Beautiful Mess

Adalah Mahesa, seorang laki-laki dengan tinggi sekitar 170 cm yang sangat, sangat cinta kebersihan dan kerapian. Meletakkan sepatu atau sandal berserakan, tidak membuang sampah bungkus makanan, makan di tempat tidur, tidak meletakkan kembali barang yang habis dipakai di tempatnya, juga tidak menaruh piring di wastafel setelah makan, adalah beberapa hal yang sangat diharamkan oleh seorang Mahesa Adishaka. Pemuda yang selalu berusaha menjalani hidupnya dengan sangat terorganisasi.

Sayangnya, segala sesuatu yang diharamkan oleh pria itu justru adalah sesuatu yang sangat, sangat normal dan biasa dilakukan oleh seorang Yuna Alesha, yang sudah dua tahun ini menjabat sebagai kekasih Mahesa. Gadis itu tak segan-segan melepas sepatunya asal ketika berkunjung ke kos-kosan Mahesa, meninggalkan sampah bungkus makanannya begitu saja, makan di kasur, dan banyak ulah Yuna yang membuat Mahesa menghela napas lelah.

Meskipun begitu, tentu saja Mahesa menyayangi Yuna sepenuh hati. Gadis itu bagaimanapun caranya selalu berhasil menarik perhatian Mahesa sejak awal. Pertemuan keduanya bermula sejak acara diksar kampus yang berlokasi di sebuah perkemahan yang rimbun. Masih dipenuhi pohon-pohon lebat dan tinggi yang tanpa disangka masih menjadi sarang bagi sekumpulan monyet.

Hari itu bukan hari yang baik bagi Yuna, karena salah satu monyet memilih hinggap di bahunya yang sudah terbebani tas super berat berisi perlengkapannya. Spontan, gadis itu berjongkok, meminta pertolongan pada semua orang untuk mengusir hewan yang sedang hinggap di bahunya itu. Namun, yang ia dapat justru malah tertawaan dari semua orang.

Sebenarnya, Mahesa termasuk ke dalam golongan yang menertawakan penderitaan Yuna kala itu. Namun, melihat ekspresi ketakutan gadis itu serta pelupuk matanya yang sudah dipenuhi genangan air mata tentu saja membuat pria itu tidak tega, dan sejujurnya, sedikit gemas dalam hati. Kemudian jadilah dirinya pahlawan bagi seorang Yuna Alesha, yang lalu dikenang dan disimpan dalam hati oleh sang gadis.

Namun, tanpa keduanya sadari rupanya semesta berpihak. Membawa keduanya lebih dekat dan mengantarkan keduanya pada sesuatu yang lebih jauh dari sekadar pertemanan.


Hari Sabtu menjadi hari favorit Yuna dalam seminggu. Karena ketika Sabtu tiba, artinya dirinya bisa bertemu sang pujaan hati yang belakangan ini menjadi super sibuk. Tugasnya bertumpuk, belum lagi organisasi yang pemuda itu ikuti yang diam-diam sangat Yuna benci. Karena kerjanya hanya membuat Mahesa stress dan gampang sakit.

Yuna sudah tiba di depan pintu kos-kosan Mahesa. Mengetuknya asal tanpa mengucap salam. Yuna tahu, Mahesa pasti sudah hapal di luar kepala siapa tamu yang selalu datang pada hari Sabtu. Karena jawabannya sudah pasti Yuna.

Ketika gadis itu membuka pintu, nampak kekasihnya sedang berkutat dengan laptop di meja belajarnya yang kebetulan menghadap pintu. Alis legamnya berkerut sangking seriusnya bekerja. Yuna mengernyit, ada sesuatu yang aneh.

“Belum mandi ya, Hes?” tanya Yuna. Mahesa hanya meliriknya sekilas, lalu kembali fokus pada pekerjaannya, “Belom sempet.”

Yuna hanya ber-oh-ria. Setelahnya Yuna membuka sepatunya, meletakkannya asal, lalu melangkah masuk tanpa menutup pintu. “Aku bawa martabak manis, kamu belom sarapan, kan?” ujar Yuna riang.

Mahesa lagi-lagi hanya melirik gadis itu sekilas. Namun, belum sempat ia kembali fokus pada pekerjaannya, Mahesa menemukan sesuatu yang membuatnya tak bisa tinggal diam. “Yun, jangan kebiasaan, deh. Sepatunya pinggirin dulu yang rapi!”

