR BALESAN LU KETAKER OTAK GUE!?”
“TUHH, BAHASA LU! KETAKER!? Gue bahkan nggak kepikiran ada kata takar!” Dhimas berucap menggebu-gebu, pemuda itu bahkan menunjuk Adel tepat di wajahnya. “Lu lucu banget, Del, sumpah. Coba besok daftar masuk AKPOL!”
“Lah, nggak jelas. Orang lucu disuruh masuk AKPOL, harusnya lo suruh gue masuk ini ege—”
“Apa?”
“Pasukan penari api Dufan.”
“DEL—”
“Maaf,” ucapnya. Ada sebuah tawa yang benar-benar mendesak ingin keluar di antara keduanya, namun sama-sama tertahan lantaran masih ada makanan yang harus dikunyah. Sampai-sampai rahang keduanya sakit, namun keduanya tidak peduli.
“Mau nggak?” tanya Dhimas, menawarkan sebutir tahu sumedang yang juga ia beli. Cimol keduanya itu sudah habis tak bersisa. Rasanya teman bicara yang tepat pun membuat makanan enak lebih cepat habis.
“Nggak, makasih. Lo aja main chubby bunny sendiri,” balas Adel. Sekon berikutnya, Dhimas mengangguk dan menyuapkan tahu sumedang ke dalam mulutnya. Tidak langsung dikunyah, melainkan dengan sengaja diletakkan di pinggir mulutnya. Pipi kanannya yang sudah mengembang menggemaskan itu kian menggembung, setelahnya Dhimas mengatakan “Chubby bunny!“
Sontak Adel menoleh dan refleks menyemburkan tawanya. “APA, SIH!?”
“JEEEHH, TADI KATANYA SURUH MAIN CHUBBY BUNNY SENDIRI!?”
Adel tidak menanggapi, gadis itu masih harus menghadapi tawanya yang tak kunjung usai. Rasanya kecurigaan Adel terhadap Dhimas yang hadir untuk membuat hari-harinya lebih indah semakin kuat hingga hari ini. Sebab setiap kali pemuda itu—atau sekadar namanya hadir di depan mata, Adelia akan selalu mengembangkan senyumnya.
Satu, dua, empat tahu sumedang mulai memenuhi mulut Dhimas hingga kedua pipinya bagaikan membengkak seperti orang sakit gigi. Entah apa yang membuat Dhimas tetap melakukannya, mungkin iseng, mungkin penasaran, atau mungkin intentionally membuat Adel tertawa.
“Chubby bun—HOEK!“
“UDAH, ANJRIT! JOROK!”
Setelahnya keduanya terpingkal bersama. Dengan Adel yang menertawakan Dhimas, dan Dhimas yang menertawakan dirinya sendiri. Ulah siapa itu? Menggunakan tahu sumedang sebagai pengganti marshmellow untuk bermain chubby bunny? Sungguh sebuah aksi yang tidak dapat tertakar otak manusia, kalau kata Adel.
Tapi siapa yang peduli? Baik Dhimas dan Adelia, keduanya sama sekali tak menyesali apapun. Karena sore itu di bawah pohon teduh dengan sebungkus cimol dan tahu sumedang, they've shared a good laugh.