Berangkat Bareng

Yasmine memilih menunggu di depan gerbang rumahnya, menghindari pertanyaan-pertanyaan dari ayah yang pasti akan berujung pada ucapan yang menusuk hatinya. Entah mengapa suasana hatinya baik pagi ini, jadi ia tak ingin ada yang merusaknya. Termasuk ayah.

Tak lama kemudian, Satria tiba dengan motornya. Pria itu berhenti tepat di depan Yasmine yang sedang mengikat rambutnya.

Satria membuka helmnya seraya memamerkan senyum manis pada gadis di hadapannya, sebelah alisnya terangkat sebagai sapaan singkat untuk Yasmine. “Pagi, cantik!”

Yasmine terkekeh geli, “Apaan deh, masih pagi udah gombal!”

Satria memalingkan wajah seraya tertawa, “Padahal tulus loh mujinya. Suuzon dosa loh, Yas!”

“Aku nggak suuzon, emang bener kamu gombal kan?”

“Tuh, suuzon lagi. Dosa lagi lo!”

“Apa sih, enggak. Ngaku aja deh kamu gombal doang!”

“Apa sih? Emang lo tau Yas isi hati gue apaan?”

“Emang apa?” tanya Yasmine. Satria yang tadinya berada dalam mode siap membalas pertarungan sengit yang dimulai Yasmine itu kini menghela napasnya. Setelahnya ia tersenyum tipis, “Elo.”

Yasmine terperangah sesaat, terkejut mendengar penuturan Satria yang terdengar asal namun meyakinkan itu. Sekon berikutnya, sebuah tawa milik keduanya pecah.

“Ngapain sih, Daf?”

“Yeuuu salting ya?”

“Enggak.”

“Kok ketawa?”

“Kamu juga ketawa!”

“Gue salting.”

“Apaan sih!”

Satria tak menjawab, pria itu hanya menatap Yasmine tepat di matanya. Seketika tawa Satria memudar. Entah mengapa rasanya ia menemukan sesuatu di dalam sana. Sesuatu yang Yasmine tutup rapat-rapat, sesuatu yang Yasmine sembunyikan dari dunia.

Satria memang jagonya membuat rayuan pada wanita. Tapi tak pernah sekalipun ia berbohong soal Yasmine yang selalu nampak menawan di matanya. Satria jatuh hati pada seorang Yasmine ketika pertama kali tangan keduanya saling menjabat. Yasmine yang selalu murung, Yasmine yang selalu terlihat takut, Yasmine yang selalu kurang bersemangat. Entah mengapa, rasanya ia benar-benar ingin menjaga Yasmine. Melindunginya kapanpun dan di manapun gadis itu berada.

“Yas, mata lo tuh ada apanya ya?” tanya Satria. Tatapan halusnya masih menatap lurus ke dalam netra Yasmine yang berbinar kala itu. Ucapannya seketika membuat Yasmine gelagapan, gadis itu mengangkat alisnya kemudian dengan segera mengusak matanya sendiri.

“Hah? Belek ya? Aduhh maaf maaf, ya ampun malu deh! Kamu kenapa nggak bilang dari tadi, Daaf?!” protes Yasmine.

Satria terkekeh pelan, “Bukan. Bukan itu.”

Gadis itu kemudian menatap Satria dengan wajah bingung, “Terus?”

Satria hanya tersenyum seraya menggeleng. Baru setelahnya ia menjawab, “Nggak tau. Gue juga nggak tau mata lo ada apanya, Yas. Tapi gue selalu suka kalo liat mata lo. They're beautiful, you're beautiful. Apa lagi kalo lo lagi seneng.”

Yasmine meneguk ludahnya. Masih pagi, tapi rasanya Satria merenggut semua kekuatannya hanya dengan satu kalimat yang membuat kakinya terasa lemas. Yasmine luluh dengan mudah setiap kali berhadapan dengan Satria.

“Emang pernah liat aku seneng?” tanyanya.

“Belom, emang lo pernah seneng kalo sama gue?” Satria balik bertanya.

Yasmine tersenyum tipis, sangat tipis hingga Satria tak menyadarinya. Setelahnya gadis itu menepuk pundak Satria dan menaiki jok motor belakang milik pria itu.

Menjawab kebingungan Satria, Yasmine berbisik. “Jalan dulu, aku jawab kalo udah sampe gerbang sekolah.”

Satria kemudian terkekeh. Ia tak punya pilihan lain selain melajukan motornya. Lagi pula, mereka bisa terlambat jika tetap memilih mengobrol di depan gerbang rumah Yasmine.

Lima belas menit perjalanan, kemudian keduanya sampai di sekolah dengan selamat. Gerbang belum ditutup, tandanya keduanya belum terlambat. Satria menunggu Yasmine turun kemudian memarkirkan motornya dengan rapi. Setelah mematikan mesin dan mengunci stang motor, Satria memilih berkaca di spion motornya. Menyugar rambutnya yang sedikit berantakan akibat terkena angin selama perjalanan.

Setelah kembali percaya diri dengan penampilannya, Satria tersenyum pada Yasmine yang memilih menunggu di belakang motornya sejak tadi.

“Udah ganteng belom?” tanya Satria.

“Belom.”

“Wah, serius? Gawat dong, nanti lo nggak suka sama gue kalo gue nggak ganteng,” balas Satria.

“Aku nggak suka orang ganteng,” balas Yasmine bercanda.

“Wah kalo gitu ganti pertanyaannya, udah jelek belom?”

Yasmine berpura-pura menimang-nimang jawabannya sebelum membalas Satria. Sebuah seringai jahil terpatri di wajahnya, “Ganteng, Daf.”

“Yahh gimana sih? Udah ah, ayok masuk,” ujar Satria.

Setelahnya Yasmine hanya tertawa. Kemudian gadis itu kembali memanggil Satria yang berniat berjalan lebih dulu.

“Daffa!”

“Ya?”

“Aku pernah seneng pas sama kamu,” ucap Yasmine. Sementara Satria terperangah, sesaat kemudian alisnya bertaut.

“Kapan, Yas? Pas kita jalan-jalan ya?” tanya Satria.

Yasmine menggeleng, membuat Satria memilih bertanya lebih lanjut. “Terus?”

Yasmine memalingkan arah pandangnya ke sembarang arah. Menghindari tatapan Satria yang selalu bisa membuat jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.

“Setiap saat,” ucap Yasmine. “Selama ada kamu di deket aku, aku seneng.”

Lagi-lagi, Satria tertegun. Lebih-lebih ketika Yasmine kembali menatap ke arahnya. “Jangan jauh-jauh dari aku ya, Daf? Mungkin kita baru temenan, tapi kalo di deket kamu rasanya aku se-aman dan senyaman ada di deket Mas Jiel.”

Yasmine menuntaskan bicaranya. Namun Satria tak kunjung melepas tatapannya. Yasmine jadi grogi sendiri, gadis itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Setelahnya berpamitan untuk pergi ke kelas lebih dulu. Meninggalkan Satria yang masih terdiam di tempatnya.

“Yas.. kayaknya gue beneran sayang sama lo deh..”