Yuna cengegesan. Gadis itu meletakkan sekantung martabak manis yang ia bawa di atas kasur Mahesa, lalu beranjak ke luar, merapikan sepatu miliknya sendiri sesuai instruksi Mahesa.

“Udahh! Udah rapi, tuh,” ucap Yuna. Kini Yuna kembali masuk ke dalam, mengambil sebuah piring untuk menyajikan martabak manis yang ia bawa khusus untuk sang kekasih yang belakangan ini selalu melewatkan sarapannya.

Mahesa mengernyit kala mendengar suara piring-piring beradu. Pemuda itu menoleh, mendapati Yuna yang sedang berusaha mengambil piring di rak piring miliknya. “Yunn, ngapain sih? Pelan-pelan aja ngambil piringnya, Sayaaaang. Aku lagi kerja tau,” ujarnya.

“Ih iyaaa, maaf, yaa? Ini nyangkut piringnya, Hess!” balas Yuna cemberut. Mahesa hanya menghela napas dan geleng-geleng kepala melihat kelakuan Yuna. Gadisnya memang seperti itu, sedikit ceroboh dan memang tidak serapi dirinya. Bahkan bisa dibilang, cukup berantakan. Tak jarang banyak orang mengatakan Yuna terlalu chaos untuk Mahesa yang nyaris sempurna dalam segala hal.

Mahesa memutar kursinya kembali ketika menyadari sesuatu yang diletakkan di tempat yang tidak seharusnya. “Yun, kenapa martabaknya ditaro di kasur gitu, sih?! Nanti banyak semuuut! Taro bawah aja, laahh.”

“Ih iyaa sebentarr, kan ini mau dipiringinn. Tadi aku taro situ soalnya kamu tadi nyuruh aku benerin sepatu dulu, kann?” balas Yuna. Sementara Mahesa lagi-lagi menghela napasnya. Kemudian berusaha sekuat tenaga untuk tidak memedulikan Yuna dan sejuta tingkah ajaibnya dan kembali fokus pada pekerjaannya.

Dengan sepiring martabak manis, Yuna mengambil alih kursi kosong di dekat Mahesa. “Hes, kamu tuh nggak istirahat dulu apa? Ini kan weekend, biasanya kita jalan-jalan. Tapi jadi nggak bisa gara-gara kamunya sibuk. Siapa, sih yang ngasih kamu banyak kerjaan begini? Proker rame-rame kok dibebanin ke satu orang. Belom lagi tugas kamu masih banyak. Aku yang stress liatnya,” Yuna mulai berceloteh sendiri.

Mahesa terkekeh, “Iyaa, jalan-jalannya nanti lagi ya? Aku lagi banyak kerjaan minggu-minggu ini. Nanti kalo bisa langsung aku jemput, kita caw jalan-jalan.” Lalu pemuda itu memutar kursinya menghadap sang gadis. Mengusap rambut gadisnya yang setengah basah, mengacak-ngacaknya sedikit yang kemudian segera dirapikan kembali olehnya.

Sementara Yuna masih mengerucutkan bibirnya, “Tapi sebel, ah! Gara-gara kerjaan ginian kamu jadi lupa makan terus, Hes! Sarapan aja enggak, mandi aja enggak, nih. Padahal biasanya jam segini kamu udah ganteng, udah wangi.”

“Loh, emang sekarang nggak ganteng?” tanyanya. “Ganteng sih, cuma kurang wangi aja,” jawab Yuna.

Mahesa mendelik, “Masa sih nggak wangi? Coba cium?” Begitu ujarnya sambil menyodorkan sebelah pipinya pada Yuna.

Yuna menggeleng dengan senyum tertahan, “Nggak mau, ah. Bau acem!”

Mahesa hanya tertawa menanggapinya. “Ya udah, bentar ya aku kerjain ini dulu.”

Sekon berikut Mahesa sudah kembali fokus pada laptopnya. Jemarinya menari mengetikkan kata yang Yuna tidak tahu apa. Sementara Yuna sibuk memperhatikan raut wajah Mahesa yang berubah-ubah. Sesekali alis pemuda itu berkerut, sesekali matanya melebar karena menyadari sesuatu yang tidak ia sadari sebelumnya, sesekali pemuda itu bersuara membaca kembali kalimat yang sudah diketik, mengoreksinya kembali. Berkali-kali Yuna mengulum senyum. Benar kata orang-orang, kekasihnya nyaris sempurna.

