Cimol, A Proper Sorry, and Another Jealousy
Pemuda dengan sweater ungu pastel itu memasuki gedung bimbel dengan langkah ringan yang cenderung terburu-buru. Dhimas tidak telat, namun adrenalinnya memacu untuk berlari. Persetan jika ia terantuk anak tangga atau terguling sekalipun, dirinya lebih semangat mencari rosemary-nya. Matanya celingak-celinguk, sementara otaknya bekerja selayaknya penunjuk arah pada aplikasi navigasi otomatis. Ah, itu dia!
Langkahnya kembali tergesa ketika menangkap Adel sedang duduk di bawah AC, bukan di kursi tempat biasanya ia duduk. Dhimas menghampirinya, membuat gadis itu mendongak mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. Sepersekian detik, Dhimas menangkap binar ceria dari dua bola mata Adel. “Udah rapatnya?”
“Udah,” jawabnya. “Tumben duduk sini?”
“Mau ngadem doang, tadi panas di jalan. Itu—” kata Adel seraya menunjuk tasnya yang sudah ia taruh di kursi biasa. Sebuah totebag blacu dengan motif bunga lavender. Jangan lupakan ia sudah pulang tadi, maka gadis itu tak lagi mengenakan seragam maupun ransel sekolahnya. “Tas gue di sana.”
Ah, duduk di bawah AC merupakan sebuah ide yang bagus. Sejujurnya Dhimas pun kegerahan, entah mengapa jalan raya hari ini begitu penuh asap dan matahari masih terang menyala meski sudah sore. “Oh, ya udah. Gue juga di sini dulu, deh. Bentar, taro tas dulu biar nggak ada yang nempatin,” balas Dhimas. Pemuda itu lalu bangkit dan meletakkan tasnya di kursi yang bersampingan dengan milik Adel.
Adel mendecih, menutupi rasa senangnya agar tidak kentara. “Demen banget duduk sebelah gue?”
Dhimas terkekeh. “Kalo duduk sebelah yang lain, nanti yang ini kabur lagi,” katanya sambil menunjuk tas Adel. “Jadi, harus dijagain.”
“Mangnya gue ayam?”
Tak ada jawaban. Lagi-lagi Dhimas hanya tertawa. Sekon berikutnya, pria itu kembali dengan kantung plastik merah-putih di tangan kanannya. Menduduki kursi di hadapan Adel dengan tubuhnya mengarah pada gadis itu, Dhimas meletakkan kantung itu di meja. “Nih, cimol.”
“Hah?”
“Ini, gue beliin cimol. Tadi katanya lu udah kebayang cimol, kan? Ini makanya gue beliin. Tujuh ribu, bumbunya pedes manis. Bener, kan?” ujar Dhimas. Demi Tuhan, detik itu juga Adelia bersumpah bahwa air matanya sudah di pelupuk. Ada yang mengingatnya.
“Makasih banyak ya, Dhim!” seru Adel. “Duh, gue mau nangis jadinya.”
“Hah, kenapa? Salah? Lo nggak suka?” tanya Dhimas khawatir. “Apa lo masih marah? Gara-gara nggak jadi gue jemput ya, Del?”
Bukannya tenang, Adel justru menangis semakin deras. Lucunya, gadis itu menangis sambil menyuapkan satu persatu butiran cimol berbalur bumbu pedas manis ke dalam mulutnya. “Diem egeeeeee ngapain lu minta maaf muluuuuuuuu!? Gue makin kejer, nih, nantiii!”
“Hah? Eh, lu beneran marah ya?”
“Kagaaaaaaaakkk!”
“Gue beneran minta maaf ya, Del. Tadi beneran gue lupa, baru inget pas Haris bilang. Besok-besok gue nggak gitu lagi, akan selalu gue pastiin dulu bisa jemput lo apa enggak. Ya?” ucap Dhimas. “Udah, jangan nangis lagi, Del. Nanti disangka gue ngapa-ngapain lo, anjir!”
