Cemburu
Entah sudah berapa kali Damar membuang napas seraya memijit batang hidungnya, pemuda berlesung pipi yang digadang memiliki sabar paling lapang itu bahkan nyaris menyerah menghadapi Aay. Gadis kecil itu memeriahkan suasana sejak sahur, bahkan Damar sendiri terkejut dengan kehadiran Aay saat pukul tiga pagi tadi. Secara tiba-tiba, Aay menerobos masuk dan lompat ke atas perut Damar yang masih melanjutkan tidur di atas sofa. Membuat Damar harus merasakan pening akibat terbangun secara tiba-tiba. Belum lagi, Damar harus meladeni Aay yang energinya bagai baterai dengan daya penuh. Rasanya kepalanya akan pecah sebentar lagi.
Setengah sepuluh pagi, Damar sudah terkulai lemas di sofa. Berbanding terbalik dengan Mazaya yang kini melakukan pentas kecil-kecilan di depan televisi. Setelah menghabiskan berepisode-episode seri Masha and The Bear, Aay kini memutar lagu-lagu dari film Frozen dan menari tanpa henti.
Tahu usahanya melarang hanya akan berakhir sia-sia, Damar memilih untuk mengabaikan dan menonton dari jauh. Sepertinya Aay juga sudah lelah, mengingat gadis itu telah menampilkan tiga lagu non-stop. Aay menghela napasnya lelah seraya mengusap keringat biji jagung di dahinya. Pada akhirnya ia berjalan lesu menghampiri Damar yang memandangnya dengan mata super ngantuk.
“Mash Damar,” panggilnya. Damar yang nyaris terpejam itu menanggapi dengan alis terangkat. “Udah? Capek?”
Aay mengangguk dengan bibir yang mengerucut. “Haus.”
Damar otomatis memejamkan matanya. Ia tahu sesuatu—kekacauan akan segera dimulai.
“Sabar, belum azan,” balas Damar seadanya. Tanpa sadar, rupanya Damar mulai terlelap. Satu detik, dua detik, lima detik, sejujurnya Damar mulai menjemput kenikmatan hakiki sebab kantuknya sedikit terbayar. Hingga tiba-tiba—
PLAK! Sebuah tamparan keras pada pipi Damar membuatnya terkejut setengah mati. Kantuknya itu bahkan segan untuk kembali menduduki tahtanya. Seketika Damar mengumpat dalam hati. Ya Tuhan, semoga tidak hilang pahala puasanya.
“Kenapa, Ay?”
“Jangan tidur! Kenapa tidur? Mash Damar nggak mau main sama Aay?”
“Nggak gitu...”
Pasrah, Damar akhirnya memilih untuk menegakkan duduknya. Pemuda itu kemudian mendudukkan Aay di atas pangkuannya. “Ya udah sini, main. Mau main apa?”
“Nggak tau,” jawab Aay. “Nonton yang lain aja mau?” tanya Damar lagi. Gadis kecil itu kembali menggeleng.
“Terus Aay maunya apa?”
“Minum. Aay haus.”
“Belum azan, Aay. Tunggu ya, sebentar lagi. Nanti kalo azan baru boleh minum.”
“Kapan azannyaaaa?” Aay bertanya dengan raut wajah yang kian mengkerut. Damar yakin gadis ini akan segera berubah menjadi ratu kegelapan. Sebentar lagi dunianya akan hancur. Damar menghela napasnya, berusaha setengah mati agar tidak ada lagi umpatan yang keluar dari dirinya. “Sebentar lagi. Nanti Mas Damar kasih tau kalau Aay udah boleh minum.”
“Oke.”
Hah? Apa itu barusan? Berkali-kali Damar mengerjapkan matanya, pria itu pun menajamkan telinga. Memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar. Semudah itu kah sekarang Aay menurut padanya? Bingung, curiga, tapi Damar memilih untuk tak ambil pusing. Mungkin memang benar keduanya kini sudah bersahabat.