Menit berlalu. Gadis itu melirik jam yang melingkar manis di lengannya, pukul setengah sebelas. Matanya membelalak, Mahesa belum sarapan. Yuna merutuki dirinya sendiri, bisa-bisanya terlupa akan tujuannya menyuapi Mahesa martabak manis yang sejak tadi berada di pangkuannya lantaran sibuk mengagumi struktur wajah pemuda itu.

“Hes, makan dulu, nih. Udah dulu dong ngerjain itunya. Lagian masa aku jadi kembaran sama martabaknya sih, dikacangin gini?” ujar Yuna.

“Aduh, nanti aja deh, Yun. Tanggung,” jawabnya.

“Udah setengah sebelas loh, Hes. Kamu belom sarapan sama sekali, nanti kalo maag-nya kambuh gimana? Dikit aja ya?” pinta Yuna.

“Aduhh, bentar lagi, sumpah!” Mahesa bersikeras.

“Aku suapin, dehhh!” usul Yuna. “Kamu ngerjain aja, tinggal mangap doang nih aku suapin,” lanjut Yuna.

Mahesa menghela napasnya, “Yun, kamu kan tau kalo aku nggak suka kerja sambil makan. Nanti berantakan kena laptop aku gimana?”

“Ya udah pilihannya berhenti atau aku suapin, Mahesaa! Kamu belom sarapan dari pagi, kan? Coba aku tanya emang udah mam apa?”

Mahesa tidak menjawab dan hanya mendesah. Ia menyugar rambutnya, berusaha melepas kepusingannya saat ini. “Yun, masa kita mau ributin ginian doang, sih?”

“Bukan gitu, Hess. Aku tuh khawatir. Masalahnya kamu belom makan dari pagi dan kamu punya maag punya tipes, gimana kalo kambuh? Kamu malah nggak bisa kerjain semuanya tauu. Makan dulu yaa? Sedikit?” ucap Yuna. Mahesa hanya diam, memilih tidak menanggapi Yuna. Mood-nya mulai berantakan sekarang.

Pekerjaan yang tak kunjung usai, celotehan Yuna, dan berbagai tingkah gadis itu yang tidak bisa ditoleransi oleh dirinya merupakan perpaduan yang cukup membuat amarahnya ingin meledak.

“Ini, Hees, aku suapin. Makan dulu, Sayanggg! Ayok aaaaa!” Yuna menyodorkan sepotong martabak manis cokelat kacang yang sudah tertusuk garpu ke hadapan Mahesa yang tak kunjung membuka mulutnya. Wajahnya tampak marah dan sejujurnya Yuna menyadari itu. Sejujurnya pula, dirinya sangat segan ketika Mahesa marah. Tetapi, Yuna pun terpaksa melakukan ini. Ia harus memaksa Mahesa untuk makan supaya pemuda itu tidak jatuh sakit seperti sebelum-sebelumnya.

“Heess, ayok aaa! Ini pesawatnya nungguin, loh! Nggak kasian sama aku, nih? Pilotnya pegel, Hes,” ujar Yuna. Mahesa mengelak tanpa suara.

“Mahesaa gantengg, aaa dulu dong!” ujar Yuna. Dengan kesal, Mahesa menepis tangan Yuna yang berada di hadapannya. Membuat isian cokelat kacang martabak manis itu jatuh sedikit mengenai laptopnya.

Mahesa berdecak, “Tuh, kan! Aku bilang apa?! Yun, berkali-kali aku bilang aku nggak suka kerja sambil makan! Kenapa sih nggak mau denger?! Liat, tuh! Laptop aku jadi kena cokelat begini kan lengket, Yunn.”

Setelahnya pria itu bangkit dan mengambil tissue, segera menyingkirkan isian martabak yang mengenai laptopnya. Gerakannya terburu-buru, nampak sekali dirinya sedang marah.

“Ngerti, Hees. Tapi, kan kamu belom sarapann, maksud aku tadi tuh biar kamu makan duluu, jangan sampe perutnya kosong. Nanti kamu sakit lagi kayak waktu itu,” ujar Yuna.