Adel masih menangis pelan. Gadis itu mengusak hidungnya dan berusaha berhenti menangis. “Sorry, that just came out of nowhere.“
Dhimas tersenyum, kemudian terkekeh setelahnya. “Abisin. Bawa minum nggak?”
“Bawaa. Lo ada minum?” tanya Adel. “Nggak ada, tadi diabisin temen gue. Gue ke bawah dulu, ya?”
“Ngapain? Minum punya gue aja nanti. Gue juga nggak bakal ngabisin sebotol sendiri.”
“Nggak pa-pa?” tanya Dhimas. Dan Adel mengangguk menjawabnya. “Ya nggak pa-pa, lah, emang kenapa? Sayang juga kalo nggak diabisin.”
“Sama kalo itu, gue juga sayang.”
“YEUUUUU, TAI KUCING!” balas Adel. Keduanya tertawa bersamaan, kemudian lanjut memakan cimol hingga seseorang lain datang. Itu Nazma, perempuan itu datang dengan rambutnya yang tergerai.
“Hai, Dhim,” sapanya. Dhimas pun membalas sekedarnya. Gadis itu kemudian menaruh tasnya di sebelah kursi yang sedang Dhimas duduki. Sengaja banget, pikir Adel. Tapi gadis itu tak lagi kesal, sebab toh, Dhimas juga tidak akan benar-benar duduk di sana.
“Lo tadi rapat apaan, sih, emangnya?” tanya Adel. “OSIS MPK, emang rapat rutin gitu tiap minggu.” Dhimas menjawab sambil mengunyah, membuat pipinya mengembang penuh. Adel bersumpah bahwa pemuda itu terlihat menggemaskan sekarang. Kenapa, sih, ya, nggak ditelen dulu? pikir Adel. Mochi man alert-nya berbicara.
“Rajin amat.”
“Nggak rajin, lah. Ini gue cabut buktinya,” balas Dhimas. “Emang nggak dimarahin lu sama ketua MPK lu? Kata Haris lu anak MPK, kan?”
“Iya, gue MPK,” jawab Dhimas. “Nggak, lah. Ketua MPK gue, mah, baik. Mantep banget dia orangnya, keren pokoknya!”
Adel memandang Dhimas dengan tatapan mendecih. Sejujurnya ia bingung mengapa pemuda mochi ini begitu bangga memamerkan ketua MPK-nya. Namun sayang, ketika ia ingin menanyakan lebih lanjut, seseorang menginterupsi pembicaraan keduanya. “Dhim, sorry boleh nanya nggak?”
Baik Dhimas maupun Adel otomatis menoleh ke sumber suara. Keduanya bertukar pandang, namun Adel memutus kontak mata lebih dulu. Apa boleh buat? Mana mungkin ia tega membiarkan Dhimas menolak sementara Nazma sudah berdiri di hadapannya dengan memegang sebuah buku paket Matematika dengan halaman terbuka dan soal yang sudah dilingkari. Alhasil Dhimas mengangguk. “Boleh, kenapa, Naz?”
Dan dengan begitu, hanya dalam hitungan detik, Nazma berhasil mengambil alih Dhimas dari seorang Adelia. Lihatlah, bahkan Dhimas melupakan cimolnya di meja Adel. Meninggalkannya dan membiarkannya tergeletak begitu saja, hingga seorang pengajar masuk ke dalam kelas.
Gadis itu menatap nanar sebungkus cimol yang masih tersisa beberapa buah. Mereka senasib hari ini. Maka Adelia bangkit, membawa sampah plastik miliknya dan cimol milik Dhimas yang masih bersisa. Gadis itu menghampiri Dhimas dan berucap pelan. “Punya lu, nih!”
“Abisin aja, Del!” balas Dhimas tanpa menoleh sedikitpun. Pria itu masih berusaha menjelaskan soal pada Nazma bahkan ketika sudah ada guru. Sekali lagi, Adelia merasakan kecewa yang sama.
Disebabkan oleh orang yang sama.