Kini Aay hanya diam di atas pangkuan Damar. Anteng. Suasana ruang tamu hening untuk sesaat. Damar hanya diam dan membiarkan Aay memainkan ponselnya yang sebelumnya dengan sengaja ia geletakkan di sofa. Gadis itu menyalakannya, lalu kembali mematikan layar ponsel Damar. Berlanjut dengan membolak-balik ponsel biru tua berselimut casing hijau itu. Sering kali ponselnya itu terjatuh sebab ukurannya lebih besar dari tangan Aay, namun Damar benar-benar tidak peduli. Apapun asal Mazaya tenang untuk beberapa saat.
“Ini foto Mas Damar sama Kak Ni?”
“Iya.”
“Kok Aay nggak diajak foto?”
“Kan waktu itu Aay nggak ada di sekolah Mas Damar. Nanti ya, kita foto bertiga.”
“Kok Kak Ni nggak ke sini?”
“Lagi pergi sama mama papanya,” jawab Damar singkat, yang segera dibalas Aay dengan 'oh' yang panjang.
“Ini belum boleh minum, Mas?”
“Belum, tunggu sebentar lagi nanti Mas Damar kasih tau.”
“Oke.”
Lagi-lagi Damar mengangguk. Suasana sekitarnya kembali hening. Namun, tidak sampai tiga puluh detik, Aay kembali bertanya. “Mas, sekarang udah boleh belom?”
“Ya belum, Ay. Belum azan.”
“ISHHH, KAPAN, SIH!? Aay hausss! Laper!”
“Jam dua belas azannyaa! Sekarang baru jam berapa, tunggu sebentar lagi, Aay, cantik, manis, pinteerrrr!”
Mulai kesal, Damar mulai hilang kesabaran untuk menjawab Aay dengan singkat dan tenang.
“Mas Damar azan duluan aja! Nanti Aay minum!”
“Mana bisa begitu!?” ucap Damar kesal, namun sejujurnya pemuda itu juga ingin tertawa akibat ide ngawur Aay. “Udah, jangan ditanyain terus azannya, Aay. Nanti dateng sendiri kalo udah waktunya. Kalo ditungguin terus jadinya makin berasa. Sini, sini, nonton video lucu aja di hp Mas Damar.”
“Emang ada?”
“Banyaakkk!”
Maka dengan segera Damar mengambil alih ponselnya. Membukakan aplikasi Instagramnya yang berisi reels kocak hasil kiriman Ojan atau Dhimas—atau Aghni. Dan sepertinya rencananya itu merupakan satu yang paling baik. Aay tak lagi menanyakan kapan waktu berbuka untuknya. Keduanya kini sibuk menertawakan banyak video lucu. Aay bahkan terkikik hingga batuk-batuk. Sementara Damar tetap dengan kekehan halusnya.
“Lagi, Mas, lagi!” ucap Aay antusias hingga tanpa sadar gadis itu malah menekan tombol profil Instagram milik Damar. Alih-alih menemukan video lucu lainnya, mata Aay malah menangkap postingan Damar yang membuat hatinya retak seketika. Foto Damar bersama Haura, yang diambil ketika ia bersama teman-temannya yang lain menghadiri pesta ulang tahun Haura.
“Itu siapa, Mas?” tanya Aay. Tatapannya mendadak tajam. Wajahnya kini sepenuhnya tertoleh pada Damar, tak ingin melepas pandangannya dari seseorang yang ia anggap kakak sendiri. “Adeknya temen Mas Damar. Namanya Haura, Aay mau kenalan?”
“Kok Mas Damar main sama dia? Mas Damar mau jadi mas-nya dia juga?”
“Enggak...”
“Bohong, itu buktinya nggak ada foto Aay tapi ada foto dia?”
“Ay—”
“Udah, lah, Mas. Aay mau pulang aja. Nggak mau main sama Mas Damar lagi! Rambut Mas Damar juga bau, Mas Damar jelek!”
“MAU KE MANA, HEI!? DI RUMAH SENDIRIAN KAGAK ADA ORANG!”