“Astagaaa, Yunaaa! Mau aku tipes kek, apa kek, yang sakit aku! Yang ngerasain aku! Kamu nggak usah repot bisa, kan?”

“Aku pacar kamu, Mahesa! Salah kalo aku khawatir?” Yuna berbicara, kali ini emosinya ikut tersulut.

“Khawatir kamu tuh berlebihan tau, nggak?! Ngapain sih lagian kamu pake ke sini segala?! Cuma bikin repot aku aja, deh! Jangan bikin aku tambah stress gini dong, Yun, ya ampunn!”

Yuna terperangah. Air matanya menggenang di pelupuk mata. “Mahesa? Kamu lupa atau gimana? Ini hari Sabtu.. biasanya kan aku emang ke sini? Jadi, selama ini kedatangan aku cuma bikin kamu repot ya, Hes?”

Mahesa memejamkan matanya kala menyadari dirinya salah bicara. Diusapnya wajahnya kasar. “Bukan gitu maksud aku, Yun. Tapi jujur, kamu tuh berantakan banget orangnya. Kamu selalu naro sepatu sembarangan, naro makanan di kasur, sampah ciki kamu juga nggak pernah dikumpulin, berserakan di mana-mana, bahkan nggak jarang juga kamu ngutak-ngatik pajangan aku dan jadi berantakan, kalo abis baca buku aku juga kamu nggak pernah rapiin lagi. Aku tuh— ya Tuhan, Yun!”

“Aku tuh risihhh, tau nggak?” lanjut Mahesa.

Hening. Baik Mahesa maupun Yuna sama-sama terdiam. Yuna memalingkan wajahnya dari Mahesa, air matanya sudah lurus sekarang. Gadis itu menghela napas, haruskah ia katakan hal ini?

“Maaf, Hes,” ujar Yuna. “Kayaknya bener apa yang diomongin sama orang-orang selama ini,” gadis itu kembali bicara. “kita nggak cocok.”

Mahesa mendesah berat, “Kenapa sih itu terus yang dibahas? Ngapain lagian kamu dengerin kata orang?”

“Karena mereka bener, Hes. Kamu tuh nyaris sempurna. Akademik dan non-akademik kamu hebat. Nilai kamu bagus, aktif organisasi, kamu bisa main basket, bowling, apapun itu, kamu rapi, segala sesuatu yang kamu lakuin tuh terorganisasi, dan semua orang suka kamu, Hes.”

“Sementara aku? Kamu sendiri aja bilang kalo kamu risih sama kedatangan aku. Aku urakan, pecicilan, berisik, berantakan. Akademik aku jauh banget kalo dibandingin sama kamu, non-akademik juga aku bisa apa? Kita tuh kayak langit dan bumi, Hes. Kamu langitnya, sementara aku ketinggalan jauh di bawah,” ujar Yuna sembari menahan tangis.

“Bener kata orang-orang, Hes. Aku terlalu chaos untuk kamu yang nyaris sempurna.”

Mahesa menatap Yuna yang kini menunduk dengan tatapan yang sulit diartikan. Segenap rasa bersalah hadir memenuhi relungnya.

Yuna mengangkat kembali kepalanya, menatap Mahesa yang sedari tadi sudah menatapnya. “Kita— kita putus aja deh, Hes.”

“Kok gitu?” tanya Mahesa spontan.

“Aku nggak mau terus-terusan bikin kamu risih dan terganggu sama semua kelakuan aku. Aku rasa cukup dua tahun aja, Hes.”

“Yun, aku—”

“Semoga kamu nemuin yang jauh lebih baik dari aku ya, Hes. Yang memang imbang untuk kamu, nggak langit dan bumi kayak kita gini. Pasti nemu, kok. Banyak yang lebih anggun dari aku, atau kalo bingung, coba minta rekomendasi netizen kampus aja. Kamu biasanya denger kan aku selalu dibandingin sama siapa?” ujar Yuna.

“Yun, tungu dulu. Emangnya nggak bisa kita omongin lagi? Ini cuma masalah sepele, loh!” ujar Mahesa.

