Apologize

“MATI GUE!”

Gadis itu melempar ponselnya asal sebagai refleks dari keterkejutan yang dialami. “AH GIMANA NIHHHHH YA ALLAHHH?! DAMAR LAGIAN NGAPAIN SIHHH DIKEJAR SIAPA ASTAGHFIRULLAH!”

Dengan segera Aghniya menyambar kembali ponselnya. Dengan perasaan panik yang menyelimuti dirinya saat ini, Aghniya bergerak terburu-buru menghampiri Damar yang sudah menunggu di depan pintu rumahnya. Gadis itu bahkan menyebabkan paha kanannya mengenggol sudut meja di ruang tamunya sendiri, setelah itu mengaduh kesakitan.

“Aduh ya Allah perkara banget sih lo Aghniyaa, hngggg Bunaaayy kenapa naro mejanya di sini sihhhhh sakit bangett,” ucap Aghniya bermonolog. Gadis itu mengusap-usap bagian yang sakit, setelahnya memukul ujung meja dengan tangannya sebelum kembali terburu-buru berjalan menuju pintu.

Sesampainya di sana tangan kiri gadis itu meraih pintu dengan kasar, membuat tangan kanannya tergores bagian besi pada pintu rumahnya ketika ia ingin melangkah keluar.

Lagi-lagi Aghniya mengaduh kesakitan seraya memegangi tangan kanannya yang lecet. Sementara Damar yang berada di depannya pun ikut terkejut dibuatnya.

“Astaghfirullah, kenapaa?”

“Sakiiiiiittttt kena ituuuuu,” ujarnya merengek menunjuk besi pintu yang mengenainya. Masih memegangi tangannya yang sakit.

Damar menghela napasnya, berusaha menetralkan dirinya sendiri yang merasakan degup jantungnya kian bertambah cepat lantaran melihat gadis di hadapannya kesakitan. “Mana coba sini liat? Berdarah nggak?”

Aghniya hanya diam dengan bibir yang mengerucut dengan mata yang masih fokus pada goresan putih di tangannya. “Nggak nggak, nggak berdarah kok. Kaget aja.”

“Oh..” balas Damar. Kemudian pria itu mengangguk kaku.

Damar menelan ludahnya ketika Aghniya mulai menyadari kehadirannya. Dengan segera pria itu kembali mundur dan berdiri tegak.

Aghniya menautkan alisnya bingung, netranya memindai Damar dari atas sampai bawah. Ekspresi wajahnya semakin heran kala mendapati Damar dalam kondisi baik-baik saja. Jauh sekali dari segala pesan Dhimas yang menimbulkan kepanikan dalam dirinya.

“Damar kok— nggak pa-pa?”

“Hah?”

“IYAAA tadi kata Dhimas lo lagi dikejar-kejar? Katanya Dhimas takut lo kenapa-kenapa! Dikejar siapa sih?! Kenapa lo diem aja buruan ngumpet lah?! Ada yang luka nggak? Hah?” celoteh Aghniya tiada henti seraya tanpa sadar memegangi pundak Damar dan memeriksa keadaan pemuda itu.

Damar terkekeh seraya menahan diri agar senyumnya tak merekah lebih lebar, “Aghni, gue nggak apa-apa.”

Gadis itu tertegun, sekon berikutnya ia menyingkirkan tangannya pada kedua pundak Damar. Meskipun masih dilanda rasa cemas, Aghniya memalingkan wajah seraya menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga.

“Terus kata Dhimas kok dikejar-kejar?”

Damar tertawa, membuat Aghniya menatap bingung ke arahnya. “Ini, dikejar naga,” ucapnya seraya mengangkat sekantung bening berisi buah naga di tangannya.

“Apaan sih? Jadi sebenernya kenapa-napa apa enggak?”

“Enggak kok, itu Dhimas bercanda aja,” balas Damar menahan senyumnya.

“Ah nggak lucu ah, bercandanya!”

Damar terkikik geli, “Nggak lucu soalnya khawatirnya beneran ya, Agh?

Aghniya mendelik tak suka ke arah Damar. Bukan tidak suka Damar, tidak suka karena isi hatinya tertebak secara gamblang.

Gadis itu kemudian mengangkat dagunya sebelum melontarkan pertanyaan, “Ngapain ke sini?”

Damar mengulas senyum manisnya yang selama ini absen dari pandangan gadis itu. “Mau presentasi.”

Aghniya menatap Damar dengan tatapan bingung seraya menahan senyumnya, “Presentasi?”

Damar mengangguk. “Mau dengerin nggak?”

“Ya udah mau.”

“Berdiri nih?” tanya Damar.

“Duduk situu,” balas Aghniya.

Damar terkekeh, “Ya kan nunggu izin tuan rumah.”

Lagi-lagi Aghniya mati-matian menahan senyumnya. Kemudian gadis itu mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia di terasnya. Kini keduanya duduk berhadapan, hanya sebuah meja bundar kecil yang menjadi jarak antara keduanya.

Damar meletakkan buah naganya di atas meja. “Eh ini buat lo beneran kok, bukan buat properti gimmick doang,” ucap Damar.

Aghniya mengangguk, namun tetap membiarkan buah naga itu tergeletak di meja. “Makasih.”

“Sama-sama. Gue mulai ya presentasinya?”

Aghniya tak menjawab, gadis itu hanya mengangguk dengan tangan kiri yang menopang wajahnya. Ia memperhatikan Damar yang tengah merogoh sakunya, berusaha mengeluarkan ponselnya.

Setelahnya Damar mengutak-atik ponselnya, setelahnya mengarahkan layarnya pada Aghniya.

Gadis itu mengangkat sebelah alisnya, “Apa?”

“Pencet,” ucap Damar meminta Aghniya untuk membuka tautan yang tertera di layar ponselnya. Sengaja ia meminta gadis itu untuk membukanya sendiri agar dapat langsung membaca slide pertama dari presentasi yang akan ia sampaikan.

Aghniya hanya menurut, gadis itu menekan tautan yang Damar tunjukkan. Detik berikutnya, gadis itu tertegun membaca kalimat yang tertera pada slide pertama. Sudut bibirnya berkedut, berontak ingin mengukir sebuah senyuman di wajahnya.

Aghniya menatap Damar yang juga menatapnya. “Gimana? Boleh dilanjutin nggak?” tanya Damar.

Dengan senyuman tertahan, Aghniya mengangguk. Setelahnya gadis itu hanya berusaha menahan senyumnya sepanjang Damar bicara padanya, menyampaikan permintaan maafnya dengan tulus dari hati kecilnya. Suara lembut pemuda itu pada akhirnya kembali mengalun di telinganya hari ini. Senyum Damar beserta lesung pipinya yang manis itu kembali hadir di hadapannya. Damar yang ramah dan hangat kembali hadir di hadapannya hari ini. Dan gadis itu tak bisa lagi sembunyikan bahagianya.

Slide 1 of 15 Hello, Sunshine! This is Mr. Sun's apology