“Iya aku tau, Hes. Tapi bukan itu masalahnya. Aku tau banyak kelakuan aku yang bikin kamu nggak nyaman, bahkan tadi kamu bilang sendiri kalo kamu risih—”

“Aku salah ngomong!” potong Mahesa cepat. “Aku salah ngomong, Yun. Maaf. Maaf juga aku banyak bentak kamu hari ini. Aku cuma lagi pusing banyak kerjaan dan aku belom tidur dari semalem, Yun. Maafin aku karena kamu jadi sasaran marah aku hari ini,” lanjutnya.

“Salah ngomong atau nggak, kamu bener, Hes. Aku emang selalu bikin kamu risih, aku tau kok. Makanya, mendingan kita udahan aja. Semakin lama kita sama-sama, akan semakin lama juga aku jadi pengganggu di hidup kamu dan aku nggak mau, Hes,” ujar Yuna.

“Kamu pantes dapetin yang jauh lebih baik dari aku, Hes. Aku sama sekali nggak pantes buat kamu dan harusnya aku sadar dari dulu. Maafin aku ya, Hes? Maaf aku sering ngacau di kehidupan kamu,” sambung Yuna. Kemudian gadis itu beranjak, meletakkan sepiring martabak manis di meja rendah yang ada di lantai kos-kosan Mahesa, menghapus air matanya lalu meninggalkan Mahesa yang masih terdiam, terpaku di tempatnya, tak bisa berkata-kata. Dirinya sama sekali tidak menyangka akan berakhir seperti ini.

Mahesa menyugar rambutnya frustasi. Diliriknya sepiring martabak yang sengaja dibawa Yuna untuknya, membuat Mahesa mendesah berat. Dirinya baru saja membuat kesalahan besar.

Wajar gadis itu mengkhawatirkannya, mengingat bulan lalu Mahesa jatuh sakit hingga harus dirawat akibat menunda makan serta waktu tidur yang tidak teratur karena terlalu memfokuskan diri pada pekerjaannya. Mahesa merutuki dirinya sendiri, harusnya ia sadar, bahwa Yuna sangat menyayanginya dan kekhawatiran gadis itu tentu tidak berlebihan seperti apa yang sempat dikatakan Mahesa.

Mahesa menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Hingga tiba-tiba perutnya berbunyi, Yuna benar, dirinya belum makan apapun sejak pagi. Dan Mahesa merasa bersalah karena sudah memarahi gadis itu akan niat baiknya.

Terputar kembali dalam rungunya suara Yuna yang berniat menyuapinya martabak bermenit-menit yang lalu. “Heess, ayok aaa! Ini pesawatnya nungguin, loh! Nggak kasian sama aku, nih? Pilotnya pegel, Hes.”

Mahesa tersenyum miris, seharusnya ia tidak menepis tangan Yuna yang berusaha menyuapinya makanan. Penyesalan memang selalu datang terlambat.

Sekon berikutnya, Mahesa merasakan perutnya mulai bergejolak. Tiba-tiba ia merasakan mual dan sakit di ulu hatinya. Dan lagi-lagi Yuna benar, maag-nya datang begitu saja seakan-akan memberinya pelajaran.

Mahesa beranjak dan mengambil obat untuk meredakan sakit pada perutnya, lalu meminumnya dengan segera. Pemuda itu kemudian memilih merebahkan dirinya sesaat di kasurnya. Kala itu juga dirinya menyadari, bahwa hidupnya pun rupanya tidak terorganisasi seperti yang selama ini ia pikirkan.

Jam tidurnya kacau berantakan, apalagi waktu makannya. Mahesa bisa tidak makan sama sekali dalam sehari akibat terlalu fokus pada pekerjaan yang diberikan organisasinya. Lagi-lagi, untuk kesekian kali, Yuna benar. Terputar kembali perkataan gadis itu dalam rungunya. “Proker rame-rame kok dibebanin ke satu orang. “

Mahesa lalu menertawai dirinya sendiri. “Bodoh, bodoh! Mahesa bodoh!”


Sudah satu bulan sejak kejadian itu. Mahesa kini bergelut sendirian dengan pikirannya. Hari ini Sabtu pagi, dan kali ini Mahesa hanya rebahan di kasur.

Semenjak berakhirnya hubungan dirinya dengan Yuna, tentu tak ada lagi seseorang yang menghiasi Sabtu paginya dengan membawa sekantung martabak manis atau nasi uduk untuk sarapan. Tak ada lagi seseorang yang harus ia tegur karena meletakkan sepatu atau sandalnya asal, tak ada lagi suara berisik piring 'nyangkut' yang berusaha diambil oleh gadis itu, tak ada lagi yang berlaga seperti pilot hanya untuk menyuapinya makanan, tak ada lagi Yuna dalam hidupnya.

Mahesa melirik rak yang berisi pajangan action figure-nya. Ketidakhadiran Yuna membuat 'teman-teman kecilnya' tersusun dengan sangat rapi, sesuai keinginannya. Anehnya, Mahesa tidak menyukai itu. Mahesa lebih menyukai pajangannya ada yang tidak berdiri dengan tegak dan tergeser dari tempatnya. Mahesa lebih suka pajangannya acak-acakan seperti yang biasa disebabkan oleh ulah Yuna. Gadis itu biasanya akan mengambil satu action figure dan memainkannya, melihatnya lebih dekat, sesekali bertanya pada Mahesa mengenai pakaian sang karakter yang terlihat aneh. “Kok dia pake baju tapi dadanya kebuka gini sih, Hes? Emang nggak masuk angin? Mahes, nggak boleh gini ya kamu! Pake baju yang bener kalo nggak nanti masuk angin terus kamu sakit!”

Mahesa tertawa lalu menghela napasnya miris, kini dirinya hanya bisa mengingat-ingat kenangan bersama Yuna. Setelahnya pemuda itu bangkit, berdiri di depan cermin yang menampakkan refleksi dirinya. Terdapat kantung mata gelap di sana, wajahnya pun pucat dan lebih tirus dari sebelumnya.

Sebulan tanpa Yuna rupanya cukup membuat dirinya lalai memperhatikan dirinya sendiri. Semenjak kejadian itu, Mahesa memilih menyibukkan dirinya dengan berbagai hal, supaya tidak lagi punya waktu untuk mengingat Yuna. Namun, sepertinya Tuhan ingin memberinya pelajaran. Sesibuk apapun Mahesa, pria itu tetap memiliki waktu untuk memikirkan Yuna.

Mahesa semakin menyesali perbuatannya ketika berpapasan dengan gadis itu di kampus. Karena gadis itu akan menyapa teman-temannya dengan suka cita kemudian hanya melempar senyum tipis untuknya. Tak ada lagi sapaan paling hangat yang biasa ia dapatkan dulu, ketika mereka masih bersama. Rupanya, bagaimanapun caranya, Yuna masih selalu bisa menjadi pusat perhatiannya.

Mahesa berkacak pinggang, masih di depan cermin yang sama sejak tadi. Menatap refleksi dirinya di sana, lalu bicara pada dirinya sendiri. “Kangen Yuna nggak sih, Hes? Kangen banget, kan? Mampus lo. Lagian sih, belagu. Dikhawatirin bukannya seneng malah marah-marah. Now you do realize how much she love you back then, huh? And how bad you hurt her, Mahesa.”

“Samperin nggak, sih? Gue belom minta maaf sama dia. Belom usaha juga buat minta balikan. So, should I?” Mahesa masih setia bermonolog.

“Yeah, I definitely should.”

Menit berlalu, kini Mahesa sudah rapi, kalau Yuna ada di sini sekarang, maka gadis itu pasti akan berkata bahwa Mahesa sudah ganteng dan wangi. Pria itu menyisir rambutnya dengan rapi lalu menyemprotkan sedikit parfum pada tubuhnya. Setelah merasa dirinya siap, dengan segera Mahesa menyambar kunci motornya dan berangkat menuju rumah Yuna.

Sesampainya di sana, Mahesa memarkirkan motornya dengan rapi agar tidak menghalangi jalan. Setelahnya pria itu berdiri di depan pintu rumah sang gadis. Baru saja ia berniat mengetuknya, pintu itu sudah terbuka dengan sendirinya. Menampakkan Yuna yang memakai pakaian yang sama santainya dengan yang ia kenakan. Hanya memakai hoodie dan celana rumahan.

Keduanya sama-sama terpaku. Sudah lama tidak melihat satu sama lain dalam jarak sedekat ini.

“Hes? Kok di sini?” tanya Yuna. Gadis itu sangat terkejut akan kehadiran seseorang yang masih setia mengisi hatinya meskipun sudah menjadi mantan kekasihnya.

“Mau ke mana, Yun?” Mahesa balas bertanya.

“Mau beli sarapan. Lo belom jawab pertanyaan gue, Mahesa,” jawab Yuna. “Kenapa lo di sini?” tanya Yuna sekali lagi.

“Sekarang kan Sabtu. Waktunya jalan-jalan, kan?” jawab Mahesa.

Yuna menghela napas, “Kita udah nggak ada hubungan apa-apa, Hes.”

Kini Mahesa yang menghela napas, “Yun, please.”

Yuna menggeleng, “Nggak bisa, Hes. Kata orang—”

“Aku nggak peduli kata orang, Yun. Aku nggak peduli mereka bilang kita nggak cocok, bilang kamu terlalu kacau buat jadi pacar aku. Kalo perlu nanti aku datengin satu-satu orangnya yang ngomong gitu, aku perangin,” potong Mahesa cepat.

“Aku nggak akan keberatan lagi kalo kamu mainin pajangan aku lagi, aku nggak akan keberatan lagi kalo kamu naro sepatu berantakan, nggak buang bungkus camilan kamu, nggak bisa pelan-pelan kalo ngambil piring di tempat aku yang kalo sama kamu entah kenapa selalu nyangkut. Aku nggak akan keberatan lagi, Yun. Iya, aku marah kalo semua temen-temen aku begitu, tapi kalo kamu yang begitu nggak pa-pa.”

Yuna terperangah mendengar ucapan Mahesa. Pemuda tak henti-hentinya itu membuatnya terkejut. Belum selesai Yuna terkejut akan kehadirannya, kini ditambah lagi dengan ucapannya.

“Aku kangen, Yun. Nggak seru kalo barang-barangku terlalu rapi,” ujar Mahesa.

“Kan temen-temen lo suka berantakin juga?”

“Kan aku bilang, aku marah kalo mereka begitu, tapi kalo kamu yang begitu nggak pa-pa,” balas Mahesa.

Yuna masih diam, memandang Mahesa dengan tatapan penuh tanya. Bingung akan maksud dari pemuda itu. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa jantungnya pun berpacu lebih cepat.

“Yun,” panggilnya. “Kalo ada kamu, barang-barang aku yang berantakan. Tapi kalo nggak ada kamu, aku yang berantakan,” ucap Mahesa serius, dengan netra yang memandang lurus pada gadis di hadapannya.

“Hes, come on, look at me. I'm a mess!” ucap Yuna.

Mahesa lalu memandang Yuna dari kepala hingga kaki. “Yuna, if i should consider you as a mess, then i would consider you as a beautiful mess. And i just love you, i can't even stop thinking about you. Not even once.”

Yuna merasakan matanya berkaca-kaca mendengar penuturan Mahesa. Sejujurnya Yuna pun sama, dirinya kacau tanpa ada Mahesa di hidupnya. Pun, Yuna masih belum bisa melupakan Mahesa. Pria itu masih memiliki tahta tertinggi dalam hatinya.

“Kita balikan ya, Yun? Kita sama-sama lagi, ya?” pinta Mahesa.

Yuna kini menunduk, ragu akan jawaban yang harus ia lontarkan. Sejujurnya, dirinya sangat ingin mengiyakan permintaan Mahesa dan kembali bersama pemuda itu. Namun, penilaian orang-orang yang selalu mengatakan dirinya sangat tidak pantas untuk Mahesa membuatnya kelu untuk mengatakan isi hatinya.

Jika dirinya menjawab iya, apakah artinya dirinya egois karena menahan Mahesa dengan orang sepertinya? Karena tentu saja pria itu pantas mendapatkan seseorang yang lebih setara dengannya ketimbang Yuna. Namun, jika dirinya menjawab tidak, Yuna tahu pasti ia akan sangat menyesal di kemudian hari. Kesempatan seperti ini tidak akan datang sesering itu, bukan?

Yuna masih belum menjawab hingga Mahesa kembali berujar. “Hei, jawab aku, dong? Nggak kasian sama aku? Pilotnya pegel nih, nungguin.”

Yuna mendongak lalu terkekeh meskipun matanya masih berkaca-kaca. “Kamu kan nggak lagi nyuapin aku, Hes,” ujar Yuna. Kali ini tata bahasanya sudah berbeda dengan yang tadi ia gunakan. Alasannya tentu saja karena gadis itu perlahan meluluh.

Mahesa tertawa, “Oh iya, salah ya? Ya udah jawab, dong.”

“Aku— nggak tau..” jawab Yuna.

“Yun, asli, kalo kamu ragu gara-gara omongan orang yang selalu ngejelekin kamu, nanti orang-orang itu beneran aku datengin satu-satu, deh,” ujar Mahesa. “Aku sebel jadinya. Yang pacaran kita kenapa mereka yang repot.”

“Yaa, mungkin mereka mau yang terbaik buat kamu,” jawab Yuna.

“Aku nggak butuh yang terbaik, Yun. Kalopun aku butuh, aku yang akan tentuin sendiri, bukan orang lain. Aku tau apa yang aku butuhin, dan itu kamu. Kamu dan semua tingkah kamu yang ajaib. Kamu nggak perlu insecure, Yuna. Dari awal aku yang milih kamu, artinya aku beneran sayang sama kamu. Aku milih kamu juga nggak asal-asalan, pasti udah aku pertimbangin dulu semuanya dan aku tau kalo cuma kamu yang aku mau, Yun,” jelas Mahesa.

“Kita balikan, ya?” pinta Mahesa sekali lagi.

Yuna menatap Mahesa lurus. Setelah terdiam beberapa saat, gadis itu mengangguk.

Mahesa tersenyum riang, dihembuskannya napas lega. Setelahnya menarik Yuna ke dalam dekapannya. Memeluk gadisnya erat tanpa berniat melepaskannya sedikitpun.

“Kangen banget, Yun,” ucap Mahesa. “Sama,” jawab Yuna dalam pelukan Mahesa.

“Maafin aku ya? Maafin aku bilang risih waktu itu. Maaf bikin kamu sakit hati sama perkataan aku. Tapi aku nggak bermaksud begitu, waktu itu aku cuma lagi pusing aja karena banyak kerjaan,” ujar Mahesa. Yuna tak menjawab, tetapi Mahesa merasakan gadis itu mengangguk.

“Aku juga minta maaf, nanti aku belajar jadi manusia yang lebih rapi lagi. Biar kamu lebih nyaman deket-deket sama aku, nggak perlu sering-sering nahan kesel lagi,” kini Yuna yang berbicara.

Keduanya saling melepas dekapan. Kini memilih bertatapan, saling memandang wajah setelah sekian lama. Sama-sama melepas rindu sekaligus mengamati perubahan masing-masing.

“Tirus banget, Hes. Kamu nggak makan?” tanya Yuna.

“Sejak kamu putusin aku, aku berusaha bikin diri aku sibuk biar lupa sama kamu. Sibuk sampe nggak sempet makan. Sampe maag-ku lebih sering kambuh dari biasanya. Tapi dapet sakit doang, bisa move on-nya enggak, hehehe,” jawab Mahesa.

Yuna tertawa di tempatnya. “Nggak boleh gitu lagi, ya? Harus makan yang banyak.”

“Iyaa. Sekarang hari Sabtu, kan?” tanya Mahesa. Yuna menerawang sebelum akhirnya mengangguk.

“Jalan-jalan, yuk? Sekalian cari sarapan. Kamu tadi keluar juga mau nyari sarapan, kan?” tanya Mahesa lagi.

Yuna lalu mengangguk semangat, setelahnya menyetujui ajakan Mahesa. Sudah lama juga mereka tidak menghabiskan waktu berdua. Dan di Sabtu pagi ini, semesta kembali memihak pada keduanya. Mempertemukan kembali di jalan yang sama setelah berpisah beberapa lama. Membuat keduanya kembali beriringan, dan bahagia bersama.

Mahesa tersenyum ketika mendapati tangan seseorang yang ia sayangi pada akhirnya kembali melingkari perutnya dari belakang ketika berada di atas motor. Dengan senang hati ia melajukan motornya pelan, memutuskan untuk menikmati udara pagi juga sebagai alibi untuk memperlambat waktu.

Adalah Mahesa Adishaka, laki-laki dengan tinggi sekitar 170 cm yang sangat tidak menyukai segala sesuatu yang berantakan. Termasuk dirinya yang berantakan akibat ketidakhadiran seorang Yuna Alesha dalam hidupnya.

—fin


©raranotruru , 2O21.